Kamis, 04 Desember 2008

IRONI INJAK-INJAK

Perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-63, baru silam sebulan yang lalu. Pemandangan jamak di seantero penjuru negeri, memaparkan gambaran yang klise dan serupa. Pemasangan umbul-umbul, penghiasan gerbang masuk kampung, lomba-lomba yang menggembirakan warga, baliho-baliho, poster-poster, malam-malam tirakat, semuanya menyatu jadi wajah Indonesia kala Agustus. Semangat rakyat Indonesia, mencapai kulminasinya kala bulan keramat itu menjelang. Gegap-gempita menyambut Proklamasi Kemerdekaan adalah hal yang wajar, lantaran peristiwa ini mampu mengembangkan sesungging senyum di wajah, kala tekanan hidup terus menghantui. Kenaikan BBM 23 Mei, yang diikuti berdesak-desakannya warga untuk mendapat jatah BLT, kenaikan harga bahan-bahan pokok sejak awal tahun, kedelai yang melangit harganya membuat tempe, “makanan orang desa” raib dari jangkauan penginderaan kita. Elpiji yang diplot sebagai sumber energi baru yang terjangkau, 1 Juli justru dinaikkan harganya, lalu anak sekolah yang memasuki tahun ajaran baru, menuntut alokasi dana yang pastinya tidak sedikit, karena biaya sekolah semakin menjadi-jadi saja mahalnya. Maka, 17 Agustus, bermakna bahwa kita dibolehkan sedikit berbangga diri, bahwa meskipun menderita begini, kita sudah merdeka dari penjajahan. Jadi, segala perayaan yang hingar-bingar, di sudut-sudut Indonesia tercinta, adalah ekspresi penumbuhan harapan, bahwa masih ada harapan, serta kecintaan yang begitu besar dari rakyat kepada Republik yang bentuknya abstrak iitu. Pemerintah, sebagai penyelenggara negara, seolah mampu mendengar aspirasi rakyat yang tidak pupus jua cintanya, menjawab dengan lantang dan nyaring: Pidato Kenegaraan Presiden tanggal 15 Agustus 2008, dengan slogan khas 2008, yaitu “Indonesia Bisa!”, Presiden SBY memaparkan gagasan-gagasan serta proyeksi-proyeksi harapan tentang Indonesia pada 2009. Diantaranya, dia mengklaim bahwa angka kemiskinan berhasil diturunkan, anggaran pendidikan yang 20% berhasil dipenuhi sesuai amanat Konstitusi, produksi beras 2009 akan meningkat sampai angka 63-64 juta ton, kesuksesan program BLT dalam meminimalisir efek kenaikan harga BBM, dan lain-lain. Optimisme besar bangsa Indonesia, adalah sebuah pernyataan tekad kuat untuk mencapai kesejahteraan bangsa, yang diwujudkan melalui perencanana pembangunan yang sistematis dengan fokus yang jelas. Kemerdekaan adalah langkah besar pertama untuk mampu melangkah lebih jaun untuk mencapai tujuan yang diabadikan dalam pembukaan Konstitusi Negara kita. Tapi, mendadak segala kebanggaan, optimisme, harapan tersebut luluh-lantak dalam sekejap, saat kita tertegun memandang bahwa, di Pasuruan 15 September 2008, 21 orang yang semuanya wanita, meninggal akibat terinjak-injak kala mengantri pembagian zakat oleh salah seorang dermawan. Inilah paradoks pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang belum jua tuntas mengentaskan kemiskinan dari bumi pertiwi. Menyedihkan, karena seolah kita tidak pernah belajar, bahwa kematian seorang rakyat akibat berebutan mendapatkan uang, ataupun karena benar-benar miskin hingga tidak dapat makan, seolah menjadi klise dalam fragmen hidup kita. Peristiwa Daeng Basse di Makassar, kepala desa yang tewas saat pembagian BLT, kejadian di Pasar Minggu tahun 2003, bapak yang gantung diri karena dililit utang berkepanjangan, semuanya bergulir untuk dilupakan kembali. Pada bulan Ramadhan yang sakral, kita diingatkan bahwa kemiskinan mengintimidasi kita setiap saat, seperti kata pemenang Nobel, Amartya Sen asal India, kemiskinan adalah kekerasan yang paling keji bentuknya. Karena kemiskinan mampu merubah manusia menjadi makhluk yang buas terhadap sesamanya. Keyakinan Thomas Hobbes tentang “homo homini lupus”, mungkin tidak selalu tepat, namun manusia dapat menjelma jadi serigala yang tidak sungkan memangsa rekannya sendiri, jika ia mengidap penyakit paling kronis dalam kompleks dalam sejarah umatnya, yaitu kemiskinan. Tewasnya 21 orang saat pembagian zakat yang tidak dikoordinasi dengan aparat keamanan tersebut, menegaskan posisi buasnya manusia jikala harus berebut untuk bertahan hidup. Keinginan yang mulia dari pengusaha yang menyedekahkan hartanya, ternyata memang tidak cukup untuk menenangkan manusia yang sudah melupakan wujudnya sebagai manunggaling rasa. Saat itulah, manusia telah melepaskan jubah moral, norma, atapun etika yang selama ini mengungkung serta membimbingnya untuk mencirikan diri sebagai makhluk yang berbeda dengan ciptaan Tuhan yang lainnya. Tragedi kemanusiaan yang kembali berulang, menegaskan posisi bangsa Indonesia, pada pertanyaan klasik yang sudah menjadi retoris: Benarkah kita sudah merdeka? Saya rasa pertanyaan itu kita simpan saja untuk masing-masing dari kita merefleksikan diri. Percuma saja rasanya segala perayaan yang kita gelar secara seremonial tiap tahun, dan segala pidato optimis para penyelenggra negara yang berapi-api tentang keberhasilan yang serba semu di berbagai bidang kehidupan. Kita seperti memandang utopia bulan Agustus, sementara realita bangsa akan selalu saya kenang pada bulan September, karena inilah wajah sesungguhnya Indonesia, tanpa topeng dan kosmetik yang hanya menjadikannya tampak menor dan belepotan dengan kebohongan.

Tidak ada komentar:

Bagikan