Senin, 29 Desember 2008

Signifikansi Prasadja

Setelah lama tidak bercakap-tulis dalam blog ini, saya akhirnya mendapatkan keluangan waktu untuk mengisi blog yang sederhana ini. Sesuai namanya yang baru, blog ini bukan hanya berisi gagasan-gagasan yang mengagung-agungkan narasi besar (grand narrative), tetapi lebih dicondongkan untuk meretas pemikiran-pemikiran sederhana yang dapat dinalar oleh khalayak luas.

Sebagaimana kisah Umar Kayam (Kayam, Umar. Mangan Ora Mangan Kumpul, Grafiti, Jakarta:1990) dalam kumpulan tulisannya di harian “Kedaulatan Rakyat” tentang salah satu sahabatnya yang bernama Dr. Prasadja Legowo. Dia adalah seorang ilmuwan matematika kelas dunia yang sudah berulangkali diundang ke luar negeri untuk berbicara mengenai beragam konsep yang ditemukannya, tetapi dia tidak kunjung jua mencapai gelar Profesor ataupun Guru Besar.



Dari segi keilmuwan ataupun kualifikasi untuk memenuhi kum-nya, Dr. Prasadja ini rajin sekali menulis di berbagai jurnal ilmiah baik dalam maupun luar negeri, melakukan penelitian juga telah dilakoninya, menjadi pembicara di forum-forum akademis merupakan kesehariannya, kewajiban mengajar juga tidak dia tinggalkan begitu saja, tetapi titel tertinggi dalam dunia akademik masih belum sudi menghampirinya.

Namun, lucunya meski telah menyabet berbagai penghargaan prestisius karena dedikasinya dalam mengembangkan khazanah keilmuannya, si Doktor ini masih sangat prasadja (Jawa, artinya sederhana). Dr. Prasadja yang diceritakan memiliki hubungan sanak famili dengan Pak Ageng (Umar Kayam sendiri), jika berkunjung ke rumah Pak Ageng selalu menaiki sepeda motor Honda butut yang perlu distarter lima kali (sambil berdoa) untuk bisa dihidupkan. Dr. Prasadja sendiri tampaknya sudah mafhum dengan motornya yang sudah butut tersebut, dan dia hanya nggleges jika kendaraan tercintanya itu sulit diajak bersinergi.

Dalam beberapa sketsa, Dr. Prasadja biasanya mengunjungi Pak Ageng dengan membawakan oleh-oleh berupa buku baru (salah satunya buku David Halberstam, judulnya “The Reckoning”) jika sehabis berkunjung ke luar negeri. Nah, Pak Ageng yang diledek sama Dr. Prasadja sebagai “priyayi”, malah mengeluh saat diberi buku, karena dia malah meminta supaya dibelikan Kaos Polo (yang asli) saja jika Dr. Prasadja ke luar negeri.

Permintaan yang maksudnya bercanda tersebut, ternyata malah dipenuhi oleh Dr. Prasadja pada sketsa selanjutnya. Meski digambarkan sebagai intelektual yang dahsyat (Umar Kayam menjulukinya “Albert Einstein”), keadaan finansial si Doktor ini nyaris tidak mengalami perubahan berarti dalam sketsa sepanjang buku tersebut (sketsa-sketsa ini merupakan kumpulan tulisan selama 5 tahun), atau ringkasnyam Dr. Prasadja masih menaiki motor butut yang sama, gelarnya masih sebatas Doktor, makanan favoritnya juga tetap nasi sambal dengan pete.

Kala Pak Ageng balas mengunjungi kediaman Dr. Prasadja, dia tertegun bahwa koleganya ini masih setia dengan rumah yang sederhana, makanan ndeso, dan (lagi-lagi) sama sekali tidak mengeluhkannya sebagai masalah. Saya sebagai pembaca sketsa-sketsa ini setelah puluhan tahun buku ini diterbitkan, memetik pelajaran berharga dari kesederhanaan Dr. Prasadja, bahwa kesederhaan bukanlah indikator kemanfaatan kita sebagai manusia.

Kesederhaan bisa berarti kerelaan yang tidak terperi untuk menghasilkan kontribusi yang tulus, ikhlas dan tanpa batas. Sketsa-sketsa Umar Kayam ini memang meninggalkan kesan yang mendalam bagi para pembacanya, seperti ketika saya menanyai perihal “Mangan Ora Mangan Kumpul” kepada Rizal Malarangeng, dia hanya mesam-mesem penuh arti ketika mendengar saya menyebut nama kumpulan sketsa tersebut.

Saya tidak tahu siapa nama asli Dr. Prasadja, juga tidak tahu bagaimana nasibnya kini (sudah jadi Profesor atau belum), tetapi tipikal Dr. Prasadja adalah cerminan intelektual yang dihasilkan oleh Universitas ala Bulaksumur; sederhana, tidak mewah hidupnya, jarang dikenal publik, namun penuh totalitas dalam mengembangkan ilmunya. Tidak heran jika ngGadjah Mada sempat tenar dengan julukan “kampus kerakyatan” beberapa masa yang telah silam. Kini, sebagai seorang penerus semangat kampus ndeso, saya berkendak melalui blog ini, menjadi seorang yang prasadja (saya telah mempertimbangkan kalau kata ini masuk nominasi untuk disematkan kepada keturunan saya), dan legowo (Jawa, artinya lapang dada).

1 komentar:

Anonim mengatakan...

belajar banyak

Bagikan