Jumat, 27 April 2012

Globalisasi dan Batas-batas Kebudayaan Baru: Memupus Homogenisasi, Mendorong Glokalisasi





Globalisasi dan Tatanan Global Baru
Pada abad ke-21, manusia konon telah tiba pada kondisi yang bernama globalitas. Globalitas hadir sebagai konsekuensi logis dari sebuah proses bernama globalisasi. Entah salah apa, dua istilah ini (globalitas dan globalisasi), sering dituding oleh massa secara populer sebagai penyebab kemunduran moral suatu bangsa. 

Globalisasi dianggap sebagai asal-muasal dari penyebaran massal pornografi lewat dunia internet. Tidak hanya itu, globalisasi juga dituding oleh bangsa “timur” memunculkan kebejatan terselubung, seperti melalui mode berpakaian “trendy” yang serba minim, terbuka, menonjolkan lekuk tubuh hingga membuat para pria jadi panas-dingin, kalang-kabut, deg-degan dan “cenat-cenut”.

Sm*sh, pelopor cenat-cenut. Sumber

Dosa-dosa globalisasi lantas dipopulerkan oleh media tanpa klarifikasi dan evaluasi kritis perihal kompleksitas dimensi-dimensi globalisasi. Padahal, sebagaimana dikaji secara intens oleh para akademisi, globalisasi, secara sederhana ialah proses sosial yang menempatkan manusia dalam alam globalitas, sebuah zaman setelah hiruk-pikuk modernitas. 




Titik balik lahirnya globalisasi ialah tahun 1989-1991, tepatnya saat tembok Berlin diruntuhkan oleh rakyat Jerman. Lantas, Uni Soviet membubarkan diri sebagai hasil dari reformasi perestroika yang digagas oleh Mikhail Gorbachev, hingga berakhirlah perang dingin yang berlangsung hampir 30 tahun lamanya. Grup musik rock asal Jerman, Scorpions merekam sebuah lagu balada berjudul “Winds of Change” pada 1991, untuk menggambarkan proses transformasi drastis yang dialami oleh benua Eropa kala itu.

The Scorpions, Sumber

Sejak saat itu, dunia telah mencapai suatu kondisi global yang sama sekali baru, suatu dunia yang paralel dengan supremasi nilai-nilai khas barat, seperti demokrasi dan kapitalisme pasar. Advokat utama paham “globalisasi” kebarat-baratan ini antara lain, ialah Francis Fukuyama, yang meyakini dalam tulisannya (yang mirip judul film box office Holywood), “The End of History”, bahwa pertentangan ideologi global telah usai. Dunia akan dipimpin dan digiring menuju universalitas demokrasi, kapitalisme pasar, dan kebebasan individu, lantaran nilai-nilai Amerika ini terbukti superior dibandingkan manifesto komunis Marx.

Globalisasi Kultural

Kembali ke proses globalisasi, lahirnya pornografi dan kemunduran moral bangsa timur hanya dapat dimungkinkan oleh mengglobalnya nilai-nilai kebebasan dan otonomi individu. Pornografi, kebejatan moral, dan seterusnya, hanyalah pintu masuk bagi eksplorasi fenomena globalisasi dalam ranah kebudayaan secara makro. Sebagaimana diamati oleh Manfred Stager (2003), proses globalisasi kultural mensyaratkan dua dampak langsung, yakni mekarnya diferensiasi dan mengerasnya homogenisasi kultural.

Sebelum menyibak proses globalisasi kultural lebih jauh, perlu ditekankan bahwa kebudayaan ialah ekspresi manusia yang terwujud dalam bentuk-bentuk simbolik seperti bahasa, musik, tradisi, dan kesenian. Dalam bentuk-bentuk simbolik ini, terseliplah nilai-nilai dasar yang menjadi acuan proses identifikasi suatu kelompok sosial, yakni seperti gerbang perbatasan yang menandai perbedaan identitas antara “kami” dan “mereka”. 

Karenanya, dalam studi antropologi, salah satu strategi riset yang khas guna menyelidiki kebudayaan suatu kelompok sosial, etnis, atau suku bangsa ditempuh lewat penelitian mikroskopik, yakni eksaminasi mendalam atas suatu fenomena budaya. Seperti upacara adat, pernikahan, pola kekerabatan keluarga, sistem distribusi tanah, hingga sabung ayam.

Namun, arus globalisasi yang amat deras juga berdampak serius pada proses kebudayaan. Bentuk-bentuk ekspresi simbolik tidak lagi eksklusif hanya berpatokan pada lokasi geografis, konteks sosial dan nilai-nilai dasarnya semata. Ekspresi simbolik semakin kompleks, lantaran proses persebaran kultural yang makin meriah lewat dominasi media massa, hingga melahirkan “budaya populer”, “budaya massa” dan “subkultur”. 

Apa yang bisa menjelaskan fenomena boyband seperti Backstreet Boys, Westlife, hingga F4 dari Taiwan punya banyak penggemar yang menjerit-jerit histeris di Indonesia? Apa pula yang mampu menerangkan mewabahnya musik punk, grunge, brit-pop, J-pop, hingga yang paling baru gelombang Hallyu alias musik pop dari Korea Selatan digandrungi muda-mudi di kota-kota besar nusantara?

Fenomena budaya kontemporer dari ranah musik saja, seperti yang dicontohkan di atas, hanyalah unit mikro dari lekatnya proses enkulturasi kebudayaan. Mengamati fenomena munculnya SM*SH yang terpengaruh musik pop Korea, sama uniknya dengan mengamati grup band Radja dan Kangen band yang gaya rambutnya jelas-jelas menyontek gaya rambut grup musik beraliran emo dan post-hardcore (seperti  grup My Chemical Romance dan Saosin), meski aliran musik dua grup lokal tersebut beraliran metal (melayu total).

Homogenisasi Budaya dan Proses Westernisasi

Proses kebudayaan dalam alam globalitas yang dicirikan oleh diferensiasi dan homogenitas memang tidak dapat disanggah eksistensinya. Sayangnya, proses homogenisasi kultural lebih cepat terbentuk dalam ranah budaya kontemporer. Fenomena grup-grup musik yang hadir di tanah air dengan mengimpor elemen-elemen penampilannya dari negara lain menyiratkan dua hal. Pertama, pembatasan kebudayaan lewat ranah identitas berbasis batas geografis menjadi tidak relevan, dan kedua, maraknya proses homogenisasi, alias mencontek gaya musik secara instan, menjadi tak terhindarkan. 

Para akademisi yang menyimak proses globalisasi kultural lantas mengkritisi proses homogenisasi ini. Ada dua argumen yang mengkritik fenomena globalisasi kultural, yakni George Ritzer yang mengenalkan istilah “mcdonalisasi”, proses sosio-kultural yang menandai dominasi kehidupan instan dalam masyarakat global. Ritzer berpendapat bahwa gaya hidup “mcdonald” ialah gaya hidup instan, cepat saji, dan mudah direproduksi, mirip dengan merk waralaba makanan global “McDonald”. Ini menyiratkan bahwa proses-proses kebudayaan hanya diisi oleh banalitas praktek sosial, lantaran ekspresi simbolik yang dicetuskan hanya membebek, meniru, dan mengekor budaya dominan dalam panggung globalisme.

Lebih lanjut, budaya dominan tersebut dihasilkan lewat proses sepihak yang mencerminkan homogenisasi selera, dan dipasarkan lewat media massa sebagai komoditas dagangan yang punya nilai ekonomis dalam sistem kapitalisme global. Fenomena ini paling mudah dilacak saat generasi “anak nongkrong MTV” pada tahun 90-a hingga 2000-an merajai televisi dan tangga lagu di radio-radio. Bisa dikata, MTV punya peran yang amat besar dalam proses “dialektika” anak muda pada masa itu dalam menentukan identitasnya. Lahirlah bentuk-bentuk subkultur dalam bermusik, seperti aliran reggae, ska, punk, grunge, metal, brit-pop, alternatif dan sebagainya.

Mendorong Glokalisasi

Tentu, lubang terbesar dalam diskusi perihal globalisasi kultural ialah posisi lokalitas merespon tekanan yang amat deras dari proses westernisasi. Kritik-kritik terhadap globalisasi secara lantang menyatakan bahwa posisi lokalitas menjadi amat rentan akibat proses rekonfigurasi kultur menuju pembentukan subkultur. Budaya lokal yang menghubungkan diri sebagai kompas yang mencerminkan nilai-nilai bersama komunitas tertentu mengalami redefinisi seiring dengan proses globalisasi.

Kemenangan kapitalisme global memang berdampak besar pada kebudayaan, menurut Irwan Abdullah (2006) ada beberapa konsekuensi yang penting , seperti munculnya mode produksi baru. Pilihan-pilihan semakin beragam bagi masyarakat menyebabkan terjadinya diferensiasi. Muncul solidaritas baru yang bersandar pada proses-proses negosiasi yang melibatkan beragam agen. 

Terjadi persinggungan antara negara, pasar, dan masyarakat, dalam proses negosiasi. Simbol-simbol yang hadir ialah hasil dari negosiasi terus-menerus antara ketiga agen tersebut. Kedua, melemahnya ikatan tradisional membuat kultur (dalam definisi makro) kehilangan kontrol dalam melakukan determinasi struktural terhadap sistem sosial tertentu. Rasionalitas (modern) sebagai pusat legitimasi, yang menuntun tiap-tiap subkultur, untuk mencari sistem referensinya.

Salah satu ilustrasi yang bisa disajikan sebagai proses negosiasi antara lokalitas dengan globalisasi ialah patung Obama naik becak, karya perupa Wilman Syahnur.  Sebagaimana dikutip lewat Majalah Basis nomor 01-02 tahun 2010, karya ini dipamerkan dalam acara Biennale Jogja X  tahun 2010 dan mendapat sambutan luas. Duta besar AS untuk Indonesia, Cameron Hume, menyempatkan mampir ke Jogja untuk mengayuh becak “bos besarnya” yang sedang “nyengir” keliling stasiun Tugu.

Becak Obama di Yogya, Sumber

Obama dipresentasikan necis, lengkap dengan atribut kepresidenan khas, jas hitam, kemeja putih, dasi bergaris, celana hitam, dan pantopel hitam. Bendera “star spangled banner” dengan rapi menghias becak Obama, disertai titipan aspirasi Wilman, yakni tulisan “Save Palestine, Save Iraq: yes u can” , dan “campaign for peace” yang menghiasi kedua sisi slebor roda becak. Wilman mengaku karyanya sebagai bentuk keprihatinan bahwa Obama meski baru saja menerima Nobel Perdamaian, ia malah tetap meneruskan kebijakan pengiriman pasukan ke Afghanistan.

Ilustrasi karya Obama naik becak ialah salah satu manifestasi globalisasi kultural yang dinamakan “glokalisasi” oleh Roland Robertson. Ia berpendapat bahwa proses globalisasi sesungguhnya tertanam dalam konteks lokal. Arus globalisasi kultural karenanya selalu dinegosiasikan dengan konteks yang memberi ruang tafsir atas makna tertentu, dimana nilai-nilai lokal berperan mewarnai proses globalisasi kultural. Inilah salah satu bukti bahwa kebudayaan lewat medium simbolik seperti patung, menghadirkan proses negosiasi nilai-nilai yang amat luas dan kompleks. Obama ialah presiden AS ke-44, pria yang konon paling berkuasa di seluruh dunia.

Karena itu, mendudukkan Obama diatas becak boleh dikata “kurang ajar”, dan “tidak tahu diri” misalnya, jika kita memaknai becak adalah simbol dari mode transportasi yang lamban, tidak efisien karena memenuhi badan jalan, dan kapasitas angkutnya minimal. Untunglah, kedubes AS di Indonesia tidak memaknai patung itu sebagai sindiran atas Obama. Malah dianggap sebagai simbol bahwa Obama ialah representasi pemimpin dunia kontemporer yang melintasi batas-batas nilai peradaban timur dan barat, hingga pantas duduk di atas becak sekalipun.

Menuju Emansipasi Budaya Lokal

Proses diferensiasi nilai yang melahirkan ruang-ruang ekspresi simbolik seperti inilah yang perlu terus didorong kemunculannya. Globalisasi tidak bisa hanya menggencarkan daya reproduktif budaya massal yang jadi komoditas semata. Ia juga harus menghadirkan konteks kelokalan sebagai bukti bahwa glokalitas ialah hasil negosiasi fenomena kultural baru yang hadir sebagai medium ekspresi manusia yang kreatif.

Tantangan terbesar berikutnya ialah mewaspadai potensi budaya lokal itu sendiri. Suka atau tidak, salah satu konsekuensi kelam dari proses globalisasi ialah maraknya kekerasan yang berbasis konflik etnis dan religius. Dalam tingkat global, terorisme telah mengancam keselamatan manusia tanpa memandang identitas asal para korbannya. 

Untuk level nasional, kerusuhan etnis yang marak pasca reformasi 1998 menandai bahwa proses pembentukan identitas nasional ternyata didominasi oleh elemen-elemen primordial etnis tertentu. Ruang kebebasan dan demokrasi yang baru saja lahir, ternyata juga dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk menegaskan batas-batas identitas politik lewat kekerasan. Ini menandakan bahwa budaya lokal sekalipun menyimpan energi negatif yang harus dikelola dengan cermat.

Karenanya, proses penguatan kembali budaya lokal harus diintegrasikan dengan alam modernitas yang rasional dan terukur. Hal ini bermakna bahwa budaya lokal sebagai elemen yang saling memperkuat dan memperkaya peradaban suatu bangsa, harus beradaptasi dengan prinsip-prinsip demokrasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. Proses adaptasi ini berlaku lewat prinsip rekognisi (Taylor, 1992), yakni dalam kehidupan multikultur, kita secara moral wajib mengenali dan menghargai bentuk-bentuk kultural yang nilai-nilai dasarnya berbeda dengan yang kita yakini.

Budaya lokal dalam alam globalitas harus memperbaharui diri dengan menimba inspirasi dari nilai-nilai global yang menyebar lewat berbagai medium simbolik, baik lewat musik, seni rupa, bahasa, dan sebagainya. Proses pembauran nilai-nilai, antara nilai global dan lokal, akan mendorong sintesis baru, yang diperkuat oleh konteks sosial geografis proses sintesis tersebut terjadi. 

Ekspresi simbolik yang lahir akan mencirikan karakter subkultur, sebagai hasil dari hibridisasi alias pembauran identitas kultural tersebut. Jogja Hip-hop foundation yang mengusung musik rap, menyanyikan lirik berbahasa Jawa dari serat-serat klasik dalam tradisi sastra jawa, adalah ilustrasi yang bisa disuguhkan terkait proses hibridisasi kultural.

Kebudayaan ialah arena ekspresi simbolik manusia yang amat cair dan mencirikan identitas suatu komunitas. Namun, proses globalisasi yang terjadi pada abad ke-21 memaksa kebudayaan harus meredefinisi dirinya secara terus-menerus. Hal ini karena globalisasi lewat medium budaya populer cenderung berusaha menyeragamkan ekspresi-ekspresi simbolik kultural menjadi bercorak kebarat-baratan.

Meski begitu, proses globalisasi kultural sejatinya masih menyisakan ruang bagi budaya lokal untuk mampu melakukan sintesis yang emansipatif. Konteks geografis lokal akan sangat berpengaruh dalam melahirkan pembauran nilai-nilai yang melahirkan subkultur yang hibrid, yakni identitas baru yang tersusun dari relasi kompleks antara nilai-nilai global dan lokal. 

Terakhir, kebudayaan lokal harus beradaptasi dengan alam modernitas, terutama dengan sistem demokrasi, keterbukaan dan akuntabilitas. Hal ini penting guna menjamin relasi yang sehat dalam kehidupan multikultur, dimana perbedaan-perbedaan budaya akan memperkuat peradaban bangsa tersebut, bukannya saling menghancurkan lewat kekerasan. Penghargaan akan keberagaman dan demokrasi akan mempercepat proses adaptasi budaya lokal dalam menjinakkan karakter globalisasi yang bercorak kebarat-baratan.


Tidak ada komentar:

Bagikan