Jumat, 04 Februari 2011

”ANARKISME ABAD KE-21”


Pengantar
Athena, ibukota negara Yunani, tenggelam dalam hiruk-pikuk. Suara tembakan gas air mata dari polisi menyibak kebisingan di kota itu. Di sudut lain, warga yang marah membalas dengan melemparkan batu, bom molotov, ke arah polisi. Tembok-tembok bangunan slogan-slogan anti-pemerintah tercetak jelas dengan warna hitam pekat. 

Bahkan, monumen Plato, sang singa pikiran dari Yunani yang mencetuskan perihal pemerintahan modern dalam bentuk republik, bernoda kelam. "Pemerintah buatanmu telah menghabisi nyawa warganya", tulisan itu menggantung di monumen Plato [1]

Kerusuhan di Yunani bukanlah sekedar huru-hara biasa. Peristiwa ini berlangsung berhari-hari hingga menyebabkan kota Athena lumpuh. Akar masalahnya adalah tewasnya seorang remaja berusia 15 tahun, bernama Alexandros Grigoropoulos karena tembakan peluru panas dari Epamimondas Korkoneas, seorang opsir polisi di wilayah Exarchia, Athena, 6 Desember 2008.



Gelombang protes dan kemarahan tiba-tiba merangsek dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya para pemuda atau mahasiswa, para remaja ABG, ibu rumah tangga, bapak-bapak, juga kaum minoritas muslim turut serta turun ke jalan menentang pemerintahan [2].

Nah, ada kelompok yang mengklaim apa yang telah mereka lakukan sebagai kelompok anarkis. Kelompok ini melawan negara, pemerintah, politikus, birokrasi beserta segenap perangkat kekuasaan yang melekat pada negara. Polisi, sebagai instrumen negara jelas menjadi musuh kaum anarkis di Yunani. Tidak sekedar bertarung di jalanan secara fisik dengan polisi, kaum anarkis juga menyerang dan menghancurkan simbol-simbol fisik kekuasaan negara, seperti kantor pemerintahan, bank-bank yang hanya menguntungkan orang-orang kaya, pusat-pusat perbelanjaan yang mengabadikan kejayaan kelas kapitalis, perusahaan-perusahaan multinasional yang menghisap tenaga rakyat di negara berkembang yang terus berkubang dalam kemiskinan.

Makassar, 9 Desember 2009, sekelompok pemuda berpakaian hitam-hitam bergerak cepat memisahkan dari rombongan massa aksi demonstrasi yang tengah memperingati hari antikorupsi se-dunia. Di bawah terik matahari, serta pekikan orasi dari mahasiswa yang menuntut pembebasan dua anggota komisi pemberantasan korupsi (KPK), khalayak terkejut saat gerai KFC di Makassar Trade Center diserang oleh orang-orang tak dikenal. Para penyerang yang berpakaian hitam-hitam serta menutupi wajahnya tadi langsung melarikan diri dan menghilang di tengah-tengah keramaian sebelum sempat ditangkap oleh polisi [3].

Perusakan properti, penghancuran bangunan, penghinaan terhadap simbol-simbol negara dan kuasa modal dengan corat-coret, juga mencipta kerusuhan dengan beradu fisik dengan polisi langsung lekat dengan identitas kaum anarkis. Namun, benarkah kaum anarkis adalah gerakan politik yang berorientasi kekerasan? Lantas apa bedanya dengan terorisme? Sebenarnya, apa yang mereka lawan? Apa juga bedanya dengan marxisme jika sama-sama menentang supremasi digdaya kapital? Yang terpenting, apakah gerakan ini benar bercorak transnasionalis? Pertanyaan-pertanyaan tadi akan dijawab perlahan-lahan melalui studi kepustakaan dari beberapa literatur yang reliabel dan valid.


Deskripsi
Anarkisme adalah bentuk paling murni dari demokrasi. Tentu, banyak yang akan mengerutkan dahi dan berteriak tidak setuju, bagaimana mungkin mereka yang gemar menghancurkan plus merusuh di jalanan menegakkan demokrasi, dari aspek apa bisa diklaim mereka tengah mempraktekkan demokrasi. Baradat bahkan menegaskan, selain sebagai bentuk sesungguhnya dari demokrasi, anarkisme sesungguhnya ialah manifestasi terdalam dari realisasi kebebasan individu manakala berpolitik. Karena anarkisme percaya bahwa individu yang bebas dari represi negara sesungguhnya akan mencipta harmoni sosial atau keteraturan organik secara alami [4].

Kembali ke pernyataan awal, anarkisme ialah salah satu ideologi dalam politik yang meyakini bahwa manusia secara asali dapat hidup teratur dan bahagia manakala pemerintah atau otoritas serupa negara yang mengklaim kekuasaan, lenyap. Dengan kata lain, kaum anarkis beranggapan bahwa negara sejatinya merampas kebebasan yang tadinya melekat pada diri manusia, lantas negara menetapkan aturan-aturan melalui birokrasi yang justru malah mengingkari kebebasan manusia [5].

Meski demikian, anarkisme sesungguhnya terjebak dalam dua karakter yang saling bertentangan, yakni ultraliberalisme ataupun ultrasosialisme. Hal ini disebabkan akibat anarkisme mengasalkan doktrin utamanya berasal dari hak asali (human nature) manusia, namun untuk mencapai tujuannya, maka tidak bisa tidak, kaum anarkis juga perlu mengumpulkan orang-orang yang percaya dengan kekuatan dan pentingnya pesan agar menjadi bagian dari anarkis dengan menolak otoritas negara. Dalam bahasa yang sedikit rumit, lantaran akar filosofis anarkisme berasal dari tradisi libertarian-individual namun di sisi lain juga menimba inspirasi dari komunitarian-sosialis, maka anarkisme dapat disebut sebagai titik persinggungan dimana dua kredo politik ini bermuara pada satu konklusi, mewujudkan masyarakat tanpa negara [6].

Beberapa karakter utama dari anarkisme ialah, yang paling utama, adalah menolak hadirnya negara, dalam segala bentuk. Memakai bahasa yang agak puitis, kaum anarkis berkehendak agar semua individu mampu menjadi negara itu sendiri. Kedua, dengan tiadanya negara, maka ketertiban sosial akan terbentuk secara alamiah. Mereka berdialog dengan teori kontrak sosial yang masyhur, dimana menurut kaum anarkis, tanpa perlu membentuk negara secara formal, manusia sejatinya sudah mampu mengatur dirinya sendiri (kaum konservatif menganggap gagasan kaum anarkis perihal ini sebagai mimpi utopia belaka).

Ketiga, meski tidak semua anarkis adalah atheis, para proponen anarkis adalah atheis. Mereka tepatnya membenci struktur hierarkis dalam agama, khususnya katolik, yang menempatkan adanya seorang pemimpin agama yang harus dipatuhi oleh semua pemeluk agama tersebut. Gagasan manusia dengan otoritas kuasa berlebih tidak lain seperti versi lain dari negara dengan kekuasaan politik yang digenggam oleh pemerintah, baik yang terpilih secara legal-demokratik ataupun tidak.
Terakhir, kaum anarkis mendukung "ekonomi-bebas", sebuah konsep ambigu yang nampaknya perlu dijabarkan dengan lebih seksama. Anarkis jelas membenci ekonomi kapitalis, lantaran karakter penindasan yang melekat pada sistem ini karena adanya stratifikasi kelas ekonomi marxian.

Anarkis memang dekat dengan sosialisme, namun tidak semuanya jatuh pada fatalisme dengan menolak hak milik (Proudhon jelas mengutuk adanya hak milik), dan bahkan mendukung kapitalisme kompetitif.
Perbedaan ini lagi-lagi dipicu oleh karena perbedaan dua tradisi dalam anarkisme, yakni anarkisme kolektif, dan anarkisme individualis. Anarkisme kolektif memandang bahwa intervensi negara dalam ekonomi hanya mendukung eksploitasi kelas tertindas, sedang anarki individualis malah melihat bahwasanya intervensi negara yang menghambat pasar yang kompetitif lantaran pasar malah sesak oleh kehadiran perusahaan negara dan swasta [7].

Anarkisme Kolektif dan Individualis
Kaum anarkis yang memang sejak awal menyimpang kontradiksi internal tadi, dapat dikata terpisah ke dalam dua tradisi, yakni anarkisme kolektivis, dan anarkisme individualis. Menurut hemat pribadi, pemisahan ini berdasarkan perihal spektrum kontinum ideologi yang dianut, dimana anarkisme kolektif condong ke arah kiri, sedang anarkisme individual sangat bercorak kanan-baru. Bisa juga kita menyebut dua tradisi anarkisme ini lahir karena latar geografis yang spesifik. Anarkisme kolektif berakar di Eropa semenjak abad ke-19, dengan tokoh-tokoh utama seperti Pierre Joseph-Proudhon, bapak anarkisme modern asal Perancis, Mikhail Bakunin, revolusioner Rusia yang mengusulkan agar kelas bawah dipersenjatai hingga ia dan Proudhon berselisih paham dengan Karl Marx saat Pertemuan Sosialis Internasional Pertama di London tahun 1864.

Ada nama seperti Kropotkin, seorang pengikut Bakunin yang menelurkan teori tentang Darwinisme sosial, dimana ia yakin bahwa dengan bekerjasama antar manusia, manusia akan jauh lebih mudah menggapai sukses.
Sedang tokoh-tokoh anarkisme individualis memang kebanyakan tinggal dan menyebarluaskan gagasan-gagasan anarkisnya di Amerika Serikat, seperti Henry David Thoreau, sampai Ayn Rand yang merupakan tokoh kontemporer anarkis dalam bidang ekonomi. Meski Max Stirner merupakan orang Jerman, namun kultur masyarakat Amerika yang mendukung liberalisme pada unit individu, menyuburkan gagasan anarkisme individualis cukup diterima di Amerika Serikat.

Sekarang, kedua konsep barusan perlu didefinisikan agar didapatkan deskripsi yang memadai. Kolektivisme, sesuai namanya, meyakini bahwa manusia adalah makhluk sosial yang cocok untuk bekerjasama ketimbang berusaha mengejar kepentingan pribadinya sendiri. Karenanya, anarkisme kolektif meyakini bahwa kapasitas manusia dapat dioptimalkan melalui solidaritas sosial, lantaran manusia itu ramah, bersahabat, dan kooperatif. Relasi antar manusia menurut kelompok ini sejatinya ialah simpati, kasih sayang, dan harmoni. Manakala manusia telah terikat melalui kemanusiaan kebersamaan, maka tidak perlu lagi ada aturan. Bakunin menulis, ”solidaritas sosial adalah hukum pertama perihal manusia, kebebasan adalah hukum nomor dua” [8].

Sebaliknya, anarkisme individualis cenderung berlawanan dengan kelompok kolektivis terkait beberapa hal. Kultur Amerika Serikat yang mendukung mengenai ide-ide kebebasan, memperkuat atau bahkan mampu menstimulasi lahirnya anarkisme individual. Bisa dikatakan, bahwa anarkisme individual sejatinya hanya mendorong liberalisme hingga mencapai titik logis yang ekstrem, karena liberalisme menancapkan doktrin awalnya pada keyakinan akan keutamaan individu yang ditopang oleh kebebasan individu.

Kaum anarkis memandang bahwa individu semata sudah lebih dari cukup untuk dapat menjamin manusia mampu berperilaku jujur dan sanggup hidup harmonis tanpa perlunya pemerintah untuk mengawasi dan menghukum masyarakat. Manusia mampu bekerjasama lantaran mereka adalah makhluk rasional yang bermoral. Rasio manusia sanggup mengatur emosi manakala terjadi konflik, dimana penyelesaian dapat dicapai melalui peradilan atau perdebatan, bukannya dengan konflik kekerasan [9].

Metode Perjuangan
Sekarang sampailah kita pada bagian epistemologis, atau bisa juga kita sebut aspek metodologis untuk menggapai cita-cita menuju masyarakat anarkis, masyarakat tanpa otoritas negara, dimana salah satu gerakan transnasional Islam dengan bangga menyebutnya ”uslub”. Secara garis besar, metode kekerasan memang diakui oleh kaum anarkis untuk mencapai tujuannya. Namun, kekerasan bukanlah satu-satunya metode perjuangan yang diakui dan dipakai oleh kaum anarkis untuk mewujudkan mimpi perjuangannya. Ada beberapa metode lain yang perlu dipaparkan agar didapatkan gambaran utuh perihal anarkisme.


Metode pertama menuju anarki ialah dengan kekerasan revolusioner, yakni perjuangan bersenjata melalui gabungan antara terorisme dan kekerasan. Kekerasan klandestin atau perjuangan bawah tanah, menjadi salah satu ciri khas dari metode gerakan ini. Pembunuhan tokoh-tokoh politik seperti Tsar Alexander II, Raja Humbert dari Italia, Kaisar Elizabeth dari Austria, Presiden Carnot dari Perancis, serta Presiden MacKinley dari Amerika Serikat. Metode ini mencakup gerakan bersenjata secara individu maupun kelompok, seperti yang dicontohkan oleh kelompok Baader-Meinhof di Jerman, Red Brigade dari Italia, dan Angry Brigade dari Inggris. Namun kaum anarkis menganggap bahwa kekerasan bukanlah tujuan itu sendiri, kekerasan hanya berperan untuk menciptakan jalan menuju masyarakat anarkis. Kaum anarkis berpikiran bahwa kekerasan yang mereka lakukan hanyalah sebentuk retribusi atas kekerasan yang dilakukan oleh para politisi, pengusaha, dan hakim yang menindas kaum tertindas. Karenanya, kekerasan anarkis hanyalah sekedar cermin dari masyarakat dan ditujukan kepada mereka yang benar-benar bersalah [10].

Metode kedua, ialah aksi langsung, yakni sebuah metode melancarkan aksi yang melawan hukum ataupun konvensi legal-formal lainnya. Bisa berupa perlawanan pasif sampai terorisme terencana. Menurut kaum anarkis, aksi langsung punya dua keuntungan, yakni mereka sanggup menjaga jarak dari pemerintah serta birokrasi negara. Mereka juga tidak dapat begitu saja diklaim oleh para politisi yang genit dan gemar mencari perhatian media. Alasan kedua ialah aksi langsung dapat menjadi bentuk aktivisme politik secara populer yang dapat diorganisir secara partisipatif dan tanpa hierarki. Sebagaimana keyakinan kaum anarkis yang menolak membentuk partai atau lembaga politik formal lainnya, aksi langsung secara tidak langsung mendorong lahirnya beragam fenomena gerakan sosial baru [11].

Metode terakhir ialah pasifisme, metode yang akrab bagi aktivis perdamaian, namun mungkin juga agak menyengat bagi kaum anarkis yang cenderung pro-konfrontasi fisik. Dua tokoh terkenal yang dicintai dunia, Leo Tolstoy dan Mahatma Gandhi, dapat digolongkan sebagai penganjur pasifisme. Metode ini secara spesifik menolak penggunaan kekerasan, dimana sebagai gantinya mereka menggunakan metode-metode non-kekerasan namun tetap membangkang kepada otoritas negara. Tolstoy menggunakan doktrin Kristen dan hidup dalam kepapaan agar manusia sanggup melepaskan diri dari cengkeraman kuasa negara. Gandhi dengan gerakan satyagraha juga mirip, yakni menolak bekerja untuk pemerintah kolonial Inggris. Ia berkampanye agar orang India hidup sederhana dan mencukupi kebutuhannya sendiri. Metode pasifisme memang jauh dari hingar-bingar kerusuhan di jalanan yang seringkali disorot media secara berlebihan, lantaran berfokus pada penciptaan model komunitas yang berlandaskan kerjasama dan saling menghormati. Diharapkan, ide-ide anarkis akan menyebar bukan lewat kampanye politik dan demonstrasi, namun dengan memperlihatkan perbedaan antara kedamaian dalam masyarakat anarkis [12].

Penutup
Dengan berbagai karakteristik yang melekat padanya, dapatkan anarkisme kita masukkan sebagai salah satu fenomena transnasionalisme dalam studi Hubungan Internasional? Jika menilik pada periode historisnya, jawabannya mungkin tidak, lantaran anarkisme bisa dikatakan telah hidup semenjak abad ke-19 di Eropa. Juga anarkisme telah kehilangan masa kejayaan dan pengaruhnya lantaran bangkitnya fasisme pada awal abad ke-20 di Eropa. Namun, seiring dengan tingginya interdependensi negara bangsa, yang diikuti oleh makin merosotnya kedaulatan negara-bangsa, anarkisme perlu diperhatikan kembali dengan cermat sebagai salah satu fenomena kontemporer (tapi lama) dalam studi HI.

Secara khusus, anarkisme memang menolak negara-bangsa secara eksplisit, dan mereka menganut solidaritas global, sebuah manifesto yang nampak sangat sesuai dengan tema kampanye global saat kerusuhan anti-WTO di Seattle terjadi pada awal abad ke-21. Kebetulan juga, semenjak peristiwa itu, kaum anarkis nampak mulai bergairah melancarkan aksi-aksinya lagi setelah sekian lama tiarap. Yang mutakhir tentu saja kerusuhan di Yunani akhir Desember 2008. Ditunjang oleh karakter gerakan kaum anarkis yang anti-hierarkis, nir-identitas, dan terjadi tanpa koordinasi otoriter seperti gerakan-gerakan sosial lama, anarkisme dapat menjadi objek studi yang menarik dalam kerangka fenomena transnasionalisme dalam HI.



Catatan Akhir
[1] “Anarchy in Greece- An Editorial”, diakses dari www.indybay.org/newsitems/2008/12/09/18554129.php pada 27 September 2010, pukul 14.05
[2] Ibid.
[3] ”Demo Antikorupsi Rusuh, Pertokoan di Makassar Sempat Tutup”, diakses dari detik.com/read/2009/12/172748/1257304/10, pada 27 September 2010 pukul 14.10
[4] Leon P. Baradat, 1997, Political Ideologis, 6th edition, New Jersey: Prentice Hall. Hal 151
[5] Baradat, hal. 153
[6] Andrew Heywood, 1998, Political Ideologies, 2nd edition, London: Macmillan Press. Hal. 188-191
[7] Heywood, hal. 195
[8] Heywood, hal. 198
[9] Heywood, hal. 196
[10] Heywood, hal. 203
[11] Heywood, hal. 208
[12] Heywood, hal. 210

3 komentar:

Anonim mengatakan...

wah, dibalesnya langsung ky paper.hwahahaha...

lalu argumenmu tentang anarkisme opo fid?? kamu bukan deskriptor kan?..hehehe

kapid mengatakan...

yah, belum masuk pada diskusi normatifnya sih. aslinya jg ini tugas kuliah. kalo dr aspek gagasan sih, ada resonansi dengan teori kritisnya linklater yg menolak formasi negara westphalian. mungkin bisa disintesiskan ke sana, krn anarkisme yg mau dikupas ini bahas apaan, formasi negara, identitas individu, kepemilikan faktor produksi, struktur sosial-ekonomi, bahkan hingga kapitalisme. ayn rand pendukung kapitalisme ekstrem, dlm artian dia anarkis lantaran pasar bagi dia sakral. nah, lu mau yg bagian mana? menurut gw banyak insight menarik kalo ditarik pembahasan soal kesucian pasar, alih-alih supremasi individu..

Unknown mengatakan...

Hai, hanya blogwalking, makasih sudah memberi space link buat blog Ekonom Gila.. heheheh tapi blog ekonom Gila yang di wordpress udah pingda ke yang blogspot..heheheh dengan alasan, yang di blogspot lebih mudah dikutak-katik desainnya :P gak tahu juga sebenarnya mana yang lebih efektik, wordpress atau blogspot..

Bagikan