Kamis, 04 Desember 2008

JIKA MENJADI MANAJER BISNIS INTERNASIONAL

Menjadi kaya tidak otomatis mampu menjamin kemampuan untuk mendapatkan yang dikehendaki manusia dalam hidupnya, yaitu kebahagiaan. Dalam berbagai cara dan upaya, anak manusia mencari, menggali, mengiba, menelusur, menyibak, bahkan terkadang menghancurkan, demi mendapatkan harta paling berharga yang dikenal dalam sejarah hidupnya. Salah satu kutipan menarik, masalah hakekat, esensi, bertendensi untuk membincangkan masalah filosofis yang berburai ruwet, adalah “jalan menuju kesejatian (hidup), ada empat pilihan, yaitu agama, sains, filsafat, dan sastra” (“Gunung Jiwa”, Gao Xingjian, Yogya: Jalasutra, 2007). Kalau menurut kaum bijak bestari, memperoleh “sakjatine urip”, melalui metode eksplorasi coba-salah, (trial and error) mengapa kita masih perlu membicarakan perihal kekayaan, serta kemakmuran manusia. Kemakmuran ekonomi, yang ditandai keadaan self-sufficient, bebas dari ketergantungan kerja kantoran, kejaran kredit perabot tiap bulan, ketakutan tagihan telepon, listrik, kartu kredit, asuransi dll. Kebutuhan kontekstual manusia modern, tanpa disadari telah bertransformasi, mengidentifikasi diri dengan rambu-rambu yang memasung kebebasan manusia, untuk berjumpa dengan, meminjam istilah Freire, kesadaran kritisnya (critical consciousness). Menarik untuk ditelaah, dalam sejarah umat manusia, mereka kerapkali berada dalam posisi marginal, dan istilah Marxis, dimanipulasi kesadaran kolektifnya. Bentuk penindasan tersebut, secara eksplisit, dapat diindera, meski sering dibalut tipis kabut kekuasaan. Pada masa feudalisme, rakyat disegregasi dari kekuasaan, karena Raja adalah perpanjangan otoritas dari Tuhan, sedangkan pada masa Kegelapan, kabut tebal itu bersalin rupa menjadi wajah Gereja Vatikan, simbol kemistisan kuasa. Selanjutnya, pada era Revolusi Industri, kekalutan dalam balut samar berubah lagi dengan nama Agung, kapitalisme. Kehidupan menjadi misteri, sekaligus tak berarti bagi banyak orang, karena segregasi yang dipaksa akibat keberjarakan yang terjadi secara sporadis, serta simultan ini. Kekuatan manusia, kekuatan modal untuk menguasai sumberdaya, modal dan pendapatan, menjadikannya perlahan-lahan meruyak badai lamat-lamat yang tak jua reda salin-rupanya. Kekuatan ekonomi mampu memberi akses kepada manusia untuk menjadi kuasa, lalu secara transenden menjadi contingent untuk memutuskan apa yang hendak dilakukan kala bertemu dengan pemisah yang menjauhkannya dari kebebasannya sebagai manusia. Tiitik silang yang berkorelasi dengan janggal, kesejatian manusia di sudut lain, mendapatkan kolaboratornya di sisi lain, yaitu penguasaan mutlak terhadap modal. Para pencari yang “sejati”, hanya dapat mencari jikalau mampu membebaskan diri dari komponen tetek-bengek yang remeh-temeh, namun ternyata telah menjadi bagian koheren dalam kehidupan manusia melintas batas waktu dan zaman. Sehingga, cita-cita awal “ jika menjadi manajer bisnis Internasional”, layak dibincangkan, karena masalah kekuatan ekonomis, tidak serta merta akan membebaskan manusia dari obligasinya yang lain, yaitu kuasa politik, menelusuk dalam pada rongga-rongga terdalam neuron sadar manusia, untuk membongkar struktur lama yang telah lama terendap dan jadi layu. Komodifikasi kabut tersebut, terjadi secara konsisten oleh mereka “yang bebas”, memiliki akses serta kemampuan untuk mendekatinya, dan manajer bisnis korporasi internasional, adalah sedikit manusia dengan anugerah tersebut. Karena “Menjadi Kaya itu Mulia” (Deng Xiaoping), sementara “Only in their dreams, human can be free” (Dead Poet Society), kontradiksi anakronis.

1 komentar:

Azhar Irfansyah mengatakan...

euh,.. fid.. jadi klo jadi manajer bisnis int'l kmu mo ngapain hah?

kalo saya mau nyumbang ke zapatista sama HAMAS aja deh.. ahahahaha..

eh, tulisanmu dikasi paragraf doong.. pusing mbacanya..!equ

Bagikan