Jumat, 14 November 2008

DATANG TERANG

Guguran titik menyuruk perlahan
membentang kilau berderak di ujung tingkap
bersenandung pilu tanpa mengucap
lirih getir tiban dibebat.

Rangkai pikatan ujung pelikan
tersembul sungging menguntit hampa
rongga kalbu lerak senantiasa
berkicau kelaman menyarung pekat.

Derit pilau sekujur berjejak tiada
menghamba pertanda soliter
luluh mengendapi kelu.

Remuk lunglai menghidu massa
jika ia tak datang juga.

Terang memindai kelibat dalam jeruji
berharap engkau menyeru lantang
"Tak datang berarti jalang, terang!"
kerut terlipat denyutan titi
pilu menyeru belantara waktu
tepian tatkala singsing bergema jumawa
di ruang kusut berkelindan kelebat.

Tetapi malam sudah turun perlahan
menyuruk kilau di sela jelaga kusam
seruduk tumpahan menyibak terang yang terbungkus wajah kelu merona
berdandan peluh dijabat dengusan khidmat.

Tiba jua sang karang
perkasa berdiri menginjak nyali
bernyala legam, bertahta pualam, kelam sesaat indraan nuansa
laku menyala tindihkan nada,tumpas jenggirat racau berliuk menyambar sampar!

Semilir mengalun murung,
menggigit gelisah di ujung rindu

Mungkin belum waktu

KEJAR

Benderang menantang, terik
Tenggelam kelam, timbul berdusta
Kerlip sinis ufuk kilatan
Siraman peluh membilas undi
Terlampau mega, Oh Sang Maha!
Ketuk ringkih langkah tertatih
Simpuh rendah, akal berlari
Mengejar-mu, -Mu.

SEMBARI

Sembari, menunggu langit berpagut lari
Letakkan gema dibalik takdir
Jalan terlabut kilatan gana
Berteriak pertanda malam,
kerlang penalu guyah berdiri.
Jarak henti berarti lena,
sepi diaduk kontina dedaup.

Suga, jangan henti barisan lara,
terkatup engkau yang berluna.
Lumur gerus kilo penanku,
tak jua penih meski berlabuh.

BINGKAI

Bingkai satu: terlambat-sekat-rambat.

Gerak peluh sambung kinanti
telah tiba perintang aksi
rambat lamat berjalan pekat
tidak.

Tepi-ujung-sudut nuansa, mana pula teriak beriuh-runtuh?
Jangan keluh berjauh
masa sebenar logika
tak tepat dikecup rasa
jalan separuh runtuh
saat tekuk terlambat menjemput.
Mana!

Perihal endap kali berputar
datang pula peraduannya
Kilat:menggaruk kelibat.

MULAI SATU

Kelu, jejakku menyusut perlahan
bergerak saat tiada mengucap.
Desah lamat-lamat tertinggal
merenda penanda yang menggumpal-kalut.

Tidak tunduk tengadah berlari-kulintang meredup untai pilu yang mengatup

Semenjak masa yang bertarung
tetes pelu kelau menyahut lirih "apa kabarmu?"
dan aku tak hendak tengadah.

Mulai satu
engkau bersua ufuk temaram-dipekikkan galau menelusur nuansa.
Seperti, kala kita berjumpa
seringah mereda
tanggalkan kilap bertunas
belum jua tandas.

Kamis, 06 November 2008

Mengembalikan Alam Sebagai "Tempat"

Seruan untuk menyelamatkan alam dari kehancuran nyaring terdengar. Salah satunya dari mantan wakil presiden Amerika Serikat, Al Gore, lewat film dokumenternya tentang pemanasan global , yaitu “An Inconvenient Truth”.

Masalah pemanasan global, mengandung substansi urgen, lantaran secara frontal ia telah merubah alam, dalam bahasa George Ritzer dalam Globalization of Nothing (2004), dari “tempat” menjadi “bukan-tempat”. “Tempat”, yang dimaksud di sini bukanlah lantas alam tempat kita bernaung otomatis tidak dapat lagi ditinggali oleh makhluk hidup.

Alam masih dapat ditinggali oleh manusia, namun alam telah berubah menjadi “bukan-tempat”. Ciri-ciri “bukan-tempat”, yang merupakan kontinum paradoks dari “tempat”, ada 5 macam yaitu umum, kurang ikatan lokal, tidak dibatasi waktu, tidak manusiawi, dan mengecewakan. Dalam konteks kerusakan alam yang diakibatkan ulah umat manusia hingga menyebabkab pemanasan global, ciri-ciri dan contoh “bukan-tempat”, dengan mudah kita jumpai.

Refleksi Awal

Gema itu, terasa segar, dan selalu ringan menghampiri. Sekedar bertegur sapa atau bertamu, mengucap salam hangat dengan terbuka. Gema itu tercatat berulangkali dalam pusaran angka, 1908,1928,1945,1966,1974,1998,… yang berkelindan menjaring lintasan formasi diskursif yang melampaui zamannya. Mereka tidak punya pengalaman, belum juga menghasilkan kapital yang kerapkali dianggap sebagai conditio sine qua non mutlak, apalagi reputasi sekaligus wibawa yang perlu dipertahankan kredibilitasnya. Terkesan sembrono, memang, datang menghampiri, lalu berlalu tak nampak lagi. Bangsa Indonesia, kerapkali nyaris menjumpai ajalnya, namun sekejap pula sang juru selamat (messiah atau ratu adil dalam mitologi Jawa) datang, terlihat, lalu menghilang tak berjejak. Tak pelak, keberadaannya menimbulkan frustasi berkepanjangan, ia dirindu, namun tak kunjung mengetuk pintu, kala semuanya telah berubah gelap, ia baru tergopoh-gopoh menghampiri, mengucap salam, menyelesaikan tugasnya, lalu berlalu bahkan sebelum tuan rumah menanyakan kabar. Tapi kita semua mafhum, gelap itu merambat lamat-lamat, dalam intonasi yang lembut, bergulir dengan konstan menuju kulminasinya. Saat prosesi bergelap, sirene peringatan berbunyi nyaring dan lantang tanpa rasa malu, membuat semua tetangga datang melongok dengan tatapan bingung. Tapi, selantang apapun, ada simpul sederhana yang memaklumkan kita akan kedatangan dia yang sama. Kita segera tahu, kalau dia telah lama mengenal kita, lalu curiga, mungkin dia selalu berada diantara kita, -tanpa kita sadari. Deretan angka-angka yang terpampang sebelumnya, adalah tanggung jawab yang seharusnya dipikul olehnya, tapi segera saja dilepaskan karena rasa tahu diri, kultur khas orang timur yang memuliakan mereka yang lebih tua. Meski kita semua juga menyadari, yang diembani amanah tidak selamanya mampu berdiri tegak, masih sering doyong dan limbung kesana-kemari. Lantas, dikotomi yang menarik begitu keras garis antara “tua” dan “muda”, dalam konteks kekinian yang dipenuhi skeptisisme antara dua fora diatas. Segera kita dapati, kehendak dari keduanya sungguh terbalik, yang tua ingin terus mendorong dan menghela, kala nafasnya tersengal-sengal, sementara yang muda dipelototi bagaikan maling jemuran yang ketahuan memadu kasih dengan anak yang punya rumah. Tapi, sekarang 2008, masa tatkala akal berada di ujung kaki, sementara nafsu meringkik-ringkik menjulang tajam. Kenyataan yang dilihat sungguh pahit, ekonomi yang melambat lalu mencekik rakyat, harga kebutuhan yang terbang menuju langit ke tujuh, listrik yang tak tentu, mereka yang tetap ingin berkuasa kembali. Kita sedang menatap gelap itu merambat, menyelimuti kita dengan kekalutan yang merisaukan, sama seperti yang sudah lewat. Pertanyaannya, akankah dia datang kembali? Tatkala pemilik rumah telah menggembok pagar, serta mengunci pintu masuk dengan kebencian. Tapi, kita yakin dia pasti akan datang kembali, entah melalui jalan yang mana. Lagipula kalau tak ada jalan, maka dia bisa meretas jalan baru yang mengejutkan. Tetapi, kali ini dia bertekad lain, kali ini aku akan singgah, tinggal dan menetap jika perlu! Tidak lagi sekedar bertamu dan berlalu, namun dengan memanggil semua rekan yang telah berdiaspora di pelosok dunia, kita akan bersama-sama membangkitkan Indonesia. Dari lelapnya yang panjang, dari kesemrawutan tak terperi, dari nafsu untuk meringkik-ringkik lagi. Kami akan hadir dan berkumpul sekali lagi, demi pengabdian yang belum sempat dituntaskan oleh para pendahulunya. Kami akan menanam, merawat dan memelihara, serta menuai bibit baru yang harum dan getas, yang selama ini tertutupi harumnya. Gema itu akan bergetar kembali, menyapa kita (lagi), dengan salam hangat, jabat tangan simpatik, serta ketulusan untuk berkarya, dan tidak akan berhenti hanya untuk mematri angka dalam memori! Sehingga, kita tidak perlu lagi menyanyikan lagu parodi Garuda Pancasila, yang dirombak liriknya oleh (alm.) Harry Roesli,

Garuda Pancasila/Aku lelah mendukungmu
Semenjak Proklamasi/Selalu berkorban untukmu
Pancasila dasarnya apa/Rakyat adil makmurnya kapan
Parodi bangsaku
Tidak maju-maju... tidak maju… maju
Tidak maju… maju


- Konferensi Mahasiswa Indonesia, 23-28 Oktober 2008 -.

Minggu, 02 November 2008

Refleksi 80 Tahun

Tumpah darahku Indonesia namanya

Terkenangkan negeri dengan bangsanya
Berumah tangga selama-selamanya
Penuh peruntungan berbagai sejarahnya
(“Indonesia Tumpah Darahku”, 1929, Mohammad Yamin)

Melacak kembali jejak-jejak semangat yang menggelegak dari pemuda Indonesia tentu bukanlah hal yang sulit. Sajak di atas memang bukan ilustrasi yang representatif tentang semangat yang menggelora itu. Banyak para pemuda yang terbakar dengan cita-cita lepas dari penjajahan, terlibat dalam gerakan-gerakan, baik yang resmi, formal,non-formal, klandestin, ataupun yang mengendap-endap. Kesadaran timbulnya perasaan senasib dan sebangsa, memang tidak timbul begitu saja. Melainkan ada tahapan-tahapan prosesi yang kemudia meledak membentuk momentum-momentum yang mengaliri debar jantung dada para pemuda Indonesia dengan satu semangat yang seirama. Dahulu, para pemuda Indonesia, dengan beragam latar belakangnya, tersekat-sekat secara tegas akibat batas-batas geografis yang mengikat mereka. Muncullah organisasi-organisasi seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Celebes, dan Jong Indonesie. Kelompok-kelompok ini dibentuk oleh sekelompok pemuda yang mengenyam pendidikan ethis dari Belanda, hingga memiliki tingkat pengetahuan yang jauh lebih tinggi dari mayoritas masyarakat. Gerakan-gerakan yang terfragmentasi kedaerahan itu, mulai membentuk struktur politik, seperti berdirinya partai-partai yang mencerminkan ideologi yang dianut oleh kelompok pemuda pada masa tersebut. Signifikansi dari kekuatan gerakan para pemuda yang rata-rata baru berumur 20-40 tahunan tersebut, memang luar biasa. Seperti Ir.Soekarno yang mendirikan PNI saat baru berusia 26 tahun pada 4 Juli 1927, padahal setahun sebelumnya ia baru saja menyelesaikan kuliahnya di Bandung sebagai seorang insinyur. Sutan Sjahrir lebih nekat lagi, karena sepulangnya dari Belanda tahun 1931, dia langsung memproklamirkan berdirinya Pendidikan Nasional Indonesia, yang dikenal sebagai PNI-Baru, lantaran PNI-nya Soekarno dibubarkan oleh pemerintah kolonial, sementara Sjahrir waktu itu baru berusia 22 tahun. Kenekatan dan semangat menggebu-gebu para pemuda yang mengidam-idamkan kebebasan, memang bertolak belakang dengan kehendak pemerintah kolonial yang ingin agar rakyat Hindia-Belanda tetap di bawah kendali. Meski berkesan asal-asalan dan sporadis, para pemuda ini berhasil membingkai keberagaman latar belakang, agama dan afiliasi politik, dalam kerangka pemikiran yang holistik dan mencakup semua. Sumpah Pemuda, di Batavia, 28 Oktober 1928, hasil dari Kongres Pemuda, memaklumkan gagasan, “berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu”, yaitu bangsa Indonesia, tanah air Indonesia, dan bahasa Indonesia. Terutama sekali, bahasa Indonesia, adalah elemen utama yang berhasil mengikat seluruh elemen pemuda, untuk mendahulukan dirinya sebagai “orang Indonesia” pada tempat pertama, baru kemudian menyebut asal daerah, keturunan, agama dan seterusnya. Dibandingkan dengan berdirinya Boedi Oetomo yang masih bersifat kedaerahan, dan feodal, maka Sumpah Pemuda, adalah batu bata pendiri konsepsi Indonesia yang nyaris final bentuknya. Karena setelah Kongres tersbut, kesadaran dan rasa kebangsaan, menebal dan mendominasi pola-pola gerakan menuju kemerdekaan Indonesia. Mohammad Yamin, salah seorang tokoh pemuda, mengabadikan semangat persatuan tersebut dalam sajaknya yang telah dikutip di atas. Semangat mewujudkan Indonesia, merdeka, berjalan mantap meski terpaan cobaan dari internal dan eksternal tidak henti merintang. Namun, akibat perasaan berbangsa satu, dan bertanah air satu, semua permasalahan yang timbul akibat friksi antara berbagai faksi gerakan, bisa diredam, karena mereka mendahulukan dirinya sebagai orang Indonesia, baru kemudian identitas lainnya yang menyusul.
Namun, perasaan kebanggaan untuk menyebut diri sebagai “orang Indonesia” di masa sekarang, pasca kemerdekaan 1945, semakin memudar. Para pemuda khususnya, lebih suka merujuk pada daerah mereka berasal ataupun status dan keyakinan yang mereka anut, jika mendefinisikan diri sendiri. Apakah kata “Indonesia”, sudah tidak bermakna lagi? Menariknya, pada saat negara ini diambang kehancuran, tiba-tiba saja segenap warga negara mengukuhkan dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Tahun 1966, kala Paduka Yang Mulia, Panglima Besar Revolusi,Presiden Seumur Hidup, Soekarno, sudah kehilangan kepercayaan dari rakyat akibat ekonomi yang luluh-lantak, harga-harga barang yang menjangkau langit, pemihakan terhadap kelompok pemberontak, sekelompok pemuda tiba-tiba berteriak-teriak nekat di siang hari bolong, menyerukan Tri Tuntutan Rakyat, dibawah pelototan militer, dan ancaman kematian, mereka tetap keras kepala. Direnggutnya rekan mereka, Arief Rahman Hakim, seolah telah meyakinkan mereka, bahwa tidak ada jalan kembali untuk mengembalikan, menyelamatkan Indonesia, maka Soekarno, Sang Proklamator yang diktator, harus lengser dan membubarkan PKI. Kenekatan pemuda itu berhasil, karena Soekarno, menyerahkan mandat kepada Jendral muda Soeharto, celakanya, penerus kediktatoran Soekarno. Jendral militer satu-satunya yang tidak diserang oleh kelompok misterius pimpinan Letkol Untung, ternyata enggan melepaskan jabatannya sebagai Presiden selama 32 tahun. Lagi-lagi, para pemuda, tepatnya mahasiswa, sekali lagi berhasil memaksa Jendral besar Soeharto untuk menyingkir dari kursi Presiden dan menyerahkannya kepada wakil presidennya kala itu, B.J. Habibie. Perubahan besar di Indonesia, dikenal sebaga Reformasi 1998, sekali lagi meminta korban jiwa dari para pemuda, sekaligus situasi negeri yang nyaris diambang kehancuran, lantaran kerusuhan di berbagai daerah semakin tidak terkendali. Keadaan yang semakin tidak menentu akhirnya bisa diakhiri, meski dengan berbagai kontroversi tentang substansi perubahan yang berputar di tingkat elite tersebut, namun kegigihan untuk menjaga “Indonesia”, akhirnya menngakibatkan Indonesia, tetap berdiri kukuh sebagai satu kesatuan yang didahulukan diatas identitas lainnya. Tapi setelah 10 tahun berlalu, elite yang berdiri di sekitar pusat kekuasaan Orde Baru, telah diberikan kesempatan memimpin oleh rakyat, ternyata belum mampu membimbing bangsa ini ke arah yang lebih baik secara signifikan. Padahal tahun 2009, saat Pemilu kembali menjelang, ternyata para pemimpin dari generasi lama, masih enggan juga untuk menyerahkan kepimpinan untuk mengarahkan bangsa Indonesia kepada nasib yang lebih baik. Kesombomgan kelompok lama ini, tercermin dari sikap beberapa tokoh nasional yang terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi menyatakan kesediannya sebagai calon Presiden untuk 2009. Meski dalam berbagai polling incumbent SBY menempati posisi pertama, kenyataannya lebih banyak lagi rakyat yang belum menentukan pilihannya. Tradisi diktator, yang enggan untuk mundur, telah membudaya dalam kehidupan berpolitik di Indonesia. Bangsa Indonesia memang belum terbiasa untuk mengalami proses regenerasi kepimpinan yang sistematis dan teratur. Publik, dalam kurun waktu setengah abad kemerdekaan bangsa ini, dibiasakan untuk meneriman seorang pemimpin yang berkuasa untuk waktu lama dan sosoknya digambarkan tidak tergantikan. Tetapi, sampai kapan kita harus menggantungkan diri pada kebaikan sosok personal tokoh tertentu? Bagaimana jika ia bertindak kejam, menangkapi orang-orang yang tidak sepaham, memutuskan untuk menutup media tertentu, membatasi kritikan, menyerbu kantong-kantong oposisi yang konstruktif, lalu mengangkat diri sebagai Presiden selamanya? Karena itu, para pemuda yang telah terlibat dalam berbagai peristiwa kunci yang menentukan sejarah bangsa ini, mempersiapkan diri, untuk menyusun rencana bagi Indonesia di masa mendatang. Karena masa depan negeri, bergantung kepada kemampuan para pemudanya, bukan pada kemampuan membentuk citra elite-elite politiknya. Penyair kesohor, Chairil Anwar, juga seorang pemuda, telah mengobarkan bara kepada rekan-rekannya sesama pemuda, untuk menuju “dunia terang”. Lantas, mengapa masih ragu?
Darahmu nanti mengalir berhenti
Tapi kami sederap mengganti
Terus berdaya ke Masyarakat Jaya.

Kawan, kawan
Dan kita bangkit dengan kesadaran
Mencucuk menerang hingga belulang
Kawan, kawan
Kita mengayuh pedang ke Dunia Terang!
(“Siap Sedia”)

Bagikan