Minggu, 17 April 2011

LEBIH DARI SEKADAR MINYAK

Kawasan timur tengah menyimpan minyak bumi yang berlimpah di dalam tanahnya yang tandus. Ketergantungan manusia pada minyak bumi sebagai sumber energy mendorong negara-negara besar yang konsumsi minyaknya boros untuk mengawasi timur tengah agar tetap stabil. Tidak heran negara-negara barat begitu getol melakukan intervensi di kawasan ini untuk menjamin stabilitas pasokan minyak negara mereka. Bagi barat, timur tengah sangat krusial karena berbagai kepentingan strategis dipertaruhkan, terutama keamanan energi.

Sayangnya, kawasan timur tengah adalah kawasan yang rapuh dan beringas. Hampir semua negara di timur tengah, selain Palestina, Iran dan Israel, ialah negara otoriter. Para pemimpin negara ini berkuasa puluhan tahun, membungkam oposisi politik, mengendalikan media massa, dan memanipulasi pemilu. Dengan sistem otoriter, negara-negara di kawasan ini saling berperang tanpa henti.




Kondisi ini sangatlah ironis dengan doktrin perdamaian demokratik yang diusung oleh barat. Perdamaian demokratik mengandaikan untuk menciptakan kestabilan, keamanan global, dan perdamaian abadi, negara-negara demokrasi harus membentuk aliansi untuk memerangi negara-negara non-demokrasi. NATO adalah manifestasi konkret dari doktrin perdamaian demokratik, yakni sebagai aliansi keamanan kolektif. Tugas NATO mencegah agar negara-negara otoriter tidak menyerang negara lainnya, baik yang otoriter ataupun yang demokratis.

Timur tengah sebagai kawasan yang otoriter harusnya diserang oleh barat, jika benar NATO hendak menegakkan perdamaian dunia. Namun, kita saksikan selama puluhan tahun negara kerajaan seperti Arab Saudi malah dilindungi oleh Amerika. Hal ini harus dipahami sebagai politik AS untuk menjamin keamanan energi, yang masuk dalam prioritas keamanan nasional AS. Melindungi negara dengan kepentingan strategis, dan mengabaikan negara itu demokrasi atau otoriter adalah praktek wajar dalam politik internasional, khususnya bagi mazhab realisme yang meyakini bahwa dunia internasional anarkis.

Lantas, mengapa Libya perlu diintervensi oleh NATO? Pertama, untuk pertamakalinya selama puluhan tahun, masyarakat sipil di timur tengah bergolak. Perubahan sosial yang amat cepat ini ditunjang oleh peranan jejaring sosial yang mengabarkan penumbangan rezim otoriter di Tunisia dan Mesir oleh rakyat sipil secara damai. Demam revolusi politik di timur tengah, murni aspirasi rakyat, padahal sebelumnya revolusi politik di timur tengah selalu menonjolkan peranan seorang pemimpin besar. Inilah fenomena baru yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Kedua, Libya bukanlah Irak yang harus diintervensi karena dalih minyak semata. Libya, seperti Irak, memang menyimpan cadangan minyak yang amat besar. Salah satu alasan utama yang membuat Irak diinvasi oleh AS pada tahun 2003, ialah perang mata uang yang dilancarkan oleh Saddam Hussein. Menurut Benjamin Cohen (2008), Saddam menjalankan taktik ekonomi-politik cerdik, yakni, Irak, menjual minyaknya menggunakan euro, bukan dollar AS. Taktik Irak ini menguras devisa AS mengingat ketergantungannya suplai minyak, termasuk pada Irak. Inilah salah satu alasan yang menyulut Perang Irak, agar AS bisa kembali menjamin suplai minyak, sekaligus menstabilkan neraca pembayaran mereka yang disedot oleh minyak Irak.

Ketiga, krisis kemanusiaan yang mencekam harus segera dicari solusi konkretnya. Resolusi PBB nomor 1970 dan 1973 perihal embargo ekonomi dan zona larangan terbang hanyalah macan kertas yang tidak berarti tanpa diiringi tindakan konkret. Kota-kota yang bergolak seperti di Benghazi harus segera menerima suplai bantuan makanan dan kesehatan. Jangan sampai genosida Rwanda tahun 1994 yang memakan korban sampai 800 ribu jiwa terulang. Tentara Libya telah bertindak beringas tidak hanya menyerang pemberontak, juga menangkap dan membunuh para jurnalis yang harusnya dilindungi. Tidak heran, wakil Libya untuk PBB, Muhammad Shalgham bahkan berani meninggalkan posisinya karena tidak mampu lagi membela kepentingan negaranya yang otoriter.

Terakhir, intervensi NATO terhadap Libya harus dimaknai sebagai sinyal bahaya bagi negara otoriter lain seperti Suriah dan Yaman, untuk berhenti melakukan kekerasan atas rakyatnya. Penggunaan cara-cara kekerasan dalam menangani oposisi harus dihindari karena kini seluruh dunia tengah mengawasai mereka. Kita harapkan, intervensi di Libya tidak perlu dilakukan bagi Suriah dan Yaman. Hendaknya jalan dialog dengan para demonstran dimanfaatkan untuk mencapai rekonsiliasi nasional yang memuaskan semua pihak.

Tidak ada komentar:

Bagikan