Kamis, 04 Desember 2008

PELANGGARAN DEMOKRASI OLEH (WAKIL) RAKYAT



(Karena tulisan ini paling banyak dibaca, saya memutuskan untuk melanjutkan pembahasan soal ini di postingan terbaru di sini) 

Suara-suara miring dari Senayan, terdengar semakin santer. Keresahan anggota dewan yang terhormat, terhadap kewenangan KPK yang begitu besar, menjadi penyebabnya. Sebagai lembaga super-body, yang berdiri secara independen dari pemerintahan, KPK sebenarnya berdiri di atas paradoksal wewenang antara eksekutif dan legislatif.

Secara institusi KPK, mendapatkan jatah dari APBN untuk menjalankan kegiatan operasionalnya, termasuk menggaji para pimpinan KPK dengan nominal yang cukup mencolok. Padahal,ijin penggunaan dana APBN, terutama untuk aktivitas yang extraordinary (karena mencakup seluruh lingkup penyelenggara negara, eksekutif dan legislatif) seperti KPK, jelas memerlukan persetujuan dari DPR.






Sebagai institusi yang menjadi representasi rakyat Indonesia, maka DPR berhak untuk meminta klarifikasi, penjelasan ataupun kompensasi atas segala hal yang dikerjakan KPK terhadap rakyat Indonesia, melalui DPR.

Masalahnya, antara anggota dewan dengan konstituen yang diwakilinya, rupanya terjadi perbedaan tafsir yang mencolok, terutama terkait masalah pemberantasan korupsi kepada penyelenggara negara. Anggota dewan beranggapan, bahwa tindak-tanduk KPK selama ini telah meresahkan sekelompok orang yang menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri. Dus, termasuk anggota dewan tentunya.

Lalu, muncullah ambiguitas wewenang, bahwa KPK adalah lembaga yang tidak menginduk pada kekuatan manapun dalam konsepsi pemisahan kekuasaan di Indonesia. Karena itu, secara periodik, upaya untuk melemahkan KPK, mulai dijalankan oleh wakil rakyat kita yang terhormat. Seperti kita pahami bersama, uji materi terhadap Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, lantara tidak secara eksplisit berinduk kepada lembaga peradilan formal dibawah kekuatan yudikatif, seperti Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi itu sendiri.



Terungkapnya kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota dewan, ternyata menjadi titik puncak serangan para wakil rakyat. Karena, justru anggota dewan yang menjadi pelaku utama kasus-kasus korupsi, diberbagai tingkatan, baik daerah maupun di eselon satu. Upaya melemahkan KPK lalu melalui RUU Pengadilan Tipikor, yang dirancang sedemikian rupa untuk mengurangi geliat KPK yang terlampau lincah dalam melakukan penyidikan perkara. Perkara sadap-menyadap telepon, misalnya, RUU ini secara implisit mengisyaratkan bahwa praktek penyadapan tanpa persetujuan terdakwa adalah ilegal.

Lalu muncullah suara-suara miring berikutnya, KPK=komisi perusak keluarga, dan dilarang mengumumkan kekayaan penyelenggara negara. Dengan kekuasaan ditangannya, maka secara legal, wakil rakyat kita berhak melakukan apapun untuk mereduksi wewenang lembaga yang “otoriter” seperti KPK, agar menjadi “demokratis” dan “terkendali”. Masalahnya, apakah rakyat sesungguhnya rela, melihat keadilan yang semakin dikebiri? Praktek korupsi yang jamak di parlemen kita, jelas menegasikan harapan rakyat tentang terwujudnya penyelenggaran negara yang bebas korupsi. Sehingga kehendak rakyat sebenarnya jelas, yaitu perkuat KPK untuk berantas korupsi. Namun, wakil rakyat rupanya punya argumen berbeda dengan aspirasi konstituennya.

Sekarang semuanya kembali kepada para wakil rakyat, jika mereka tetap berkeras membawa agenda yang tidak merepresentasikan kehendak rakyat, maka bersiap-siaplah untuk segera meninggalkan Senayan yang mewah dan gemerlap. Rakyat hanya akan memilih mereka yang mampu membawa aspirasi secara jernih dan tidak terdistorsi kepentingan pragmatis sesaat.

Esensi demokrasi, adalah kekuasaan ditangan rakyat yang diimplementasikan dengan mekanisme perwakilan di Indonesia, sehingga jika parlemen tidak lagi mencerminkan kehendak publik, maka sesungguhnya telah terjadi pelanggaran demokrasi oleh parlemen itu sendiri. Rakyat, berhak menghukum wakil rakyat yang telah menyelewengkan amanat dengan melakukan upaya sistematis memperlemah KPK, serta memilih wakil yang mendukung aspirasi memperkuat upaya pemberantasan korupsi diberbagai lini kehidupan bernegara.

Tidak ada komentar:

Bagikan