Minggu, 14 Juni 2009

THE ELECTIONS OR THAT’S ONLY YOUR BUSINESS


Indonesia since 1999, held five years special event that embarked the rule of democracy in Indonesia, called general election (Pemilihan Umum). Some of the political figure, as well as foreign observer called for appreciations for Indonesia achievement in democratising the country after ruled by authoritarian regime almost three decades long. After reformasi 1998, the general election has being held two times, in 1999 and 2004.

Specially noted, beside general elections, since 2004 Indonesia also experiencing the newly Pilkada (district election) in all of the regions in Indonesia, which is seeking to establish the democratic tradition with empowering the local government, rather centralised power in Jakarta. The series of pilkada that held since June 2005 until January 2009, has been highly praised as further step consolidating civilian rule in running the country.

Despite some dispute, like in North Maluku, and newly East Java, the most crowded regions, seems like the order of law has been strongly established in Indonesia, thanks to Constitutional Court (Mahkamah Konstitusi) which is deeply respected by Indonesian politician. Entering the 2009, the enigma (Vedi Hadiz called it) of Indonesian democracy called for one more time approvement.

Minggu, 10 Mei 2009

DIALOG DENGAN RUPA-RUPA SOSIALISME: SUATU IKHTIAR AWAL


Sungguh berbahaya penguasaan terhadap bahasa, lantaran mereka yang memiliki kemampuan lebih dalam linguistik mampu melakukan berbagai upaya sistematis guna mengaburkan makna yang dimaksud oleh bahasa tersebut. Dalam kajian kontemporer para pemikir “kiri”, kesadaran bahwa berbahayanya pembengkokan atas nama bahasa terbukti manjur menumpulkan telaah kritis, komprehensif, bahkan yang paling parah terjadi mistifikasi dan simplifikasi terhadap pemaknaan hendak dituju oleh pengguna bahasa yang menemukan istilah spesifik guna mencandra yang ia tetapkan dalam alam pikirnya.

Pembongkaran terhadap kuasa sewenang-wenang otoritas terhadap bahasa dielaborasi lebih jauh oleh para filsuf kontemporer yang khawatir banyaknya kenyataan yang sejatinya tersingkap, namun terlanjur diselubungi berbagai mitos, ritus, dan ancaman-ancaman abstrak yang melekat tatkala kita mencoba mendekati beberapa termin yang “berbahaya” dan kontroversial. Saya tidak akan mengelaborasinya lebih jauh, mungkin kesempatan lain, karena saya akan berusaha mendekati “sosialisme”, sebuah lema, entri kata dalam kamus yang belum-belum disampaikan sudah membuat sebagian besar pendengar kata ini beranjak meninggalkan tempat diamannya lantaran berjibunnya hawa mistis yang berselubung dalam kata ini.

PEMILU DAN GAGAPNYA DEMOKRASI KITA





Pagelaran demokrasi lima tahunan bertitel pemilihan umum legislatif telah rampung dihelat pada tanggal 9 April 2009 yang lalu. Kekhawatiran akan terjadinya berbagai problematika teknis terkait keterlambatan pengiriman logistik ke berbagai daerah pemilihan, teryata berhasil diatasi oleh Komisi Pemilihan Umum yang menyatakan terhitung H-2 seluruh perlengkapan teknis termasuk logistik telah terpasok dengan ekstensif ke TPS-TPS di seluruh Indonesia.

Tidak heran, Ketua KPU, Abdul Hafiz Anshary bahkan berani mengembangkan senyumnya atas kerja keras kolektif lembaga penyelenggara kenduri demokrasi lima tahunan tersebut. Pemerintah pun ikut-ikutan optimis lantaran kepercayaan diri lembaga independen yang dihuni para akademisi dan profesional non-partisan struktural, sampai Presiden Yudhoyono satu hari mendekati hari H juga mengangguk takzim, Pemilu legislatif siap dilaksanakan.


POLITIK PERJUDIAN CALON LEGISLATIF


Pagelaran demokrasi lima tahunan bertitel pemilihan umum legislatif telah rampung dihelat pada tanggal 9 April 2009 yang lalu. Kekhawatiran akan terjadinya berbagai problematika teknis terkait keterlambatan pengiriman logistik ke berbagai daerah pemilihan, teryata berhasil diatasi oleh Komisi Pemilihan Umum yang menyatakan terhitung H-2 seluruh perlengkapan teknis termasuk logistik telah terpasok dengan ekstensif ke TPS-TPS di seluruh Indonesia.

Tidak heran, Ketua KPU, Abdul Hafiz Anshary bahkan berani mengembangkan senyumnya atas kerja keras kolektif lembaga penyelenggara kenduri demokrasi lima tahunan tersebut. Pemerintah pun ikut-ikutan optimis lantaran kepercayaan diri lembaga independen yang dihuni para akademisi dan profesional non-partisan struktural tersebut, sampai Presiden Yudhoyono satu hari menyongsong hari H juga mengangguk takzim, Pemilu legislatif siap dilaksanakan.

MENGEMBALIKAN MANDAT RAKYAT




Hingar-bingar pagelaran demokrasi di Indonesia yang mengambil lakon bernama Pemilu Legislatif 2009 mulai mereda. Tahapan penghitungan suara meski terus berlangsung hingga tulisan ini diturunkan, tampaknya tidak akan banyak merubah komposisi partai-partai yang telah menduduki deretan tangga sebagai partai yang memperoleh suara terbanyak dari pemilih. Dalam 10 besar partai politik yang berhasil meraup suara, kita menyaksikan bersama betapa partai tengah mendominasi pemilihan legislatif tahun 2009.


Partai Demokrat, Golkar dan PDI-P, jika total jumlah suaranya digabungkan, akan mencapai persentase sekitar 50% suara, atau nyaris separuh dari jumlah pemilih yang angkanya sekitar 170 juta jiwa. Partai lainnya yang berasas dan bernafaskan Islam seperti PKS, PPP, PKB, dan PAN memperoleh tidak lebih dari 10% untuk masing-masing partai.

Sementara dua partai baru, Hanura dan Gerindra yang dianggap mampu menjadi kuda hitam, berhasil melewati batas parliamentary threshold sebesar 2,5 %, lantaran suaranya melampaui ambang minimum tersebut. PBB yang notabene partai kawakan dan punya basis massa fanatik, ternyata bernasib tragis lantaran jumlah suaranya tidak mencapai 2,5%. Demikian pula 24 partai politik nasional lain yang rentang perolehan suaranya antara 1,5-0,1% dari jumlah pemilih.

BERSATU AGAR DIHORMATI DAN BERMARTABAT



BERSATU AGAR DIHORMATI DAN BERMARTABAT


Wajah muram ibu pertiwi jatuh semakin kelam. Untuk kesekiankalinya, tumpah darah Indonesia yang mengais nafkah guna menyambung hidup nun di seberang lautan, lagi-lagi terancam kehilangan hak hidupnya. Kasus deportasi para buruh migran telah terjadi berulangkali semenjak masa Orde Baru. Namun, jasa para pahlawan devisa yang jarang disebut namanya dalam berita media massa, seolah tidak mampu berdaya menghadapi penolakan ataupun pengusiran sewenang-wenang dari negara yang sebelumnnya telah bersepakat memberikan kesempatan kerja bagi mereka.


Kasus deportasi massal para buruh migran dari Malaysia yang terkenal sebagai peristiwa Nunukan, dimana 700 ribu manusia diusir oleh otoritas negeri jiran, mungkin sudah dilupa. Tapi, kasus pemukulan wasit karate Donald Kolopita, Nirmala Bonat, bunuh diri mahasiswa di Singapura serta segunung kasus kriminal lain yang melanda warga negara Indonesia tatkla mereka berada jauh dari negeri tercinta selalu menimbulkan pertanyaan besar bagi khalayak ramai. Terlebih lagi masalah buruh migran, meski pemerintah sudah berusaha menetapkan regulasi permanen melalui UU.No 39 Tahun 2004, beserta dibentuknya badan resmi perwakilan pemerintah, BNP2TKI, kasus pengusiran buruh migran tidak jua berhenti terjadi. Pemerintah meski telah mengklaim berhasil melakukan perbaikan layanan bagi TKI, juga menekan angka kejahatan dan pengusiran yang diderita oleh para pahlawan devisa, tetapi kasus-kasus elementer ini masih saja terus berulang seolah telah menjadi rutinitas harian bersama.


Mengurai akar permasalahan tentang TKI jelas bukan perkara sekali pukul, melainkan perlu upaya berkesinambungan serta rekonstruksi sistem holistik yang mampu berfungsi permanen, tidak hanya sekedar menjadi macan kertas semata. Tercerai-berainya para buruh migran yang bekerja sebagai pekerja kasar dan rumah tangga, menjadi salah satu faktor utama rentannya kelompok ini menerima perlakuan kasar dari pihak yang mempekerjakan.

Tidak seperti rekan-rekannya yang berada di pabrik ataupun perusahaan, para pekerja kasar dan rumah tangga kesulitan mengorganisisasi diri maupun berkomunikasi dengan badan perwakilan pemerintah, lantaran aksesibilitas komunikasi yang sangat terbatas. Dengan jumlah jam kerja diatas 12 jam sehari, 7 hari seminggu tanpa ada jeda, bagaimana caranya para pekerja ini mendapatkan jaminan perlindungan tatkala mereka tidak sehat, sakit, atau ingin mengetahui kabar kampung halaman?
Persoalan jarak yang memisahkan para buruh migran hingga mereka terserak-serak di berbagai sektor pekerjaan dan tempat kerja, tidak dapat diatasi jika hanya mengandalkan belas kasih para majikan semata, pun wewenang lembaga pemerintah yang biasanya hanya mengurusi masalah administrasi.

Karena itu, para pekerja Indonesia di luar negeri, khususnya mereka yang berada pada posisi marginal, sejatinya perlu menumbuhkan inisiatif untuk membentuk wadah mandiri yang mampu menjadi sarana untuk menampung sekaligus menyalurkan aspirasi yang selama ini terhambat. Keberadaan organisasi penyambung aspirasi dapat menjadi solusi efektif bagi para pekerja yang mungkin kesulitan berinteraksi dengan para majikannya karena faktor bahasa, penghasilan, keberanian, atau faktor etis lainnya, hingga para majikan juga mampu memahami kebutuhan para pekerjanya yang belum terpenuhi.


Perlu disadari bahwa para pekerja dan majikan telah terikat kontrak kerja yang menyebabkan kedua belah pihak harus tunduk pada klausul-klausul yang termaktub di dalamnya, sehingga jika salah satu pihak melanggar kesepakatan yang telah dibuat, maka secara legal dia telah melawan hukum yang berlaku berdasar perjanjian yang disepakati. Keberanian untuk menautkan berbagai kepentingan di dalam satu wadah memang bukan pekerjaan ringan, tetapi jika hambatan tersebut dapat diatasi maka kasus-kasus pengabaian hak-hak para pekerja Indonesia di luar negeri oleh para majikan dapat direduksi hingga tingkat minimum, sehingga tatkala para pahlawan devisa kembali menapakkan langkah di tanah kelahiran, mereka berani mengangkat kepala karena telah berhasil meningkatkan martabat rakyat Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan terhormat.

Sabtu, 14 Februari 2009

KEBOBROKAN AFIRMATIF



Beberapa masa yang telah silam, penulis berkesempatan untuk mengunjungi beberapa kota di Indonesia. Dalam kunjungan selama seminggu tersebut, muncullah beberapa gejala latah berdemokrasi yang tampaknya sudah dimafhumi oleh khalayak mengenai iklan politik. Iklan politik, dalam beberapa macam bentuknya, pertama, adalah tayangan iklan politik di media massa yang berisi; perkenalan diri, visi-misi yang diusung, keberhasilan yang telah dicapai, dan program yang ditawarkan.

Selain bentuk model dalam media wacana, iklan politik juga mengambil wujud lain, yakni; penampakan alat peraga visual yang berisikan gagasan-gagasan politik dan pengenalan diri kandidat politik kepada masyarakat. Bentuk kedua adalah yang paling sering dijumpai oleh rakyat Indonesia beberapa bulan terakhir. Wajah-wajah manusia dengan beragam ekspresi, menyebar di penjuru wilayah-wilayah publik, mulai dari tiang listrik, rumah makan, terminal bis, kendaraan-kendaraan umum dan seterusnya. Singkat cerita, seluruh ruang publik yang tadinya senyap, tiba-tiba semarak dengan beragam atribut tersebut.

Dari dua model iklan politik ini, kemudian muncullah beberapa kekhawatiran yang menyeruak dari publik mengenai bentuk kampanye politik dengan model iklan. Alat peraga visual yang bertebaran serampangan di jalan-jalan dikeluhkan akibat berbagai sebab, lantaran hanya berisi wajah kandidat, lalu disertai nama yang diembel-embeli gelar religius atau intelektual sedapatnya, lalu slogan-slogan retoris yang tidak dalam maknanya. Selain itu, penempatan alat peraga visual juga sangat riskan membahayakan keselamatan masyarakat, karena tidak memiliki standar ukuran baku, ataupun spesifikasi standar yang memadai agar tidak mencederai sekaligus mempunyai potensi mencelakai orang yang berada di sekitarnya.

Dari segi pemaknaan, bentuk alat peraga visual juga dinilai tidak efektif lantaran hanya bersifat satu arah, dogmatis, dan akhirnya, dangkal. Jika dibandingkan dengan model iklan politik di media massa, efektivitas keberhasilan iklan, yakni tersampaikannya pesan dari pembuat iklan kepada penerima, jauh lebih baik lewat media massa, lantaran pesan lebih dinamis, komunikatif, dan mampu memuat lebih banyak substansi ketimbang bentuk alat peraga yang terperangkap pada simbol-simbol penanda visual.

Lebih jauh, pemaparan gagasan politik dalam ruang media, tampaknya dianggap lebih lumrah dan rasional oleh publik. Tentu saja, hal ini didukung fakta bahwasanya tugas utama media massa, adalah menyampaikan informasi kepada publik, terlepas informasinya bermutu atau tidak. Sedangkan ruang-ruang nyata publik, yakni jalan raya, gardu listrik, rumah makan, kendaraan umum, cenderung dilihat sebagai tempat-tempat yang tidak cukup pantas untuk dijejali dengan gagasan-gagasan politik yang sempit dan terbatas.


Kebobrokan serta kecarut-marutan penataan kota-kota di Indonesia yang seolah-olah tidak pernah mengenal estetika, terlihat sudah cukup diterima oleh masyarakat dengan berbesar hati. Kemacetan tiap hari, orang-orang yang berjubel di kendaraan umum, fasilitas publik yang menyedihkan keadaanya karena tidak dirawat, bangunan-bangunan yang ditata sembarangan, jalan-jalan rusak dan berlubang, proyek-proyek pembongkaran jalan dengan beragam alasan yang tidak jelas kapan dirampungkan, telah membuat tensi publik begitu tinggi akibat kesemrawutan. Sekarang, dengan alasan sosialisasi politik, pemandangan kota-kota yang bobrok akan semakin diramaikan oleh tetangga baru, yakni alat peraga kampanye politik.

Sebagai tetangga baru yang baik, maka ia juga harus ikut serta menjunjung tinggi kaedah dasar dalam menempatkan diri, yakni dipasang sembarangan, tanpa bentuk baku, standar keselamatan, apalagi jaminan gantirugi bagi mereka yang celaka akibat penempatan alat peraga yang serampangan tersebut. Demokrasi sejatinya mensyaratkan partisipasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, sehingga adanya pelibatan langsung rakyat, terutama terkait spesifikasi alat peraga visual yang aman dan mampu menyampaikan pesan politik secara optimal, perlu segera diinisiasi, agar mutu demokrasi kita semakin maju dan mampu menyumbangkan kemajuan bagi peradaban Indonesia.

MENGUJI BATAS NURANI

Perang itu telah dimulai. Ratusan wajah dengan beragam ekspresi berusaha meyakinkan publik bahwa mereka layak dipercaya. Ada yang berusaha sekuat tenaga, namun ada jua yang sekadar pasang nama. Pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia akan diselenggarakan beberapa saat lagi. Riuh-rendah baliho, poster, dan spanduk membentang serampangan di sudut-sudut jalan. Mungkin wajah-wajah yang terpajang di pinggir jalan lupa, rakyat Indonesia tidaklah tidur dan melupakan segala masalah yang sedang mereka hadapi. Kelangkaan minyak tanah, BBM, harga-harga komoditas yang melonjak, adalah beberapa deret permasalahan elementer yang terus saja menyertai keseharian rakyat Indonesia. Masalah tersebut masih membayang tatkala hajatan istimewa lima tahunan, Pemilihan Umum semakin dekat. Partai politik tampil istimewa lantaran tiba-tiba merias jalan-jalan dengan publikasi yang belepotan, sedangkan pemerintah seolah tidak mau ketinggalan. Instruksi untuk memperketat persyaratan unjuk rasa semakin memanaskan Indonesia yang masih berbenah.
Unjuk rasa, yang dahulu adalah peristiwa sakral lantaran hanya berani dilakukan oleh sekelompok elite dalam masyarakat (baca: mahasiswa), saat ini mulai luntur daya magisnya. Orasi-orasi membakar semangat, mengkritisi pemerintah, adalah penyegar bagi kehidupan politik yang dahulu serba sempit lantaran dihegemoni oleh sekelompok orang. Namun, saat ini, mereka yang merasa tidak puas terhadap segala sesuatu bisa menyatakan perasaannya secara langsung, tanpa harus melalui perantaraan mahasiswa. Di tengah iklim kehidupan politik Indonesia yang menjunjung tinggi semangat demokrasi, aturan pemerintah untuk memperketat pelaksanaan unjuk rasa adalah sebuah anomali, laksana tetes air yang runtuh kala langit benderang. Keberhasilan pemerintah mengakomodasi beberapa tuntutan demonstran seperti menurunkan harga BBM, meneruskan perjuangan memberantas korupsi, dan menjamin ketersediaan bahan pangan seolah lenyap tatkala pemerintah menetapkan aturan tersebut.
Keputusan pengetatan persyaratan unjuk rasa menampakkan bahwa pemerintah berkuasa (incumbent) merasa masih belum memiliki cukup legitimasi serta persentase elektabilitas yang memadai dalam pemilihan umum mendatang. Kebijakan ini dapat segera dibaca sebagai upaya pemerintah untuk mengamankan suara sekaligus kepercayaan pemilih, lantaran keberhasilan utama yang selama ini paling menonjol, yakni menjaga keamanan dan ketertiban dapat terus disodorkan kepada rakyat. Ironis, sekali lagi pemerintah berkuasa terlanjur terpikat dengan strategi politik pencitraan yang berlebihan. Meski rongga wajahnya berlubang-lubang, namun masih saja berkeras untuk menutupi kekurangan tersebut dengan perias wajah. Masalahnya, sampai kapan strategi mempermak wajah ini akan terus berhasil? Penulis yakin, rakyat Indonesia mengetahui sendiri jawabannya. Saat unjuk rasa menghebat pada bulan Mei dan Juni akibat kebijakan menaikkan harga BBM, rakyat yang dirugikan dengan besar hati menerima kebijakan tersebut dengan “terpaksa”. Kini, saat harusnya pemerintah menjadi pelopor utama integrasi seluruh masyarakat agar bersama-sama menyongsong pemilihan umum dengan cara damai, yang terjadi justru berusaha mengail di air keruh. Kekhawatiran berlebihan pemerintah terkait demonstrasi sungguh tidak beralasan, lantaran demokrasi substansial mensyaratkan agar kedaulatan berada di tangan rakyat. Kontrol berlebihan terhadap aktivitas masyarakat, termasuk mengatur persyaratan demonstrasi, menandakan bahwa demokrasi di Indonesia masih berada dalam koridor prosedural, atau singkatnya, masih jalan di tempat.

KALA MAHASISWA MEMBERANGUS DEMOKRASI

Mungkin saya memang masih kanak-kanak saat tahun 1998, tetapi melalui layar kaca, seorang anak kecil yang tinggal di ujung timur Indonesia, mampu merasakan gelegak kemarahan anak-anak muda harapan bangsa yang memiliki nama spesial "mahasiswa".
Mei 1998, puncak dari konstelasi politik Indonesia, yang ditandai melalui kalimat ampuh "Turunkan Soeharto!". Anak-anak muda yang berlabel "mahasiswa" berulangkali disebut dalam liputan media, semuanya nyaris menuntut hal yang sama, terutama sekali diturunkannya Soeharto sebagai Presiden Indonesia. Penulis ingat betul foto Sang Jendral Besar yang sedang tersenyum hangat, dan menghiasi ruang-ruang publik di Indonesia selama puluhan tahun, dicoret-coret oleh mahasiswa, ditambahkan penutup mata, hingga Soeharto lebih mirip dengan Jack Sparrow si bajak laut sedeng.
Sepuluh tahun lalu, seluruh mahasiswa menuntut dipulihkannya demokrasi sipil serta menghapus dwifungsi ABRI. Mahasiswa akhirnya berhasil mencapai kedua tujuan ini, meski ada sekelompok kecil yang tidak puas, amanat besar Reformasi untuk memberlakukan pemerintahan yang demokratis, sekarang telah dijalankan.
Sekarang penulis telah menjadi bagian dari kelompok legendaris yang berulangkali merubah wajah Indonesia, sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada. Sebagai salah satu kampus yang terkenal menggulirkan Reformasi, yang terjadi saat ini sungguh sangat disesalkan.
Pada tanggal 15-17 Desember 2008, diadakan Pemilihan Raya Mahasiswa (Pemira) UGM, yang bertujuan memilih Presiden Mahasiswa, Dewan Perwakilan Mahasiswa, dan Dewan Perwakilan Fakultas. Pemira UGM dapat disebut sebagai salah satu pendiri awal tiang-tiang demokrasi di Indonesia, lantaran menggunakan jargon "Presiden" yang dulu pada masa Orba sangat disakralkan, serta menganut sistem multipartai bebas yang merupakan terobosan baru ketika Indonesia hanya boleh memiliki tiga partai politik.
Memang Pemira UGM selalu dicerca oleh sekelompok mahasiswa yang mengatasnamakan seluruh mahasiswa Gadjah Mada sebagai pemilihan bohong-bohongan, lantaran partisipasi pemilih yang rendah (5-10% dari jumlah seluruh mahasiswa) yang menang hanya Partai mahasiswa tertentu yang berafiliasi dengan salah gerakan mahasiswa muslim, yang dituduh sebagai antek partai politik tertentu.
Pada hari kedua Pemira, penulis mendapati beberapa lembar kertas yang berbunyi, "Pemira=Pemilihan Rasa Orba", "Memilih=Berpartisipasi=BUNUH DIRI!", "Mampuslah Pemira!", "Ritual pengangkatan pimpinan sebuah organisasi mafia dan broker politik", "tanda impotensi mahasiswa karena gagal mengatur diri sendiri", dan sebagainya.
Penulis tidak peduli dengan berbagai jargon yang menghina intelektualitas kaum terpelajar diatas, tetapi lebih tergelitik ketika membaca bagian akhirnya,"Kami tak mengklaim apapun, tak minta apapun.(tapi) kami akan merebut dan menduduki!"
Sungguh tragis, tampaknya bangsa kita memang ditakdirkan untuk menjadi bangsa pelupa, yang hobinya gonta-ganti sistem, tanpa pernah berusaha maksimal untuk memaksa sistem tersebut bekerja optimal. Kita lebih suka jalan pintas (merebut dan menduduki), ketimbang berkontestasi secara sehat dalam demokrasi ala mahasiswa, yang membebaskan mahasiswa, bahkan dari jalur independen sekalipun untuk bersaing dengan kandidat-kandidat Presiden Mahasiswa yang berasal dari partai mahasiswa.
Mungkin sekali, inilah wajah Indonesia beberapa tahun ke depan, yaitu saat para pelopor perubahan malah mencerca perubahan yang telah mereka perjuangkan. Dahulu menuntut demokrasi, sekarang malah ingin memberangus demokrasi yang (tragisnya) dibangun oleh darah para martir reformasi. Semoga mereka yang menuntut “perebutan dan pendudukan”, menyadari bahwa reformasi adalah buah perjuangan yang mereka lahirkan dari rahim para mahasiswa, dan sebagai orangtua (yang baik), adalah wajib hukumnya untuk merawat buah perjuangan yang baru berumur 10 tahun tersebut.

UJIAN SEBAGAI AWAL

“Tingkatan tertinggi dari pengetahuan adalah sintesis, atau penemuan baru”. Pernyataan ini saya dengarkan dari seorang pendidik dikenal disiplin oleh anak didiknya. Terlepas dari ketidaksukaan anak didiknya terhadap metode si guru yang serba ketat dalam membukakan jalan menuju padang pengetahuan yang tidak berhingga luasnya, tujuan utama si guru sebenarnya sangat sederhana, yakni membekali anak didiknya agar memiliki kerangka pijak yang kukuh sebelum mulai menjelajah rimba dimensi intelektual tak berhingga. Sebelum diijinkan untuk masuk hutan terlarang tersebut, maka diperlukan mekanisme untuk menguji kesiapan sang anak didik. Maka dirancanglah metode pengujian yang dianggap paling representatif untuk mengukur kemampuan anak didik.
Namun, pemaknaan yang keliru mulai menghinggapi setelah tiba di tahap pengujian, lantaran ujian malah dianggap sebagai “akhir dari perjalanan”, atau penghabisan dari rutinitas kegiatan perkuliahan. Paradigma ujian sebagai ajang penghabisan akhirnya malah menuntun para anak didik untuk tiba-tiba berlomba menjadi robot yang paling sempurna komponennya, yakni yang paling utuh hafalannya, paling lengkap catatannya, dan akhirnya menjadi makhluk yang paling patuh terhadap kehendak pengajar. Mekanisme ini dilanggengkan melalui beberapa model, yang paling jamak adalah model ujian tertulis. Di sebuah ruangan kelas yang hening, dengan beberapa pengawas, dan selembar kertas folio bergaris, anak didik berlomba-lomba menjadi yang terbaik dalam jangka waktu 120 menit.
Model tersebut sebenarnya tidaklah buruk, namun menjadi anomali ketika dikonfrontir dengan paradigma ujian sebagai “awal dari perjalanan baru”. Ujian tulis yang mendasarkan kekuasaannya kepada beberapa butir soal, yang kemudian jawaban dari peserta didik ditelaah oleh para pendidik, bukannya mengantarkan peserta didik menyongsong fajar gemilang, malahan menuntun ke arah kegelapan baru, lantaran, bisa dipastikan peserta didik tidak dapat mengingat secara rinci jawaban apa yang diberikan kala ujian tulis berlangsung.
Kemudian, setelah beberapa masa berselang, hasil pemikiran yang sejatinya menjadi pembuka gerbang baru, dikonversi menjadi deretan huruf nominal yang kaku di layar komputer. Apalah artinya mendapatkan nilai “A” jika tidak dapat menganalisis genealogi agresi Israel, tidak mampu mencari tahu mengapa partai politik mampu membentuk oligarki, atau tidak jua memahami mengapa Carrefour dapat terus melakukan ekspansi bisnis global. Karena itu, metode pengujian yang mengalienasi gagasan anak didik dengan cara ujian tulis (mahasiswa tidak dapat membaca kembali jawaban ujiannya), perlu direnungkan kembali, lantaran sintesis pengetahuan baru adalah sebuah tujuan yang maknanya universal dan bermaksud untuk menjaga agar khazanah intelektual tidak berhenti di ruang hampa kepongahan.
Sebagaimana telah disampaikan di awal tulisan ini, bahwa ujian adalah penghantar menuju alam intelektual yang tidak berhingga, sehingga penulis berpendapat, sebaiknya ujian adalah ajang penemuan ataupun pemaparan gagasan-gagasan baru yang kemudian tidak hanya menjadi sekedar ajang hegemoni wacana oleh pengajar, melainkan juga menjadi arena penemuan bersama antara pendidik dan peserta didik untuk melahirkan pemahaman baru mengenai subjek yang selama ini dipelajari di ruang kelas perkuliahan. Hingga di akhir kelas perkuliahan, dikotomi relasi antara pengajar dan anak didiknya, harusnya lenyap, lantaran kedua pihak telah memiliki gagasan yang setara tentang pemahaman masalah, dan yang menjadi subordinan justru permasalahan aktual yang sedang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

KUNING

wajahmu kuning
membuncah penuh nada
direnda rona nyala
tersipu
Tatapmu lurus
detak waktu berdenyut
bersama peraduanmu

Seringaimu hening
menahan hari yang beranjak
tergesa dalam irama gumammu

Bisikmu ingatkan aku
esok lagi berarti

MENANTI HARI

membayang dalam jeratan singkap
terlelap hitam mengaduk sunyi, lagi
lenyap masa yang bertunas
kerdil jika diraup

derai mengalun berlamat
huni tinggal menatap
hari berlari-lari, tak berkaki

sekap berjengah ganti
lintang sukar menjenjang endus
terlipat kelam bertadah hampa
ingin kerik berkali

turun percik menyurut
sandar bukit peluhan
hitung melaju, enggan menderu
menapak langkah benalu

terang kemilau disangga
berukir 59 dirongganya
tapi tak jua ku-Indera
rabai, rasai, peluhi, jejaki
mendengus titik fanaan
sembunyi di tingkapan balai
menanti hari..

LIARAN

Dia yang keliaran
dia yang menyusur jalan
dengan derap berat nafas
buru ruang hiruk yang lengang

Dia yang keliaran
mencari jejak air mata
berlinang tumpah di tepi hari
menyedu hati yang penuh
irisan luka abadi bertanggal lahir

Dia yang keliaran
menghirup jejak hidup kesunyian
harap rengkuh barang nyawa
tertinggal di sengal bibir
mencumbu keheningan kelam dengan ganas
gelora enggan menyauh

Dia yang keliaran
gundah selalu masa
berpacu bersama-sama
terang tak diminta
gerus sabda sejati
luntak mengucur darah suram
tak rela tinggalkan kini

Dia yang keliaran
menangis sepi di tepi hari
bergumam pasti
"aku-akan-kembali-setiapkali-engkau-terlarut-nikmat!"

SAUH GEMURUH

Menyauh ujung deru gemuruh
senggulung tirus menatap liku
dalam buncah dengung
menghunus kelu jabat terlindap

Saling, beradu riuh henti mengerut
terakan jengah pula
pusaran sungkur bersungut-sungut jejak derapan

Gelung rima menjerit sunyi
tidak tandas sengau
meringkuk jeri senyapan
lelap hingga benaman

Turun seri
dipecah sangkar berhuni
celetuk sendi

AYUN

hariku mengayun
tertatih-tatih menyusul waktu yang
menunggang lupa

pernah coba berlari
kecil-sambil tertawa berderai-menunduk laku
wajah tengadah dihempas
pukul angin yang
menyiul genit menggoda terik agar
mengambil sepi

lalu kudengar langgam-langgam merana
berpukul ulang mengejar
pilu yang sendiri
menyedu gelas bundar berhinggap
kicau sunyi memantul-mantul ujar
berdiri dengan kaki luruh hentakan

datanglah februari sendiri
menyeru peluit menalu-nalu
dan kami serentak mengayun
lewat jingkatan di pintu masuk
mengepal kelebat lalu menangis

Rabu, 21 Januari 2009

Lebih Baik

G n R- Better, dari album Chinese Democracy (2008)
No one ever told me when
I was alone
They just thought I'd know better,
better

No one ever told me when
I was alone
They just thought I'd know better,
better

The hardest part
This troubled heart
Has ever yet been through now

Was heal the scars
That got their start
Inside someone like you now

For had I known
Or I'd been shown
Back when how long it'd take me

To break the charms
That brought me harm
And all but would erase me

I never would
Or thought I could
No matter what you'd pay me

Replay the part
You stole my heart
I should have known you're crazy

If all I knew
Was that with you
I'd want someone to save me

It'd be enough
But just my luck
I fell in love and maybe

All that I wanted was...

Now I know you better
You know I know better
Now I know you better

So bittersweet
This tragedy
Won't ask for absolution

This melody
Inside of me
Still searches for solution

A twist of fate
A change of heart
Cures my infatuation

A broken heart
Provides the spark
For my determination

No one ever told me when
I was alone
They just thought I'd know better,
better

No one ever told me when
I was alone
They just thought I'd know better,
better

All that I wanted was...

Now I know you better
You know I know better
Now I know you better

I never wanted you to be so full of anger
I never wanted you to be somebody else
I never wanted you to be someone afraid to know themselves
I only wanted you to see things for yourself

All that I wanted was...

Now I know you better
Now we all know better

All that I wanted was...

If I were you
I'd manage to
Avoid the invitation

Of promised love
That can't keep up
With your adoration

Just use your head
And in the end
You'll find your inspiration

To choose your steps
And won't regret
This kind of aggravation

No one ever told me when
I was alone
They just thought I'd know better,
better

No one ever told me when
I was alone
They just thought I'd know better,
better

Yang ini jelas masih hangat dan segar, album yang sudah dinanti-nantikan banyak penggemar tapi tidak jua dirilis, akhirnya jadi bahan olok-olok media. keputusan axl rose mengumumkan judul albumnya duluan, tetapi tidak menyertakan kapan album ini akan selesai dibuat, membuat para penggemar, pencinta musik dan media optimis bahwa album ini hanya akan jadi nama semata. formasi g-n-r yang teranyar di album hanya menyisakan axl sendirian sebagai personel asli band ini, sementara rekan-rekan seperjuangannya telah membentuk band sendiri, velvet revolver, dan mereka juga sudah merilis album sendiri yang bertajuk libertad. album chinese democracy yang akhirnya menjadi kenyataan, dipuji oleh para kritikus, dan saya juga sangat menyukai album ini karena kualitas artistiknya yang tinggi. g-n-r berhasil mempertahankan standar musik yang kredibel dengan pasukan tempur barunya. meski aroma-aroma klasik use your illusion dan appetite for destruction tidak dapat diendus lagi, saya sangat menyarankan mendengar album ini jika anda mencari kualitas, tidak sekedar tembang catchy yang bertahan satu minggu di tangga lagu. saya yakin kalau lagu-lagunya seperti ini, jelas tidak akan ada yang bertahan di tangga lagu, tetapi jika anda adalah penggemar g-n-r, memiliki album ini adalah kewajiban, karena, ternyata band ini masih sanggup terus meraung-sambil melenguh, meski sempat diragukan kemampuannya. kembali ke better, track nomor tiga dari album chinese democracy, dibuka dengan hook maut "no one ever told me when, i was alone, they just thought i'd know better, better". raungan klasik axl yang melenguh-lenguh masih kental di lagu ini, tidak ketinggalan hujaman melodi gitar yang mengiris-iris, meski bukan lagi mengandalkan sang satria bergitar, slash. lagu ini sangat heavy, tetapi melalui hook manis yang menyusup ke dalamnya, seperti minum kopi tubruk di siang hari, keras, tapi masih bisa dicerna oleh otak. tapi kalau mendengarkan album ini, jelas menghabiskan dua liter kopi pahit di tengah malam, dan setelahnya, kelam enggan beranjak dari pandangan kita. benar-benar heavy, komposisi yang artsy, dan jangan lupakan lenguhan axl yang masih birahi tanpa henti setelah sekiah puluh tahun berkarya!

Senandung Jam Tiga Pagi

B.B. King-Three O'Clock Blues
Well now, it's three o'clock in the morning
And I can't even close my eyes.
Three o'clock in the morning
And I can't even close my eyes.
Can't find my baby
And I can't be satisfied.

I've looked all around me
And my baby, she can't be found.
I've looked all around me, people,
And my baby, she can't be found.
You know if I don't find my baby,
People, I'm going down to the golden ground.

Goodbye everybody,
I believe this is the end.
Oh, goodbye everybody,
I believe this is the end.
I want you to tell my baby,
Tell her please, please forgive me,
Forgive me for my sins.

Komentar:
Well, well, ini lagu umurnya mungkin lebih tua dari umur ayah saya. lagu ini aslinya milik lowell fusion (ga tau tahunnya), tapi lagu ini jualah yang mengantarkan b.b. pada kemasyhuran lantaran berhasil mendudukipuncak tangga lagu r n b pada tahun 1940-an. lagu tentang begadangan sangat cocok dengan situasi saya yang sedang dilanda demam tidak boleh dan tidak dapat tidur. lagu ini ternyata dimuat juga dalam album duet b.b dengan clapton Riding with the King tahun 2000. langsung saja saya nostlagia memamah lagu berdurasi hampir 9 menit yang isinya penuh dengan emosi bluesman.liriknya mungkin berkisar sekitar 3 menitan, nah lantas 9 menit isinya apa? tentu saja solo gitar b.b dengan tone mean and moody yang menyayat-nyayat kepiluan perasaan anak manusia yang tidak bisa tidur jam 3 pagi. selera saya sangat jadul, tidak peduli, karena begitu menyimak blues, saya langsung sadar bahwa inilah salah satu hal di dunia yang membuat hidup mampu menghidupi manusia.

Berkendara Bersama Raja

Eric Clapton dan B.B. King - Riding With The King
I dreamed I had a good job and I got well paid.
I blew it all at the penny arcade.
A hundred dollars on a kewpie doll.
No pretty chick is gonna make me crawl.

Get on a TWA to the promised land.
Every woman, child and man
Gets a Cadillac and a great big diamond ring.
Don't you know you're riding with the king?

He's on a mission of mercy to the new frontier,
He's gonna check us all on out of here.
Up to that mansion on a hill
Where you can get your prescription filled.

Get on a TWA to the promised land.
Everybody clap your hands.
And don't you just love the way that he sings?
Don't you know we're riding with the king?
Riding with the king.
Don't you know we're riding with the king?

A tuxedo and shiny 335.
You can see it in his face, the blue never lie.
Tonight everybody's getting their angel wings.
And don't you know we're riding with the king?

I stepped out of Mississippi when I was ten years old
With a suit cut sharp as a razor and a heart made of gold.
I had a guitar hanging just about waist high
And I'm gonna play this thing until the day I die.

Don't you know we're riding with the king?
Don't you know we're riding with the king?
Riding, you're riding with the king.
You're riding, you're riding with the king
Judulnya saja, sebenarnya sudah menjelaskan maksudnya, berkendara dengan raja, bukan raja yang denotatif, tapi si B.B. King. Beberapa bagian lirik juga ditujukan buat si B.B. seperti "a tuxedo and shiny 335" maksudnya adalah penampinlan perlente dan gitar es-335, yang lebih dikenal dengan nama lucille karena penentengnya b.b. clapton di lagu ini memegang kendali penuh atas seksi ritem, lantaran bagian melodi semuanya jadi hak milik b.b., album ini dibuat tahun 2000, dan clapton masih membawa senjata andalannya, fender signature series dirinya sendiri. Karena hidup saya beberapa minggu ini menjadi sangat monoton, seorang kawan menganjurkan agar saya rehat sejenak, dan mendengarkan lagu-lagu kesukaan saya. setelah sempat menyimak beberapa lagu yang sedang in, tanpa diduga saya menemukan lagu ini di komputer. akhirnya, saya mungkin bisa menikmati segala macam jenis musik, namun ketika memamah blues, saya selalu ingat dengan siapa saya jatuh cinta.

MENCARI KHORA



Dalam menjalani kehidupan, kita terkadang mendapati situasi dilematis yang tidak dapat dimasukkan menjadi kategori benar-salah, tepat-ngawur, cerdas-tolol, bagus-jelek, dan seterusnya yang memasukkan peristiwa kehidupan menjadi dua sisi mata dadu yang anakronis.

Seringkali, situasi dilematis muncul, yang membuat kita merasa saat melakukannya, tidak merasa bersalah, tetapi juga memahami bahwa hal tersebut bukanlah tindakan yang terbaik. Seperti saat menunggu jam mata kuliah yang hanya bersela sekitar 1-2 jam, kita memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan berselancar di dunia maya, entah pinjam laptop teman, pakai laptop sendiri, pergi ke warnet, ataupun pake komputer publik yang sekarang menyebar di kampus-kampus.

Senin, 05 Januari 2009

GENEALOGI AGRESI ISRAEL TERHADAP PALESTINA


Puluhan ribu orang yang turun ke jalan mengenakan pakaian serba putih, disertai panji-panji berupa bendera Palestina, memenuhi Bundaran Hotel Indonesia, pada tanggal 2 Januari 2009 yang lalu. Seandainya, peristiwa tersebut tidak terjadi di Bundaran HI, maka kita pasti akan dibuat bingung lantaran lautan massa yang menyemut mengibar-ibarkan bendera negara yang sekarang sedang dibombardir Israel tanpa ampun. Namun, di sela-sela bendera Palestina, terselip Sang Saka Merah Putih, beserta lambang salah satu partai politik peserta Pemilu 2009, Partai Keadilan Sejahtera, sehingga kita berkesimpulan bahwa aksi unjuk rasa ini digelar oleh simpatisan PKS yang turut prihatin terhadap peristiwa agresi yang menimpa warga Palestina belakangan ini. Semenjak Israel menyerbu Palestina tanpa alasan yang jelas, akhir tahun 2008, tiba-tiba Indonesia bergolak, ribuan massa turun ke jalan meneriakkan kecerobohan Israel, lemahnya Amerika, menderitanya rakyat Palestina, dan menuntut adanya aksi konkret untuk meringankan beban rakyat Palestina. Beberapa alasan dibalik agresi Israel telah diungkapkan oleh beberapa media massa, seperti persoalan internal dalam negeri Israel yang dalam jangka waktu beberapa bulan lagi mengadakan Pemilu, hingga incumbent ingin menampilkan diri sebagai pihak yang tegas (berani melakukan invasi militer ke Palestina) dihadapan calon pemilihnya. Alasan tersebut memang diterima oleh akal sehat, namun muncul pertanyaan besar, yakni “Dari mana Israel mampu membiayai persenjataan militer, pesawat-pesawat tempur, pengebom-pengebom jarak jauh, radar untuk mendeteksi wilayah Palestina dan seterusnya?” “Serta sampai kapan Israel akan terus menyerbu secara membabi-buta Palestina tanpa target operasi spesifik, padahal sudah jelas serangan Israel dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia tingkat akut, yang sudah seharusnya dapat diajukan ke Mahkamah Internasional di Den Haag, lantaran mengakibatkan jatuhnya korban di pihak sipil, tepatnya wanita dan anak-anak?”. Jawaban yang berusaha saya paparkan tidak akan terlalu dogmatis dan mengawang-awang, apalagi sampai melebar ke sentimen-sentimen agama yang sensitif. Saya hanya ingin menyampaikan beberapa fakta menarik seputar Agresi Israel ke Palestina yang menghebohkan dunia internasional ini. Pertama, saat ini dunia Internasional sedang dilanda krisis finansial global yang hebat akibat dari kredit perumahan macet di Amerika Serikat. Lantaran interdependensi negara-negara di masa globalisasi sekarang sangatlah tinggi tingkatannya, maka krisis segera menjalar layaknya wabah sampar yang menjangkiti penduduk desa. Semua negara, tanpa kecuali menderita kesulitan finansial yang akut, lantaran persedian dollar dunia ditarik kembali ke kantong Paman Sam dan beberapa negara maju lainnya. Akibatnya, kita rasakan bersama, sekarang kurs dollar di negara-negara dunia tiba-tiba melonjak tajam, sedangkan mata uang lokal malah melempem kehabisan nafas, tidak terkecuali rupiah yang sempat menyentuh level 12.000 rupiah per dollar. Di saat dunia sedang sibuk-sibuknya berhemat sampai (minimal) pertengahan tahun 2009, mengencangkan ikat pinggang dengan kebijakan uang ketat (tight money policy), Israel tanpa rasa bersalah menghamburkan jutaan dollar yang entah darimana asalnya untuk membantai rakyat Palestina yang tidak paham apa-apa. Tindakan Israel yang nyaris mustahil ini dapat dirasionalisasikan dengan menilik persentase anggaran yang diberikan kepada pos militernya.



Negara
GDP (2006)
Persentase Anggaran Militer dari GDP (2003)
Jumlah Anggaran Militer
Qatar
42,5 milyar dollar
10%
4,25 juta dollar
Israel
140, 5 milyar dollar
9,5%
13, 35 juta dollar
Arab Saudi
349,1 milyar dollar
8,9%
31, 07 juta dollar
Vietnam
61 milyar dollar
7,4%
4, 51 juta dollar
Amerika Serikat
13,2 trilyun dollar
3,7%
48,84 milyar dollar
Brasil
1.067 milyar dollar
1,8%
19, 20 juta dollar
Indonesia
364,8 milyar dollar
3%
10, 95 juta dollar

Data: Diolah dari berbagai sumber.



Dari data diatas kita dapat melihat alasan kedua agresi Israel, lantaran alokasi dana yang dipersiapkan untuk berperang memang sedemikian banyaknya, atau Israel akan selalu siap berperang, memulai peperangan kapanpun dia mau, lantaran telah menyisihkan anggaran sedemikian besar. Tentu saja, nominal diatas 5% persentase dari GDP untuk anggaran militer adalah jumlah yang fantastis dan hanya sedikit sekali negara di dunia yang mengalokasikan anggarannya sebesar jumlah tersebut. Uniknya, negara yang mempunyai persentase anggaran sebesar itu, biasanya justru negara-negara miskin, negara-negara diktator, ataupun negara-negara yang rakyatnya malas bekerja lantaran sumber daya alamnya begitu melimpah hingga tidak perlu bekerja untuk memperoleh uang, cukup langsung menjual komoditas unggulan negaranya (khususnya negara-negara Timur Tengah yang kaya minyak). Persenjataan yang dimiliki Israel adalah salah satu yang tercanggih di dunia, selain kuantitasnya yang memang melimpah, seperti 875 jet tempur, kapal perang 13 unit, dan pasukan darat sejumlah 176 ribu orang, jelas timpang sekali dengan Hamas yang hanya memiliki 10 ribu tentara gerilya, bahkan tidak memiliki kendaraan unit tempur apapun kecuali BRDM-2 yang sejenis panser. Sehingga, kita bisa berasumsi bahwa Israel memang negara yang memiliki nafsu berperang sangat besar, tidak seperti Indonesia yang memang konsep militernya sebagai alat pertahanan, bukan untuk ofensif (selain karena memang kekurangan dana). Ketiga, adanya gambaran bahwa Israel ingin menunjukkan dirinya sebagai negara super yang tidak terpengaruh krisis ekonomi yang sedang menjangkiti seluruh negara di dunia. Dengan bantuan dari negara-negara Sekutu dekatnya seperti Amerika Serikat yang sedang kehilangan darah akibat krisis ekonomi, maka Israel akan meneruskan agresi sampai dukungan finansial dari negara Sekutunya berkurang atau malah habis sama sekali. Selama kebijakan luar negeri negara Sekutunya adalah untuk mengacak-acak konfigurasi politik di Timur Tengah yang kaya minyak, supaya persediaan minyak bisa terus dialirkan ke negara-negara barat, maka konflik militer akan terus berkecamuk tanpa pernah menemui jalan damai. Alasan keempat tidak lain bahwa Israel sedang memanfaatkan situasi dunia yang memang sangat jarang terjadi; dunia sedang dilanda krisis global, banyak negara menghemat pengeluarannya, termasuk untuk anggaran militer, sementara si polisi dunia, Amerika Serikat sedang menjalani transisi pemerintahan dari George W. Bush ke tangan Presiden terpilih Barack Obama, sampai akhir Januari nanti. Jadi, bisa disimpulkan Israel menggunakan situasi kosongnya tata politik internasional dengan melakukan serangan ke Palestina yang semakin tidak berdaya, untuk membuktikan kedigdayaannnya kepada warga Israel bahwa partai berkuasa mampu diandalkan untuk bertindak tegas. Kondisi kekosongan tertib politik yang sempat disindir oleh Antonio Gramsci tatkala rezim fasis pimpinan Adolf Hitler menguasai Jerman, sebagai “bandarlog” atau manusia kera, lantaran mereka tidak sepenuhnya bertingkah layaknya manusia normal. Sementara itu, respon dari dunia Internasional, dalam hal ini Dewan Keamanan PBB,OKI dan Liga Arab, sangat lamban lantaran semuanya terlalu sibuk memegang kalkulator politik dan ekonomi jika mereka bertindak sesuatu terhadap Israel maupun mengenai Palestina, lantaran, simpel saja, agresi Israel tidak menguntungkan siapapun secara politis (kecuali Israel tentunya), apalagi ekonomis. Mungkin inilah penyebabnya banyak negara yang lamban bereaksi atas agresi Israel, mereka enggan menurunkan pasukan kemanusiaan, dan berhitung sangat cermat saat hendak menyalurkan bantuan, sehingga agresi ini seolah-olah menjadi persoalan domestik sehari-hari di jazirah Arab. Namun, seandainya kondisi perekonomian global dalam performa maksimum, bisa dipastikan konstelasi politknya akan berbalik seratus delapan puluh derajat.

Bagikan