Kamis, 04 Desember 2008

PAHLAWAN DALAM TIADA

Setelah mencakarbongkar tumpukan karton di kamar, akhirnya saya temukan juga frase bijak yang hendak dikutip dalam tulisan ini. Frase ini ditulis oleh Ignas Kleden dalam kolom menanggapi rencana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, pasca meninggalnya Jendral Besar tersebut beberapa waktu silam.

Banyak orang bercakap mengenai hari ini, tepatnya tanggal dalam kalender yang akan berulang tiap tahun, yaitu tanggal 10 November. Semua orang mafhum, bahwa pada tanggal 10 nopember, arek-arek Suroboyo dibawah pekik orasi merdeka, telah menandatangani kontrak setia mereka dengan Republik Indonesia yang baru berumur kurang dari empat bulan. Disepakatinya kontrak ini, sekaligus menegaskan bahwa Bung Tomo, dan mereka yang menjawab panggilannya di radio gerilya sudah bersiap memisahkan jasad dengan arwah mereka. Kepahlawanan adalah pengorbanan, dan terkadang pengorbanan itu sunyi, dan tidak bernama. Karena itu, saya ingin mengutip Ignas Kleden, “bahwa Pahlawan bukanlah mereka memiliki jasa berlimpah, tetapi insan berani yang berkorban khusus”. Bung Tomo berani berkorban, rela kehilangan, dan tidak hendak menyesali pengorbanannya. Lebih mulia lagi, Bung Tomo mengajak masyarakat Suroboyo untuk mengikutinya, bukan dengan diimbuhi harapan mendapatkan rumah dinas, tunjangan bulanan, mobil kantor dan kesempatan dicatat dalam buku sejarah, tetapi kerelaan untuk digerus oleh masa. Kita tahu bung Tomo akhirnya tumpas beserta 12 ribu rakyat yang tidak muat disebut namanya dalam buku sejarah anak sekolah maupun mahasiswa. Jika kita meneropong dengan kacamata "anak muda", maka mereka akan menjawab dengan enteng panggilan Bung Tomo, yaitu "kita, loe aja kali, gua kagak!"
Masalah kedua mengenai hari pahlawan, adalah lekatnya stereotipe militer, pemimpin perang, sebagai para jagoan yang layak dikenang. Membaca suara-suara rakyat Indonesia yang lahir pasca masa kemelaratan tahun 70-an, maka pahlawan yang muncul selalu komandan perang, seperti Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Ngurah Rai, Cut Nyak Dien, Hasanuddin, Jenderal Sudirman dan lain-lain. Lantas, dimana tempat bagi mereka yang tidak menumpahkan darah, namun telah memasrahkan diri untuk diremukkan oleh kelompok atau golongannya sendiri. Sutan Sjahrir yang menjadi musuh Orde Lama, padahal telah menyediakan diri menjadi juru runding Indonesia menghadapi Belanda pada masa awal kemerdekaan, akhirnya dikenai mosi tidak percaya, jabatannya sebagai Perdana Menteri dicopot, Partai Sosialis Indonesia dihapuskan karena tidak termaktub dalam Manifesto Nasakom, meninggal dalam kesepian, jauh dari pikuk kehormatan megah di Kalibata. Bagaimana pula Muhammad Natsir, tokoh muslim terkemuka yang mendirikan partai Masyumi, memaksakan diri untuk berusaha berunding dengan Partai Komunis Indonesia untuk menyusun dasar negara baru yang mampu mengakomodir semua golongan, akhirnya juga berakhir dalam sepi, Partainya dibubarkan, gara-gara Petisi 50 ia tidak boleh bepergian ke luar negeri dan kehidupannya tetap dikekang sampai ajal menjemput. Dua tokoh ini mungkin tidak memuncratkan darah merah ke tanah, tetapi mereka sudah sepakat untuk menjadikan dirinya lepas dari kepentingan pribadi dan golongannya saja. Membiarkan diri dihina, dicerca, dikucilkan, dan akhirnya sendirian dalam sunyi. Toh, dalam sunyi, para pahlawan bertakwil khusyuk, "kami tidak mencari pengharapan, imbalan, apalagi pengakuan. Bahkan kala semua meniadakan, sunyi akan mengabadikan kami dalam semayam hati mereka yang sudah selesai dengan dirinya sendiri".

Tidak ada komentar:

Bagikan