Globalisasi
dan Tatanan Global Baru
Pada abad ke-21, manusia konon telah
tiba pada kondisi yang bernama globalitas. Globalitas hadir sebagai konsekuensi
logis dari sebuah proses bernama globalisasi. Entah salah apa, dua istilah ini
(globalitas dan globalisasi), sering dituding oleh massa secara populer sebagai
penyebab kemunduran moral suatu bangsa.
Globalisasi dianggap sebagai
asal-muasal dari penyebaran massal pornografi lewat dunia internet. Tidak hanya
itu, globalisasi juga dituding oleh bangsa “timur” memunculkan kebejatan
terselubung, seperti melalui mode berpakaian “trendy” yang serba minim,
terbuka, menonjolkan lekuk tubuh hingga membuat para pria jadi panas-dingin,
kalang-kabut, deg-degan dan “cenat-cenut”.
Sm*sh, pelopor cenat-cenut. Sumber
Dosa-dosa globalisasi lantas
dipopulerkan oleh media tanpa klarifikasi dan evaluasi kritis perihal
kompleksitas dimensi-dimensi globalisasi. Padahal, sebagaimana dikaji secara
intens oleh para akademisi, globalisasi, secara sederhana ialah proses sosial
yang menempatkan manusia dalam alam globalitas, sebuah zaman setelah
hiruk-pikuk modernitas.
Titik balik lahirnya globalisasi ialah tahun 1989-1991,
tepatnya saat tembok Berlin diruntuhkan oleh rakyat Jerman. Lantas, Uni Soviet
membubarkan diri sebagai hasil dari reformasi perestroika yang digagas oleh
Mikhail Gorbachev, hingga berakhirlah perang dingin yang berlangsung hampir 30
tahun lamanya. Grup musik rock asal Jerman, Scorpions merekam sebuah lagu
balada berjudul “Winds of Change” pada 1991, untuk menggambarkan proses
transformasi drastis yang dialami oleh benua Eropa kala itu.
The Scorpions, Sumber
Sejak saat itu, dunia telah mencapai
suatu kondisi global yang sama sekali baru, suatu dunia yang paralel dengan
supremasi nilai-nilai khas barat, seperti demokrasi dan kapitalisme pasar.
Advokat utama paham “globalisasi” kebarat-baratan ini antara lain, ialah
Francis Fukuyama, yang meyakini dalam tulisannya (yang mirip judul film box
office Holywood), “The End of History”, bahwa pertentangan ideologi global
telah usai. Dunia akan dipimpin dan digiring menuju universalitas demokrasi,
kapitalisme pasar, dan kebebasan individu, lantaran nilai-nilai Amerika ini
terbukti superior dibandingkan manifesto komunis Marx.
Globalisasi
Kultural
Kembali ke proses globalisasi,
lahirnya pornografi dan kemunduran moral bangsa timur hanya dapat dimungkinkan
oleh mengglobalnya nilai-nilai kebebasan dan otonomi individu. Pornografi,
kebejatan moral, dan seterusnya, hanyalah pintu masuk bagi eksplorasi fenomena
globalisasi dalam ranah kebudayaan secara makro. Sebagaimana diamati oleh
Manfred Stager (2003), proses globalisasi kultural mensyaratkan dua dampak
langsung, yakni mekarnya diferensiasi dan mengerasnya homogenisasi kultural.
Sebelum menyibak proses globalisasi
kultural lebih jauh, perlu ditekankan bahwa kebudayaan ialah ekspresi manusia
yang terwujud dalam bentuk-bentuk simbolik seperti bahasa, musik, tradisi, dan
kesenian. Dalam bentuk-bentuk simbolik ini, terseliplah nilai-nilai dasar yang
menjadi acuan proses identifikasi suatu kelompok sosial, yakni seperti gerbang
perbatasan yang menandai perbedaan identitas antara “kami” dan “mereka”.
Karenanya, dalam studi antropologi, salah satu strategi riset yang khas guna
menyelidiki kebudayaan suatu kelompok sosial, etnis, atau suku bangsa ditempuh
lewat penelitian mikroskopik, yakni eksaminasi mendalam atas suatu fenomena
budaya. Seperti upacara adat, pernikahan, pola kekerabatan keluarga, sistem
distribusi tanah, hingga sabung ayam.
Namun, arus globalisasi yang amat
deras juga berdampak serius pada proses kebudayaan. Bentuk-bentuk ekspresi
simbolik tidak lagi eksklusif hanya berpatokan pada lokasi geografis, konteks
sosial dan nilai-nilai dasarnya semata. Ekspresi simbolik semakin kompleks,
lantaran proses persebaran kultural yang makin meriah lewat dominasi media
massa, hingga melahirkan “budaya populer”, “budaya massa” dan “subkultur”.
Apa
yang bisa menjelaskan fenomena boyband seperti Backstreet Boys, Westlife,
hingga F4 dari Taiwan punya banyak penggemar yang menjerit-jerit histeris di
Indonesia? Apa pula yang mampu menerangkan mewabahnya musik punk, grunge,
brit-pop, J-pop, hingga yang paling baru gelombang Hallyu alias musik pop dari
Korea Selatan digandrungi muda-mudi di kota-kota besar nusantara?
Fenomena budaya kontemporer dari
ranah musik saja, seperti yang dicontohkan di atas, hanyalah unit mikro dari
lekatnya proses enkulturasi kebudayaan. Mengamati fenomena munculnya SM*SH yang
terpengaruh musik pop Korea, sama uniknya dengan mengamati grup band Radja dan
Kangen band yang gaya rambutnya jelas-jelas menyontek gaya rambut grup musik
beraliran emo dan post-hardcore (seperti
grup My Chemical Romance dan Saosin), meski aliran musik dua grup lokal
tersebut beraliran metal (melayu total).
Homogenisasi
Budaya dan Proses Westernisasi
Proses kebudayaan dalam alam
globalitas yang dicirikan oleh diferensiasi dan homogenitas memang tidak dapat
disanggah eksistensinya. Sayangnya, proses homogenisasi kultural lebih cepat
terbentuk dalam ranah budaya kontemporer. Fenomena grup-grup musik yang hadir
di tanah air dengan mengimpor elemen-elemen penampilannya dari negara lain
menyiratkan dua hal. Pertama, pembatasan kebudayaan lewat ranah identitas
berbasis batas geografis menjadi tidak relevan, dan kedua, maraknya proses
homogenisasi, alias mencontek gaya musik secara instan, menjadi tak
terhindarkan.
Para akademisi yang menyimak proses
globalisasi kultural lantas mengkritisi proses homogenisasi ini. Ada dua
argumen yang mengkritik fenomena globalisasi kultural, yakni George Ritzer yang
mengenalkan istilah “mcdonalisasi”, proses sosio-kultural yang menandai
dominasi kehidupan instan dalam masyarakat global. Ritzer berpendapat bahwa
gaya hidup “mcdonald” ialah gaya hidup instan, cepat saji, dan mudah
direproduksi, mirip dengan merk waralaba makanan global “McDonald”. Ini
menyiratkan bahwa proses-proses kebudayaan hanya diisi oleh banalitas praktek
sosial, lantaran ekspresi simbolik yang dicetuskan hanya membebek, meniru, dan mengekor
budaya dominan dalam panggung globalisme.
Lebih lanjut, budaya dominan
tersebut dihasilkan lewat proses sepihak yang mencerminkan homogenisasi selera,
dan dipasarkan lewat media massa sebagai komoditas dagangan yang punya nilai
ekonomis dalam sistem kapitalisme global. Fenomena ini paling mudah dilacak
saat generasi “anak nongkrong MTV” pada tahun 90-a hingga 2000-an merajai
televisi dan tangga lagu di radio-radio. Bisa dikata, MTV punya peran yang amat
besar dalam proses “dialektika” anak muda pada masa itu dalam menentukan
identitasnya. Lahirlah bentuk-bentuk subkultur dalam bermusik, seperti aliran
reggae, ska, punk, grunge, metal, brit-pop, alternatif dan sebagainya.
Mendorong
Glokalisasi
Tentu, lubang terbesar dalam diskusi
perihal globalisasi kultural ialah posisi lokalitas merespon tekanan yang amat
deras dari proses westernisasi. Kritik-kritik terhadap globalisasi secara
lantang menyatakan bahwa posisi lokalitas menjadi amat rentan akibat proses
rekonfigurasi kultur menuju pembentukan subkultur. Budaya lokal yang
menghubungkan diri sebagai kompas yang mencerminkan nilai-nilai bersama
komunitas tertentu mengalami redefinisi seiring dengan proses globalisasi.
Kemenangan kapitalisme global memang
berdampak besar pada kebudayaan, menurut Irwan Abdullah (2006) ada beberapa
konsekuensi yang penting , seperti munculnya mode produksi baru. Pilihan-pilihan
semakin beragam bagi masyarakat menyebabkan terjadinya diferensiasi. Muncul
solidaritas baru yang bersandar pada proses-proses negosiasi yang melibatkan
beragam agen.
Terjadi persinggungan antara negara, pasar, dan masyarakat, dalam
proses negosiasi. Simbol-simbol yang hadir ialah hasil dari negosiasi
terus-menerus antara ketiga agen tersebut. Kedua, melemahnya ikatan tradisional
membuat kultur (dalam definisi makro) kehilangan kontrol dalam melakukan
determinasi struktural terhadap sistem sosial tertentu. Rasionalitas (modern)
sebagai pusat legitimasi, yang menuntun tiap-tiap subkultur, untuk mencari
sistem referensinya.
Salah satu ilustrasi yang bisa
disajikan sebagai proses negosiasi antara lokalitas dengan globalisasi ialah
patung Obama naik becak, karya perupa Wilman Syahnur. Sebagaimana dikutip lewat Majalah Basis nomor
01-02 tahun 2010, karya ini dipamerkan dalam acara Biennale Jogja X tahun 2010 dan mendapat sambutan luas. Duta besar
AS untuk Indonesia, Cameron Hume, menyempatkan mampir ke Jogja untuk mengayuh
becak “bos besarnya” yang sedang “nyengir” keliling stasiun Tugu.
Becak Obama di Yogya, Sumber
Obama dipresentasikan necis, lengkap
dengan atribut kepresidenan khas, jas hitam, kemeja putih, dasi bergaris,
celana hitam, dan pantopel hitam. Bendera “star spangled banner” dengan rapi
menghias becak Obama, disertai titipan aspirasi Wilman, yakni tulisan “Save
Palestine, Save Iraq: yes u can” , dan “campaign for peace” yang menghiasi
kedua sisi slebor roda becak. Wilman mengaku karyanya sebagai bentuk
keprihatinan bahwa Obama meski baru saja menerima Nobel Perdamaian, ia malah
tetap meneruskan kebijakan pengiriman pasukan ke Afghanistan.
Ilustrasi karya Obama naik becak
ialah salah satu manifestasi globalisasi kultural yang dinamakan “glokalisasi”
oleh Roland Robertson. Ia berpendapat bahwa proses globalisasi sesungguhnya
tertanam dalam konteks lokal. Arus globalisasi kultural karenanya selalu
dinegosiasikan dengan konteks yang memberi ruang tafsir atas makna tertentu,
dimana nilai-nilai lokal berperan mewarnai proses globalisasi kultural. Inilah
salah satu bukti bahwa kebudayaan lewat medium simbolik seperti patung,
menghadirkan proses negosiasi nilai-nilai yang amat luas dan kompleks. Obama
ialah presiden AS ke-44, pria yang konon paling berkuasa di seluruh dunia.
Karena itu, mendudukkan Obama diatas
becak boleh dikata “kurang ajar”, dan “tidak tahu diri” misalnya, jika kita
memaknai becak adalah simbol dari mode transportasi yang lamban, tidak efisien
karena memenuhi badan jalan, dan kapasitas angkutnya minimal. Untunglah,
kedubes AS di Indonesia tidak memaknai patung itu sebagai sindiran atas Obama.
Malah dianggap sebagai simbol bahwa Obama ialah representasi pemimpin dunia
kontemporer yang melintasi batas-batas nilai peradaban timur dan barat, hingga
pantas duduk di atas becak sekalipun.
Menuju
Emansipasi Budaya Lokal
Proses diferensiasi nilai yang
melahirkan ruang-ruang ekspresi simbolik seperti inilah yang perlu terus
didorong kemunculannya. Globalisasi tidak bisa hanya menggencarkan daya
reproduktif budaya massal yang jadi komoditas semata. Ia juga harus
menghadirkan konteks kelokalan sebagai bukti bahwa glokalitas ialah hasil
negosiasi fenomena kultural baru yang hadir sebagai medium ekspresi manusia yang
kreatif.
Tantangan terbesar berikutnya ialah
mewaspadai potensi budaya lokal itu sendiri. Suka atau tidak, salah satu
konsekuensi kelam dari proses globalisasi ialah maraknya kekerasan yang
berbasis konflik etnis dan religius. Dalam tingkat global, terorisme telah
mengancam keselamatan manusia tanpa memandang identitas asal para korbannya.
Untuk level nasional, kerusuhan etnis yang marak pasca reformasi 1998 menandai
bahwa proses pembentukan identitas nasional ternyata didominasi oleh
elemen-elemen primordial etnis tertentu. Ruang kebebasan dan demokrasi yang
baru saja lahir, ternyata juga dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk menegaskan
batas-batas identitas politik lewat kekerasan. Ini menandakan bahwa budaya
lokal sekalipun menyimpan energi negatif yang harus dikelola dengan cermat.
Karenanya, proses penguatan kembali
budaya lokal harus diintegrasikan dengan alam modernitas yang rasional dan
terukur. Hal ini bermakna bahwa budaya lokal sebagai elemen yang saling
memperkuat dan memperkaya peradaban suatu bangsa, harus beradaptasi dengan
prinsip-prinsip demokrasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. Proses adaptasi ini
berlaku lewat prinsip rekognisi (Taylor, 1992), yakni dalam kehidupan
multikultur, kita secara moral wajib mengenali dan menghargai bentuk-bentuk
kultural yang nilai-nilai dasarnya berbeda dengan yang kita yakini.
Budaya lokal dalam alam globalitas
harus memperbaharui diri dengan menimba inspirasi dari nilai-nilai global yang
menyebar lewat berbagai medium simbolik, baik lewat musik, seni rupa, bahasa,
dan sebagainya. Proses pembauran nilai-nilai, antara nilai global dan lokal,
akan mendorong sintesis baru, yang diperkuat oleh konteks sosial geografis
proses sintesis tersebut terjadi.
Ekspresi simbolik yang lahir akan mencirikan
karakter subkultur, sebagai hasil dari hibridisasi alias pembauran identitas
kultural tersebut. Jogja Hip-hop foundation yang mengusung musik rap,
menyanyikan lirik berbahasa Jawa dari serat-serat klasik dalam tradisi sastra
jawa, adalah ilustrasi yang bisa disuguhkan terkait proses hibridisasi
kultural.
Kebudayaan ialah arena ekspresi
simbolik manusia yang amat cair dan mencirikan identitas suatu komunitas.
Namun, proses globalisasi yang terjadi pada abad ke-21 memaksa kebudayaan harus
meredefinisi dirinya secara terus-menerus. Hal ini karena globalisasi lewat
medium budaya populer cenderung berusaha menyeragamkan ekspresi-ekspresi
simbolik kultural menjadi bercorak kebarat-baratan.
Meski begitu, proses globalisasi
kultural sejatinya masih menyisakan ruang bagi budaya lokal untuk mampu
melakukan sintesis yang emansipatif. Konteks geografis lokal akan sangat
berpengaruh dalam melahirkan pembauran nilai-nilai yang melahirkan subkultur
yang hibrid, yakni identitas baru yang tersusun dari relasi kompleks antara
nilai-nilai global dan lokal.
Terakhir, kebudayaan lokal harus beradaptasi
dengan alam modernitas, terutama dengan sistem demokrasi, keterbukaan dan
akuntabilitas. Hal ini penting guna menjamin relasi yang sehat dalam kehidupan
multikultur, dimana perbedaan-perbedaan budaya akan memperkuat peradaban bangsa
tersebut, bukannya saling menghancurkan lewat kekerasan. Penghargaan akan
keberagaman dan demokrasi akan mempercepat proses adaptasi budaya lokal dalam
menjinakkan karakter globalisasi yang bercorak kebarat-baratan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar