Kamis, 04 Desember 2008

HUTANG LUAR NEGERI DAN STRUKTUR FINANSIAL INTERANSIONAL

Dalam sebuah diskusi yang baru saja dihadiri oleh penulis beberapa waktu yang lalu, muncullah sebuah pernyataan yang memuat nilai informasi sangat tinggi, karena menyangkut respon Indonesia untuk menghadapi krisis finansial global beserta segala efek turunannya terhadap perekonomian Indonesia. Pembicara diskusi itu, seorang dosen Fakultas Ekonomi, Ph.D lulusan Amerika, yang juga menjadi salah satu staf ahli Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani, menceritakan pengalaman serta preskripisi-preskripsi yang mungkin akan diambil oleh Indonesia setelah menghadiri forum KTT G-20 di New York. Salah satu opsi yang akan diajukan oleh pemerintah adalah mengajukan proposal peminjaman hutang kepada International Monetary Fund (IMF). Saat dia melontarkan pernyataan tersebut, sontak para peserta diskusi terdiam, lantaran semua orang mafhum, resep ekonomi konservatif yang direkomendasikan oleh IMF untuk menangani krisis ekonomi 1998 terbukti tidak manjur, malah meninggalkan beban berat pembayaran hutang dalam negeri Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang sampai sekarang terus dibayarkan. Selain itu, Indonesia secara resmi telah keluar dari keanggotaan IMF pada 2006, dengan jalan melunasi semua beban hutangnya kepada lembaga moneter internasional tersebut. Hutang luar negeri dan struktur finansial internasional adalah isu yang kontroversial, tetapi sangat menantang untuk dibicarakan, karena itu kita akan menganalisis beberapa determinan kunci, kerangka berpikir konseptual, serta beberapa asumsi yang diyakini oleh para stakeholder dalam tulisan Mohtar Mas’oed ini. Secara sederhana, struktur keuangan terdiri dari sekumpulan hubungan, institusi, praktek yang mengikat kreditur dan debitur, penghutang dan pemberi hutang. Namun, perlu dipahami bahwa kerangka kerja struktur finansial ini mendapat pengaruh besar dari globalisasi, konsep yang meyakini bahwa semua hal yang ada di dunia saling terkait satu sama lain, dan melintas batas negara. Menyebabkan struktur finansial internasional menjadi semakin global, dimana peran negara-bangsa semakin berkurang dan pasar global semakin berpengaruh. Dalam gagasan awal mengenai hutang luar negeri, Mas’oed meyakini bahwa terjadi saling tumpang-tindih antara substansi dengan bayangan. Substansi yang mewakili sumberdaya riil cenderung mengalami perpindahan secara lambat dan perlahan, ketimbang bayangannya (surat utang dan sejenisnya) yang mampu berganti tempat dalam kecepatan luar biasa. Namun, Mas’oed memaklumi kelemahan sumberdaya substantif tersebut dengan mengakui bahwa terjadi relasi kompelementer diantara perpindahan sumberdaya dengan bayangannya, dimana bayangan mampu bergerak jauh lebih lincah ketimbang substansinya. Untuk mendefinisikan dua variabel ini secara presisi, Mas’oed menggunakan instrumen Neraca Pembayaran yang mempunyai beberapa komponen turunan seperti Neraca Kapital, Neraca Transaksi Berjalan, dan Neraca Perdagangan. Neraca Pembayaran adalah catatan statistik mengenai semua transaksi internasional yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun) dan dinyatakan dalam uang (biasanya dollar AS). Neraca Transaksi Berjalan merupakan indikator mengenai dampak internasional terhadap pendapatan suatu negara, sehingga kalau suatu negara mengalami surplus Neraca Transaksi Berjalan, artinya pemasukan atau pendapatan lebih besar daripada penarikan, secara netto transaksi nasional telah meningkatkan pendapatan nasional, dalam dollar AS. Neraca Kapital merupakan indikator tentang dampak transaksi internasional terhadap kekayaan suatu negara. Artinya ketika suatu bangsa mengalami Neraca Kapital surplus, berarti jumlah uang yang dimiliki oleh bangsa tersebut, namun kekayaan negaranya atau kepemilikian terhadap aset-aset negara menurun. Atau, bangsa debitur atau peminjam sebenarnya sedang mengalami berkurangnya kekayaan negara, lantaran pemilikan substansinya berpindah ke luar negeri. Neraca Perdagangan mengukur nilai pembayaran impor dan penerimaan ekspor barang dan jasa dalam bentuk uang (biasanya dalam dollar AS). Neraca perdangangan sendiri bukanlah alat yang sempurna untuk mengukur tingkat competitiveness suatu negara, lantaran tidak memperhitungkan pembayaran dan penerimaan pendapatan akibat investasi dan transfer dana sepihak. Ada asumsi-asumsi kontradiktif yang menarik untuk dipaparkan, bahwa neraca pembayaran seharusnya akan selalu berimbang, lantaran agar pasar devisa berimbang maka aliran masuk-keluar suatu mata uang harus selalu berimbang. Namun realitanya, neraca pembayaran Amerika dan Jepang selalu berkebalikan, akibat dua alasan yang berbeda. Amerika mengalami defisit neraca transaksi berjalan sehingga neraca kapitalnya selalu surplus, sebagai akibat dari privatisasi aset-aset negara yang dijual kepada pihak asing. Jepang, malah mendapati diri menikmati defisit neraca kapital, yang penyebabnya, menurut beberapa ahli ekonomi lantaran tingginya tingkat tabungan warga Jepang. Sampai di sini, meneruskan analisis dengan menggunakan bantuan tiga perspektif dalam Ekonomi Politik Internasional, yaitu liberal, merkantilis, dan strukturalis, akan menghasilkan beberapa kerancuan jika diaplikasikan ketiga perspektif tersebut dalam kasus negara tertentu. Jepang, sebagai contoh kasus yang menarik, lantaran beberapa ahli meyakini Jepang menerapkan strategi ekonomi merkantilis yang memproteksi berlebihan struktur finansial negaranya, seperti Inggris saat menguasai negara koloni dalam jumlah besar, menggunakan daya paksa sebagai penjajah untuk menginstruksikan semua negeri jajahan membeli produk-produk Inggris (besi, baja, dan lain-lain). Sehingga, Inggris menikmati keuntungan praktek monopoli dengan menetapkan harga sekehendak hati mereka, yang bertujuan melindungi industri tersebut di Inggris sendiri dari persaingan dengan produsen barang sejenis dari negara lain. Jepang, menurut Krugman, mampu mencatatkan defisit dalam neraca kapital, dan surplus neraca transaksi berjalan, lantaran tingginya tingkat tabungan dalam negeri, sehingga Jepang tidak bisa mempraktekkan kebijakan ekonomi merkantilis, lantaran “tidak dipaksakan” oleh otoriras apapun, atau tindakan tersebut hanya gejala normal perilaku masyarakat Jepang. Namun, jika melihat pesatnya ekspansi perusahaan-perusahaan multinasional Jepang dalam menguasai perdagangan barang-barang di dunia, sementara tidak terjadi aliran kapital ke Jepang untuk melakukan investasi yang berakibat defisit dalam neraca kapital, maka diperlukan campurtangan kekuatan khusus yang memungkinkan Jepang bisa menjalankan sistem ekonomi ekspansif-protektif. Mas’oed mengiliustrasikan bahwa intervensi pemerintah sangat krusial saat terjadi kebuntuan antara Meksiko dengan Amerika Serikat terkait restrukturisasi hutang Meksiko, yang sudah tidak dapat membayar lagi hutangnya karena terkena Tequila Crisis. Saat tidak ada bank yang mau menjadi korban dengan menanggung kerugian sendirian, sementara semua bank akan menikmati keuntungan karena ada satu bank penjamin, pemerintah Amerika Serikat dengan “Rencana Brady” mendobrak kebuntuan tersebut, dengan menjadi penjamin bank-bank tersebut, yaitu bank-bank swasta menukarkan hutang Meksiko dengan obligasi pemerintah AS ( yang disebut Brady Bonds) dengan nilai lebih rendah, yang didukung kewajiban membayar oleh Meksiko. Meksiko membayar kepada pemerintah AS, yang kemudian membayarkan kepada para kreditur. Hasil seperti itu hanya bisa dicapai oleh negara yang bertindak atas nama kepentingan kolektif bank-bank kreditur dan negara-negara debitur (Krugman 1990). Terlihat bahwa dalam pandangan Mas’oed, dia menolak hanya sekedar menelaah masalah EPI dari sekadar perspektif liberalis, merkantilis, dan strukturalis, terutama penggunaan penelitian masalah melalui pendekatan behavioral, yang hanya mengamati tingkah laku tanpa bisa berbuat apapun untuk memberikan kontribusi yang solutif terhadap permasalahan hutang, terutama di negara berkembang. Mas’oed menginginkan adanya peran aktif para ilmuwan-akademisi, yang memiliki kemampuan intelektual mumpuni untuk ikut serta dalam pemecahan problematika khas negara berkembang, seperti kemiskinan, pengangguran, jumlah penduduk yang berlipat, serta jeratan hutang yang tak kunjung berakhir. Sayangnya, penggunaan ilustrasi “Rencana Brady” justru semakin mengukuhkan bahwa pemain kunci yang diharapkan adalah intervensi dari pemerintah negara kuat, yang memiliki sumber daya dan keunggulan komparatif, seperti Amerika Serikat yang sekarang tengah menyedot kembali seluruh dollarnya untuk pulang kandang agar mampu mengatasi kesulitan likuiditas di AS sendiri. Saat pemerintah AS menarik kembali semua dollar yang tadinya tersebar nyaris di seluruh dunia dalam waktu bersamaan, terjadilah devaluasi nilai mata uang di seluruh dunia yang terkoreksi cukup mendalam, tidak terkecuali rupiah yang sekarang menyentuh 12.000 rupiah per dollar AS. Sehingga, penulis juga berharap ada alternatif solusi dari para ilmuwan yang kompeten untuk menawarkan gagasan penyelesaian krisis finansial di negara kita, selain dengan opsi kembali mengajukan proposal pinjaman kepada IMF seperti yang telah penulis kemukaan diawal tulisan ini. Penguatan hubungan dengan pasar di negara-negara “emerging markets” mungkin bisa ditawarkan untuk menyebut salah satu contoh opsi solusi.

Tidak ada komentar:

Bagikan