Minggu, 10 Mei 2009

DIALOG DENGAN RUPA-RUPA SOSIALISME: SUATU IKHTIAR AWAL


Sungguh berbahaya penguasaan terhadap bahasa, lantaran mereka yang memiliki kemampuan lebih dalam linguistik mampu melakukan berbagai upaya sistematis guna mengaburkan makna yang dimaksud oleh bahasa tersebut. Dalam kajian kontemporer para pemikir “kiri”, kesadaran bahwa berbahayanya pembengkokan atas nama bahasa terbukti manjur menumpulkan telaah kritis, komprehensif, bahkan yang paling parah terjadi mistifikasi dan simplifikasi terhadap pemaknaan hendak dituju oleh pengguna bahasa yang menemukan istilah spesifik guna mencandra yang ia tetapkan dalam alam pikirnya.

Pembongkaran terhadap kuasa sewenang-wenang otoritas terhadap bahasa dielaborasi lebih jauh oleh para filsuf kontemporer yang khawatir banyaknya kenyataan yang sejatinya tersingkap, namun terlanjur diselubungi berbagai mitos, ritus, dan ancaman-ancaman abstrak yang melekat tatkala kita mencoba mendekati beberapa termin yang “berbahaya” dan kontroversial. Saya tidak akan mengelaborasinya lebih jauh, mungkin kesempatan lain, karena saya akan berusaha mendekati “sosialisme”, sebuah lema, entri kata dalam kamus yang belum-belum disampaikan sudah membuat sebagian besar pendengar kata ini beranjak meninggalkan tempat diamannya lantaran berjibunnya hawa mistis yang berselubung dalam kata ini.

PEMILU DAN GAGAPNYA DEMOKRASI KITA





Pagelaran demokrasi lima tahunan bertitel pemilihan umum legislatif telah rampung dihelat pada tanggal 9 April 2009 yang lalu. Kekhawatiran akan terjadinya berbagai problematika teknis terkait keterlambatan pengiriman logistik ke berbagai daerah pemilihan, teryata berhasil diatasi oleh Komisi Pemilihan Umum yang menyatakan terhitung H-2 seluruh perlengkapan teknis termasuk logistik telah terpasok dengan ekstensif ke TPS-TPS di seluruh Indonesia.

Tidak heran, Ketua KPU, Abdul Hafiz Anshary bahkan berani mengembangkan senyumnya atas kerja keras kolektif lembaga penyelenggara kenduri demokrasi lima tahunan tersebut. Pemerintah pun ikut-ikutan optimis lantaran kepercayaan diri lembaga independen yang dihuni para akademisi dan profesional non-partisan struktural, sampai Presiden Yudhoyono satu hari mendekati hari H juga mengangguk takzim, Pemilu legislatif siap dilaksanakan.


POLITIK PERJUDIAN CALON LEGISLATIF


Pagelaran demokrasi lima tahunan bertitel pemilihan umum legislatif telah rampung dihelat pada tanggal 9 April 2009 yang lalu. Kekhawatiran akan terjadinya berbagai problematika teknis terkait keterlambatan pengiriman logistik ke berbagai daerah pemilihan, teryata berhasil diatasi oleh Komisi Pemilihan Umum yang menyatakan terhitung H-2 seluruh perlengkapan teknis termasuk logistik telah terpasok dengan ekstensif ke TPS-TPS di seluruh Indonesia.

Tidak heran, Ketua KPU, Abdul Hafiz Anshary bahkan berani mengembangkan senyumnya atas kerja keras kolektif lembaga penyelenggara kenduri demokrasi lima tahunan tersebut. Pemerintah pun ikut-ikutan optimis lantaran kepercayaan diri lembaga independen yang dihuni para akademisi dan profesional non-partisan struktural tersebut, sampai Presiden Yudhoyono satu hari menyongsong hari H juga mengangguk takzim, Pemilu legislatif siap dilaksanakan.

MENGEMBALIKAN MANDAT RAKYAT




Hingar-bingar pagelaran demokrasi di Indonesia yang mengambil lakon bernama Pemilu Legislatif 2009 mulai mereda. Tahapan penghitungan suara meski terus berlangsung hingga tulisan ini diturunkan, tampaknya tidak akan banyak merubah komposisi partai-partai yang telah menduduki deretan tangga sebagai partai yang memperoleh suara terbanyak dari pemilih. Dalam 10 besar partai politik yang berhasil meraup suara, kita menyaksikan bersama betapa partai tengah mendominasi pemilihan legislatif tahun 2009.


Partai Demokrat, Golkar dan PDI-P, jika total jumlah suaranya digabungkan, akan mencapai persentase sekitar 50% suara, atau nyaris separuh dari jumlah pemilih yang angkanya sekitar 170 juta jiwa. Partai lainnya yang berasas dan bernafaskan Islam seperti PKS, PPP, PKB, dan PAN memperoleh tidak lebih dari 10% untuk masing-masing partai.

Sementara dua partai baru, Hanura dan Gerindra yang dianggap mampu menjadi kuda hitam, berhasil melewati batas parliamentary threshold sebesar 2,5 %, lantaran suaranya melampaui ambang minimum tersebut. PBB yang notabene partai kawakan dan punya basis massa fanatik, ternyata bernasib tragis lantaran jumlah suaranya tidak mencapai 2,5%. Demikian pula 24 partai politik nasional lain yang rentang perolehan suaranya antara 1,5-0,1% dari jumlah pemilih.

BERSATU AGAR DIHORMATI DAN BERMARTABAT



BERSATU AGAR DIHORMATI DAN BERMARTABAT


Wajah muram ibu pertiwi jatuh semakin kelam. Untuk kesekiankalinya, tumpah darah Indonesia yang mengais nafkah guna menyambung hidup nun di seberang lautan, lagi-lagi terancam kehilangan hak hidupnya. Kasus deportasi para buruh migran telah terjadi berulangkali semenjak masa Orde Baru. Namun, jasa para pahlawan devisa yang jarang disebut namanya dalam berita media massa, seolah tidak mampu berdaya menghadapi penolakan ataupun pengusiran sewenang-wenang dari negara yang sebelumnnya telah bersepakat memberikan kesempatan kerja bagi mereka.


Kasus deportasi massal para buruh migran dari Malaysia yang terkenal sebagai peristiwa Nunukan, dimana 700 ribu manusia diusir oleh otoritas negeri jiran, mungkin sudah dilupa. Tapi, kasus pemukulan wasit karate Donald Kolopita, Nirmala Bonat, bunuh diri mahasiswa di Singapura serta segunung kasus kriminal lain yang melanda warga negara Indonesia tatkla mereka berada jauh dari negeri tercinta selalu menimbulkan pertanyaan besar bagi khalayak ramai. Terlebih lagi masalah buruh migran, meski pemerintah sudah berusaha menetapkan regulasi permanen melalui UU.No 39 Tahun 2004, beserta dibentuknya badan resmi perwakilan pemerintah, BNP2TKI, kasus pengusiran buruh migran tidak jua berhenti terjadi. Pemerintah meski telah mengklaim berhasil melakukan perbaikan layanan bagi TKI, juga menekan angka kejahatan dan pengusiran yang diderita oleh para pahlawan devisa, tetapi kasus-kasus elementer ini masih saja terus berulang seolah telah menjadi rutinitas harian bersama.


Mengurai akar permasalahan tentang TKI jelas bukan perkara sekali pukul, melainkan perlu upaya berkesinambungan serta rekonstruksi sistem holistik yang mampu berfungsi permanen, tidak hanya sekedar menjadi macan kertas semata. Tercerai-berainya para buruh migran yang bekerja sebagai pekerja kasar dan rumah tangga, menjadi salah satu faktor utama rentannya kelompok ini menerima perlakuan kasar dari pihak yang mempekerjakan.

Tidak seperti rekan-rekannya yang berada di pabrik ataupun perusahaan, para pekerja kasar dan rumah tangga kesulitan mengorganisisasi diri maupun berkomunikasi dengan badan perwakilan pemerintah, lantaran aksesibilitas komunikasi yang sangat terbatas. Dengan jumlah jam kerja diatas 12 jam sehari, 7 hari seminggu tanpa ada jeda, bagaimana caranya para pekerja ini mendapatkan jaminan perlindungan tatkala mereka tidak sehat, sakit, atau ingin mengetahui kabar kampung halaman?
Persoalan jarak yang memisahkan para buruh migran hingga mereka terserak-serak di berbagai sektor pekerjaan dan tempat kerja, tidak dapat diatasi jika hanya mengandalkan belas kasih para majikan semata, pun wewenang lembaga pemerintah yang biasanya hanya mengurusi masalah administrasi.

Karena itu, para pekerja Indonesia di luar negeri, khususnya mereka yang berada pada posisi marginal, sejatinya perlu menumbuhkan inisiatif untuk membentuk wadah mandiri yang mampu menjadi sarana untuk menampung sekaligus menyalurkan aspirasi yang selama ini terhambat. Keberadaan organisasi penyambung aspirasi dapat menjadi solusi efektif bagi para pekerja yang mungkin kesulitan berinteraksi dengan para majikannya karena faktor bahasa, penghasilan, keberanian, atau faktor etis lainnya, hingga para majikan juga mampu memahami kebutuhan para pekerjanya yang belum terpenuhi.


Perlu disadari bahwa para pekerja dan majikan telah terikat kontrak kerja yang menyebabkan kedua belah pihak harus tunduk pada klausul-klausul yang termaktub di dalamnya, sehingga jika salah satu pihak melanggar kesepakatan yang telah dibuat, maka secara legal dia telah melawan hukum yang berlaku berdasar perjanjian yang disepakati. Keberanian untuk menautkan berbagai kepentingan di dalam satu wadah memang bukan pekerjaan ringan, tetapi jika hambatan tersebut dapat diatasi maka kasus-kasus pengabaian hak-hak para pekerja Indonesia di luar negeri oleh para majikan dapat direduksi hingga tingkat minimum, sehingga tatkala para pahlawan devisa kembali menapakkan langkah di tanah kelahiran, mereka berani mengangkat kepala karena telah berhasil meningkatkan martabat rakyat Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan terhormat.

Bagikan