Kamis, 04 Desember 2008

KALAH MENANG TETAP LUAR BIASA

Dihadapan para pendukungnya di Phoenix, Arizona, John McCain, kandidat Presiden dari Partai Republik telah menyiapkan diri untuk menanggung malu. Hasil pemilihan Presiden telah menempatkan calon Presiden berkulit hitam dari Partai Demokrat, Barack Obama sebagai pemenang mutlak Presiden Amerika Serikat, setelah mendapat suara elektoral (electoral votes) lebih dari 300 suara, padahal untuk memastikan kemenangan hanya diperlukan 270 suara elektoral.
Penulis ketika diberitahu mengenai kemenangan Obama, membayangkan Grant Park di Chicago akan dipenuhi massa yang bersorak-sorai kegirangan. Namun, bagaimana respon kubu Republik di kandang McCain, yang juga pasti sesak dengan para simpatisan pasangan McCain-Palin? Apa yang kemudian mereka lakukan? Mengamuk, membakar koran-koran yang memuat berita kemenangan Obama, mematikan televisi yang menyiarkan gegap-gempita di Chicago, menghancurkan perlengkapan kampanye, atau turun ke jalan meneriakkan tuntutan penghitungan ulang? Tidak, mereka rupanya dengan sabar menunggu jagoan mereka, veteran Perang Vietnam, untuk menyampaikan pidato terakhir yang menyatakan mengakui keunggulan kubu Demokrat.
McCain dalam pidato yang disambut dengan banjir “huu!” oleh para pendukungnya, terutama ketika mendengar kata “Demokrat” atau “Obama”, menekankan bahwa supremasi rakyat Amerika Serikat harus mendapatkan prioritas tertinggi dari segala-galanya. Pro bono publico!, mungkin demikian pesan Mc Cain. Kala prosesi kampanye, debat, dan pemilihan Presiden, nyaris 24 jam tim kampanyenya tidak henti menghujani kubu Obama dengan berbagai tuduhan yang tidak masuk akal, seperti selebritis yang tidak siap memimpin, tidak nasionalis, dan memiliki relasi dengan tokoh radikal. Namun, segera setelah dinyatakan kalah, maka McCain menunjukkan bahwa dia adalah seorang pemimpin sejati, dengan memuji kemenangan Obama yang diraih secara demokratis, dan menitipkan pesan agar Amerika Serikat tetap bersatu siapapun Presidennya.
Mahatma Gandhi menuliskan bahwa salah satu ciri pemimpin sejati adalah paham bilamana saatnya tiba, bersedia untuk mengundurkan diri dari gelanggang (politik). McCain tampaknya menangkap isyarat Gandhi, dengan bersedia menanggung malu yang tidak terhingga ketika dinyatakan kalah. Dia mafhum, kesediaan mengakui kekalahan adalah salah satu ciri pemimpin sejati.
Di Indonesia, memang belum ada peraturan resmi yang mewajibkan kandidat pemimpin (Presiden, gubernur, bupati, walikota, dan seterusnya) menyampaikan pidato mengakui kekalahannya. Kalaupun ada peraturan semacam itu, bisa dipastikan pendukung kubu yang menang akan mengejek kelompok yang kalah, sehingga kemudian konflik fisik tidak dapat dielakkan.
Namun, demi mendahulukan kepentingan bangsa dan negara, pidato pengakuan kalah, adalah tanda bahwa suatu bangsa telah sampai kepada tahapan menjalankan demokrasi substansial, bukan lagi prosedural semata. Untuk tetap menjaga wibawa, penulis mengusulkan, kala menyampaikan pengakuan kemenangan pihak lawan, perlu diundang tokoh agama berpengaruh, yang mendapatkan porsi di akhir acara agar bisa mendoakan hal-hal yang baik bagi kedua kandidat, yang kalah ataupun yang menang, dan diakhiri dengan permohonan agar bangsa kita tetap selalu dirahmati oleh Tuhan YME. Jika hal ini, terwujud dalam realita, penulis akan berujar, bukan “kalah-menang itu biasa”, tetapi “kalah-menang tetap luar biasa!”.

Tidak ada komentar:

Bagikan