Jumat, 27 April 2012

MEMBEDAH KORUPSI SEBAGAI FENOMENA POLITIS




Ilustrasi Korupsi: Sumber Gambar


Pengantar: Korupsi adalah permasalahan besar yang direduksi jadi taburan kata-kata hambar di media. Saking seringnya kita menjumpai kata korupsi, kadang kita kehilangan nalar bahwa korupsi adalah refleksi dari sistem politik yang bobrok. Lewat tulisan ini, saya akan berusaha sedikit menjabarkan korupsi sebagai fenomena politik kekuasaan. 




Salah satu masalah genting yang mengancam negara-negara di dunia adalah maraknya praktek korupsi[1]. Secara spesifik, korupsi yang dimaksud dalam tulisan ini ialah korupsi politik. Korupsi politik berbeda dengan korupsi mikro (petite corruption) yang biasanya terjadi dalam birokrasi. Korupsi politik juga berbeda dengan korupsi korporat, yakni tindakan menyogok (bribe) yang dilakukan kalangan bisnis untuk memudahkan usahanya[2].

Korupsi politik berkait erat dengan terjadinya pertukaran sumber daya (trade-off) antara sumber-sumber material dengan kekuasaan yang dimiliki oleh para aktor politik. Korupsi politik mencakup dua hal secara umum, yakni proses wealth accumulation yang terwujud dalam praktek bribe dan extraction, serta praktek abuse of power[3]




Juru Bicara KPK, Johan Budi. Sumber Gambar




Praktek abuse of power ini ialah segala tindakan yang dilakukan oleh para aktor politik untuk mempertahankan kekuasaanya (power preservation) menggunakan instrumen-instrumen kekuasaan yang melekat padanya. Dalam hal ini, pengerahan birokrasi, penggunaan fasilitas negara, dan membangun kolaborasi dengan korporat sebagai sponsor politik dalam pemilu adalah contoh konkret praktek abuse of power[4].



Secara umum, banyak yang meyakini bahwa praktek korupsi politik terjadi secara massal di negara-negara non-demokrasi[5]. Tentu hal ini sukar dibuktikan, lantaran negara menguasai seluruh sektor pemerintahan, melemahkan sistem peradilan yang independen, dan memaksa korporat untuk mengumpulkan rente kepadanya. Namun, dalam sistem demokrasi, korupsi politik masih terjadi, dengan beragam variannya.

Menurut Ackermann, negara demokratis tetap berada dibawah ancaman praktek korupsi politik. Ia menggunakan istilah kleptokrasi, untuk menggambarkan hal ini[6]. Kleptokrasi dapat terjadi dengan dua varian, yakni negara sebagai pemeras rente, atau negara yang lemah menghadapi penyuap. 


Kedua kondisi ini diasumsikan negara tersebut didominasi oleh banyak penyuap.Mendefinisikan korupsi sebagai varian dari patologi manusia memang problematis. Menambahkan variabel moral setelah istilah patologi lantaran korupsi didefinisikan berbeda-beda dalam sistem politik yang terus berubah[7].


Sebagaimana ditunjukkan Johnston dalam Jain, korupsi tidak sekedar praksis tindakan melanggar hukum positif, melainkan refleksi dari distingsi pengaruh politik elite terhadap massa. Dalam sistem kerajaan, perilaku penguasa menjadi tuntunan moral bagi rakyat. Sedang dalam sistem demokrasi, masyarakat mendapat otonomi dalam menyeleksi perilaku sosial yang dianggap sesuai ataupun melawan konsensus moral normatif dalam lingkup spesifik[8].

Korupsi politik yang terjadi dalam sistem demokrasi sangatlah ironis, karena menimbulkan dampak korosif tidak hanya bagi pembangunan ekonomi, tapi juga pembangunan politik. Secara umum, praktek korupsi politik merusak tatanan nilai dan proses demokrasi yang mengutamakan akuntabilitas dan transparansi kepada publik. Ia juga menunjukkan adanya diskresi berlebihan dari para aktor politik, dan menggerus legitimasi pemerintahan secara institusional, meskipun pelaku korupsi politik hanya individu tertentu.

Selain itu, publik akan menjadi apatis terhadap pemerintahan, dimana publik lantas bersikap abai dan menghindari perbincangan soal politik sebagai akibatnya. Terakhir, korupsi politik akan merusak kompetisi politik yang kompetitif dan terbuka, lantaran adanya jalan-pintas yang dapat ditempuh untuk memperoleh kepentingan ketimbang harus lewat pemilu[9].

Dalam sistem demokrasi, definisi konsensus moral ini seringkali direfleksikan lewat perilaku para elite politik, baik birokrat, presiden, menteri, anggota parlemen, pengurus partai dan sebagainya. Konsensus yang bersifat normatif ini jadi panduan hal-hal apa yang sesuai dan apa yang tidak. Dalam konteks korupsi politik, ada dua konsep yang dijadikan panduan, yakni kemakmuran dan kekuasaan[10].


Interaksi antara uang dan kuasa menjadi sumber penyebab yang paling rentan bagi lahirnya korupsi. Ada tiga macam pola interaksi antara dua konsep ini yang menjadi sumber korupsi politik. Pertama, nilai moral dalam masyarakat yang berdasar konsensus normatif. Jika kita mengasumsikan bahwa kasus yang dibahas adalah negara demokrasi seperti Amerika Serikat atau Indonesia, maka kita dapat mengandaikan bahwa yang dijadikan rujukan ialah perilaku para elite politik yang dipilih oleh publik.

Sebagai pejabat yang mandatnya dari publik, mereka diharapkan bertindak sesuai dengan norma sosial hasil yang merupakan konsensus dari nilai-nilai dasar suatu bangsa. Kedua, interaksi antara uang dan kekuasaan sering mendorong pada terjadinya kolaborasi. Yang menjadi problem saat kolaborasi ini mengaburkan distingsi ruang publik dan ruang privat. Interaksi yang harusnya berada di ruang privat, lantaran privilese kekuasaan, terbawa dalam ruang publik. Sebaliknya, hasil interaksi dalam ruang privat menjadi keputusan dalam ruang publik yang diterima oleh publik. Inilah salah satu dilema definisi dalam menentukan soal korupsi politik.

Ketiga, penyalahgunaan kekuasaan politik oleh aktor politik. Dimana perlu ditegaskan penyalahgunaan kekuasaan menimbulkan adanya keuntungan (gains) yang diperoleh aktor politik[11]. Dalam kasus korupsi politik, hal ini harus melibatkan penerimaan sogokan (bribe) ataupun penguasaan sumberdaya (extraction) yang dipergunakan untuk mempertahankan kekuasaan politiknya[12].



[1] Jain, A.K., 'Power, politics, and corruption', dalam A.K. Jain (ed.), The Political Economy of Corruption, 2001, Routledge, New York
[2] Jain, 2001. lihat juga Johnston, M., Syndromes of Corruption: Wealth, Power and Democracy, 2005, Cambridge UP
[3] Amundsen, I., Political Corruption, U4 Issue No. 6, Chr. Michelsen Insitute, Bergen, 2006, http://www.cmi.no/publications/file/2565-political-corruption.pdf, diakses 16 April 2011.
[4] Amundsen, 2006.
[5] Heywood, P., ‘Political Corruption: Problems and Perspectives’, Political Studies, vol. 45, no. 3, 1997, pp. 417-435. Nye, J., ‘Corruption and Political Development: A Cost Benefit Analysis’, dalam A.J. Heidenheimer (ed.), Political Corruption: Readings in Comparative Analysis, Holt, Rinehart and Winston, New York, 1970, pp. 564-578. Huntington, S.P., ‘Modernization and Corruption’, dalam Heidenheimer, Johnston &  LeVine (eds.), pp. 377-388
[6] Rose-Ackerman, S., ‘Korupsi dan Pemerintahan’, Sinar Harapan, 2006
[7] Jain, A.K., 'Power, politics, and corruption', dalam A.K. Jain (ed.), The Political Economy of Corruption, Routledge, New York, pp. 3-10.
[8] Ibid.
[9] Johnston, M., Syndromes of Corruption: Wealth, Power and Democracy, Cambridge UP, 2005, pp. 16-35.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Amundsen, I., Political Corruption, U4 Issue No. 6, Chr. Michelsen Insitute, Bergen, 2006,
http://www.cmi.no/publications/file/2565-political-corruption.pdf, diakses 16 April 2011.

Tidak ada komentar:

Bagikan