MENCARI KHORA

Dalam menjalani kehidupan, kita terkadang mendapati situasi dilematis yang tidak dapat dimasukkan menjadi kategori benar-salah, tepat-ngawur, cerdas-tolol, bagus-jelek, dan seterusnya yang memasukkan peristiwa kehidupan menjadi dua sisi mata dadu yang anakronis.

Seringkali, situasi dilematis muncul, yang membuat kita merasa saat melakukannya, tidak merasa bersalah, tetapi juga memahami bahwa hal tersebut bukanlah tindakan yang terbaik. Seperti saat menunggu jam mata kuliah yang hanya bersela sekitar 1-2 jam, kita memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan berselancar di dunia maya, entah pinjam laptop teman, pakai laptop sendiri, pergi ke warnet, ataupun pake komputer publik yang sekarang menyebar di kampus-kampus.



Tindakan ini tidak bisa dipersalahkan, ataupun diakui sebagai kebenaran, lantaran memiliki nilai relativitas yang takarannya bukan standar anakronis dua bilah mata dadu benar-salah. Menafsirkan kondisi ini dalam cakrawala filsafat, maka kita perlu memanggil bantuan sang singa pikiran dari Yunani, Platon, dan raja dekonstruksi (ini bukan merek pabrik konstruksi bangunan), dari Perancis keturunan Aljazair, Jacques Derrida.

Menggunakan metode dekonstruksi yang sinonim dengan Derrida, maka melalui pembacaan yang cermat, kita dapat menangkap tendensi posmodern dalam dialog-dialog Platon yang terekam lewat tulisan mengenai gurunya Socrates. Tetapi sebelum saya beranjak pada gagasan posmodern platon, alasan saya memaparkan wacana ini lantaran saya juga sedang mengalami kondisi ketiga, anomali dalam situasi langka, yang tidak bisa dihakimi dengan putusan bersalah-tidak bersalah.

Tepatnya, saat ini secara resmi ujian akhir semester telah berakhir di Universitas Gawe Melarat, khususnya di pakultas sok-sosial-politik. Tetapi, karena sesuatu hal yang bisa ditanyakan langsung kepada saya, maka saat ini saya masih berhutang ujian satu mata kuliah yang dikumpulkan pada masa yang disebut oleh kalender akademik sebagai liburan semester. Jadilah saya luntang-lantung berusaha agar dapat mengerjakan ujian terakhir ini dengan penuh konsentrasi dan keseriusan, tetapi apa daya mood ingin berlibur sudah begitu mengejar-ngejar dan menghantui saya dalam mimpi-mimpi kala saya terjaga.

Nah, apakah saya dapat dihakimi melakukan kesalahan, atau malah mempraktekkan kebenaran? Tampaknya, dari dua opsi tersebut tidak ada yang mampu menjelaskan secara memadai. Karena itu, setelah bertapa di bawah pohon bodi yang mistis dan keramat sambil membaca majalah Basis edisi terbaru, saya memetik ilham bahwasanya Platon yang hidup pada jaman sebelum masehi telah mengenal ide-ide posmodernisme yang lahir 22 abad setelah kematiannya!

Jika hendak memahami secara mendalam percikan pemikiran posmoden Platon, silakan beli majalah Basis edisi terbaru edisi Desember 2008 (wah, ngiklan, dibayar piro ki?) yang wajah sampulnya Platon sedang menatap wajah Anda para calon pembeli dengan tatapan dramatis, seolah-olah menghiba, “mbok aku dituku..le-le, ben uripmu isine ora takhayul wae (mohon saya dibeli nak, biar hidupmu isinya tidak diisi takhayul melulu)”, mungkin begitu ujar Platon, seandainya dia bisa ngomong secara fisik.

Kembali pada kondisi penolakan anakronis pemutusan dua sisi, Derrida (sekali lagi, iki gaweane/terjemahannya Derrida) membaca dialog antara Platon, dan Timaios mengenai asal-usul jagat raya (origin of universe), dan Derrida lalu menemukan makhluk asing yang menampakkan diri dalam dialog tersebut, sesuatu yang dipanggil Khora oleh Platon. Khora sangat sulit untuk dijelaskan, digambarkan, apalagi dihakimi benar-salah. Platon juga kesulitan untuk mendeskripsikan dengan gamblang substansi atau esensi dari Khora.

Istilah sederhananya, Khora adalah wadah, tempat untuk menampung yang abadi (paradigma) dan yang senantiasa berubah serta tidak kekal (fisik-inderawi). Kalau diibaratkan dalam wujud konkret, Platon mencontohkan tentang emas. Emas meski wujudnya dapat diindera lewat penalaran fisik, tetapi yang dapat kita jangkau hanyalah substansi yang kawin lari dengan perwadahannya (cincin, kalung, gelang, medali, piala, dsb.)

Kita dapat menyebut barang-barang tersebut “emas”, tetapi bagaimana kita mampu menafsir emas dalam kondisi awal-mula, apakah dia dapat diindera dalam bentuk konkret (tentu saja dapat, contoh emas sangat lemah, tapi saya berusaha memberi ilustrasi), dan jika tidak, kita hanya mampu menafsir serta merasai keberadaanya melalui wujud-wujud turunan yang tidak dapat disebut sebagai “sepenuhnya emas”.

Memang kalung tersebut, “kalung” saja atau “kalung emas”, atau malah “emas” saja? Nah, kategorisasi seperti inilah yang dimaksudkan dengan Khora, sehingga dalam pembacaan Derrida, Khora dimasukkan dalam kelompok diantaranya, yang berada jauh mendahului “menjadi” atau “tidak menjadi”. Khora dimasukkan sebagai genus ketiga (tritos genos), yang secara radikal dimaknai sebagai simbol perlawanan filsafat posmodern terhadap gagasan-gagasan besar yang mendominasi kehidupan modern.

Khora adalah penolakan terhadap kontradiksi biner filsafat (ya-tidak, bagus-jelek, benar-salah, tampan-jelek, dst., tambahkan saja sesuka anda). Khora berada di seberang kontradiksi biner filsafat, sehingga ia juga memiliki sifat dari dua kutub yang saling bertentangan (dalam dialog Timaios, digambarkan dengan kegagalan Demiourgos merayu Ananke). Pembacaan (atau penemuan ?) Khora secara cermat dari Derrida melalui metode dekonstruksi, memungkinkan kita mencapai obor penerangan yang mencerahkan kehidupan gagasan beberapa intelektual, yang sebelumnya terkungkung dalam penjara kontradiksi oposisi biner.

Mudahnya, keberadaan Khora dalam telisik lokal Goenawan Mohammad, disebutnya sebagai si liyan (the other), yakni keberadaan yang berada di seberang kontradiksi biner filsafat, yang memiliki gagasan keduanya, dan menjadi wadah bagi dua kutub ini. Lantas, kalau sudah menemukan Khora, keuntungan yang dapat diambil darinya?

Sejalan dengan penemuan Khora, maka sebenarnya kita tidak dapat memberikan simpulan mutlak, lantaran akibat keberadaan Khora mengakibatkan kebenaran (klaim salah satu kutub), tidak akan pernah menjadi mutlak, lantaran kebenaran juga bernaung dalam wadah Khora, yang wadahnya saja mengandung sifat-sifat Ananke, atau kekurangan.

Sehingga, teks seperti apapun akhirnya tidak dapat menyediakan simpulan akhir yang bulat dan menutup jurang-jurang kekurangan. Khora akhirnya menjadi semifinalitas, yakni pembacaan tanpa akhir terhadap pengakhiran dan kesimpulan. Ia adalah ketidakselesaian atau ketertundaan yang menolak penegasan, dan memang tidak menghendaki terjadinya penegasan.

Jadi, keadaan ketiga yang seringkali mengisi kehidupan kita dengan dilematis (mengisi waktu menunggu kuliah sambil berselancar di dunia maya, mengisi perut, bercanda dengan kawan sebaya, atau malah mengasah intelektualitas) semuanya sah saja, lantaran kegiatan tersebut tidak akan menghasilkan simpulan, melainkan semifinalitas yang tidak meminta vonis dari penjaga warnet, atau penjaga kantin yang kesal lantaran menanti kenapa anda tidak pergi-pergi jua dari kursi tersebut.

Sayapun tidak menimba kesalahan, pun menuang kegeraman lantaran keadaan ketiga meminta permakluman yang bulat dan utuh. Tapi, jika masa ujian telah selesai dan saya masih mengerjakan ujian jua, tidak menghabiskan waktu untuk berlibur, baru dapat dikatakan saya menyimpang dari oposisi biner.