Ilustrasi Korupsi: Sumber Gambar
Pengantar: Korupsi adalah permasalahan besar yang direduksi jadi taburan kata-kata hambar di media. Saking seringnya kita menjumpai kata korupsi, kadang kita kehilangan nalar bahwa korupsi adalah refleksi dari sistem politik yang bobrok. Lewat tulisan ini, saya akan berusaha sedikit menjabarkan korupsi sebagai fenomena politik kekuasaan.
Salah satu masalah
genting yang mengancam negara-negara di dunia adalah maraknya praktek korupsi[1].
Secara spesifik, korupsi yang dimaksud dalam tulisan ini ialah korupsi politik.
Korupsi politik berbeda dengan korupsi mikro (petite corruption) yang biasanya terjadi dalam birokrasi. Korupsi
politik juga berbeda dengan korupsi korporat, yakni tindakan menyogok (bribe)
yang dilakukan kalangan bisnis untuk memudahkan usahanya[2].
Korupsi politik
berkait erat dengan terjadinya pertukaran sumber daya (trade-off) antara
sumber-sumber material dengan kekuasaan yang dimiliki oleh para aktor politik.
Korupsi politik mencakup dua hal secara umum, yakni proses wealth accumulation yang terwujud dalam praktek bribe dan extraction, serta praktek abuse
of power[3].
Juru Bicara KPK, Johan Budi. Sumber Gambar
Praktek abuse of power ini ialah segala tindakan yang dilakukan oleh para aktor politik untuk mempertahankan kekuasaanya (power preservation) menggunakan instrumen-instrumen kekuasaan yang melekat padanya. Dalam hal ini, pengerahan birokrasi, penggunaan fasilitas negara, dan membangun kolaborasi dengan korporat sebagai sponsor politik dalam pemilu adalah contoh konkret praktek abuse of power[4].
Secara umum,
banyak yang meyakini bahwa praktek korupsi politik terjadi secara massal di
negara-negara non-demokrasi[5].
Tentu hal ini sukar dibuktikan, lantaran negara menguasai seluruh sektor
pemerintahan, melemahkan sistem peradilan yang independen, dan memaksa korporat
untuk mengumpulkan rente kepadanya. Namun, dalam sistem demokrasi, korupsi
politik masih terjadi, dengan beragam variannya.
Menurut
Ackermann, negara demokratis tetap berada dibawah ancaman praktek korupsi
politik. Ia menggunakan istilah kleptokrasi,
untuk menggambarkan hal ini[6].
Kleptokrasi dapat terjadi dengan dua varian, yakni negara sebagai pemeras rente, atau negara yang lemah menghadapi penyuap.
Kedua kondisi ini diasumsikan negara tersebut didominasi oleh banyak penyuap.Mendefinisikan korupsi sebagai varian dari patologi manusia memang problematis. Menambahkan variabel moral setelah istilah patologi lantaran korupsi didefinisikan berbeda-beda dalam sistem politik yang terus berubah[7].
Sebagaimana ditunjukkan
Korupsi politik
yang terjadi dalam sistem demokrasi sangatlah ironis, karena menimbulkan dampak
korosif tidak hanya bagi pembangunan ekonomi, tapi juga pembangunan politik.
Secara umum, praktek korupsi politik merusak tatanan nilai dan proses demokrasi
yang mengutamakan akuntabilitas dan transparansi kepada publik. Ia juga
menunjukkan adanya diskresi berlebihan dari para aktor politik, dan menggerus
legitimasi pemerintahan secara institusional, meskipun pelaku korupsi politik
hanya individu tertentu.
Selain itu, publik
akan menjadi apatis terhadap pemerintahan, dimana publik lantas bersikap abai
dan menghindari perbincangan soal politik sebagai akibatnya. Terakhir, korupsi
politik akan merusak kompetisi politik yang kompetitif dan terbuka, lantaran
adanya jalan-pintas yang dapat ditempuh untuk memperoleh kepentingan ketimbang
harus lewat pemilu[9].
Dalam sistem
demokrasi, definisi konsensus moral ini seringkali direfleksikan lewat perilaku
para elite politik, baik birokrat, presiden, menteri, anggota parlemen,
pengurus partai dan sebagainya. Konsensus yang bersifat normatif ini jadi
panduan hal-hal apa yang sesuai dan apa yang tidak. Dalam konteks korupsi
politik, ada dua konsep yang dijadikan panduan, yakni kemakmuran dan kekuasaan[10].
Interaksi antara uang dan kuasa menjadi sumber penyebab yang paling rentan bagi lahirnya korupsi.
Sebagai pejabat
yang mandatnya dari publik, mereka diharapkan bertindak sesuai dengan norma
sosial hasil yang merupakan konsensus dari nilai-nilai dasar suatu bangsa.
Kedua, interaksi antara uang dan kekuasaan sering mendorong pada terjadinya
kolaborasi. Yang menjadi problem saat kolaborasi ini mengaburkan distingsi
ruang publik dan ruang privat. Interaksi yang harusnya berada di ruang privat,
lantaran privilese kekuasaan, terbawa dalam ruang publik. Sebaliknya, hasil
interaksi dalam ruang privat menjadi keputusan dalam ruang publik yang diterima
oleh publik. Inilah salah satu dilema definisi dalam menentukan soal korupsi
politik.
Ketiga,
penyalahgunaan kekuasaan politik oleh aktor politik. Dimana perlu ditegaskan
penyalahgunaan kekuasaan menimbulkan adanya keuntungan (gains) yang diperoleh aktor politik[11]. Dalam kasus korupsi
politik, hal ini harus melibatkan penerimaan sogokan (bribe) ataupun penguasaan sumberdaya (extraction) yang dipergunakan untuk mempertahankan kekuasaan
politiknya[12].
[1] Jain, A.K., 'Power, politics,
and corruption', dalam A.K. Jain (ed.), The Political Economy of Corruption, 2001, Routledge, New York
[2] Jain, 2001. lihat juga Johnston,
M., Syndromes of Corruption: Wealth, Power and Democracy, 2005, Cambridge UP
[3] Amundsen, I., Political
Corruption, U4 Issue No. 6, Chr. Michelsen Insitute, Bergen, 2006,
http://www.cmi.no/publications/file/2565-political-corruption.pdf, diakses 16
April 2011.
[4] Amundsen, 2006.
[5] Heywood, P., ‘Political
Corruption: Problems and Perspectives’, Political Studies, vol. 45, no. 3,
1997, pp. 417-435. Nye, J., ‘Corruption and Political Development: A Cost
Benefit Analysis’, dalam A.J. Heidenheimer (ed.), Political Corruption:
Readings in Comparative Analysis, Holt, Rinehart and Winston, New York, 1970,
pp. 564-578. Huntington, S.P., ‘Modernization and Corruption’, dalam
Heidenheimer, Johnston & LeVine
(eds.), pp. 377-388
[6] Rose-Ackerman, S., ‘Korupsi dan
Pemerintahan’, Sinar Harapan, 2006
[7] Jain, A.K., 'Power, politics,
and corruption', dalam A.K. Jain (ed.), The Political Economy of Corruption,
Routledge, New York, pp. 3-10.
[8] Ibid.
[9] Johnston, M., Syndromes of
Corruption: Wealth, Power and Democracy, Cambridge UP, 2005, pp. 16-35.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Amundsen, I., Political
Corruption, U4 Issue No. 6, Chr. Michelsen Insitute, Bergen, 2006,
http://www.cmi.no/publications/file/2565-political-corruption.pdf,
diakses 16 April 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar