Senin, 29 Desember 2008

SARASEHAN ANTI KORUPSI-Behind The Entropy (Bagian Pertama)

Kegiatan besar yang harus saya gawangi bukan hanya di dua peristiwa akbar yang telah saya sebutkan pada kesempatan sebelumnya (Pemira dan Dies Natalis), melainkan juga tanggungjawab sebagai salah satu pengabdi setia di (nama resminya) Departemen Kastrat BEM KM UGM (rekan saya, saudara HaPe lebih suka memanggilnya “nGasTraT”).

Meski resminya kegiatan terakhir departemen atau keluarga kastrat yang telah berbaik hati menaungi saya selama dua tahun saya mengerat ilmu di Bulaksumur adalah membuat buku yang berisikan tulisan pemikiran staf-staf yang mengabdi didalamnya, toh akibat perselingkuhan dengan lembaga yang bernama PuKaT dan seorang bujang yang kuliah di fakultas Hukum angkatan 2003, maka nGasTrat ketibanan gawean lagi.

Alasan Absen Menulis

Saya mengakui bahwa beberapa waktu belakangan ini, saya tidak memiliki kelonggaran waktu untuk terus memperbarui isi blog ini. Kesibukan di organisasi politik intra kampus (saya menolak tuduhan sebagai antek-antek yang digunakan oleh fraithzone.blogspot.com, karena saya lebih suka menggunakan istilah fungsionaris) yang sedang menyelenggarakan berbagai aktivitas adalah biang keladi dari absennya saya di menulis di blog ini (juga dalam beberapa kali kesempatan kuliah).


Signifikansi Prasadja

Setelah lama tidak bercakap-tulis dalam blog ini, saya akhirnya mendapatkan keluangan waktu untuk mengisi blog yang sederhana ini. Sesuai namanya yang baru, blog ini bukan hanya berisi gagasan-gagasan yang mengagung-agungkan narasi besar (grand narrative), tetapi lebih dicondongkan untuk meretas pemikiran-pemikiran sederhana yang dapat dinalar oleh khalayak luas.

Sebagaimana kisah Umar Kayam (Kayam, Umar. Mangan Ora Mangan Kumpul, Grafiti, Jakarta:1990) dalam kumpulan tulisannya di harian “Kedaulatan Rakyat” tentang salah satu sahabatnya yang bernama Dr. Prasadja Legowo. Dia adalah seorang ilmuwan matematika kelas dunia yang sudah berulangkali diundang ke luar negeri untuk berbicara mengenai beragam konsep yang ditemukannya, tetapi dia tidak kunjung jua mencapai gelar Profesor ataupun Guru Besar.

Kamis, 04 Desember 2008

BEBERAPA FRASE ASING YANG LAZIM DALAM BAHASA INDONESIA BESERTA ARTINYA

Raison d’etat sebab keadaan
Raison d’etre sebab keberadaan
Primus inter pares pertama diantara yang sama
Cout que coute apapun konsekuensinya
Carpe diem nikmatilah hari
Causa sine qua non sebab atau syarat mutlak
Con dolore dengan kedukaan
Con amore dengan cinta kasih
Divide et impera bagi dan perintahlah
Errare humanum est berbuat khilaf adalah manusiawi
L’esprit du corps setiakwan
Pro bono publico untuk kepentingan umum
Salus populi suprema lex esto keselamatan rakyat adalah konstitusi tertinggi
Ad rem tepat persoalan
Affair d’honneur peristiwa kehormatan
De gustibus non est disputandum tiap orang berselera sendiri
Enfin singkatnya
Entente cordiale dari hati ke hati
Garde du corps pengawal
L’avant garde pengawal depan
Sic passim begitu dimana-mana
Passim disana-sini
Verbatim ac literatim harfiah, denotatif
Sans souci tidak peduli
Sans gene tanpa paksaan
Pro memoriam untuk kenangan
Affair d’amour peristiwa cinta
Al fresco di udara
Chef d’oeufre mahakarya
De jure menurut hukum
De facto menurut kenyataan
L’enfant terrible anak yang pemberontak
Fait accompli telah terjadi
In extenso panjang lebar
In extremis paling jauh
In statu quo kondisi yang sama
Status quo kondisi yang ada
Ipsu facto karena peristiwa itu
Lapsus linguae keseleo lidah
Modus operandi prosedur
Modus vivendi kompromi
Noblesse oblige kebangsawanan mewajibkan
Par excellence superior
Persona non grata orang tidak diterima
Rigor mortis kejang karena mati
Sub rosa dengan rahasia
Sui generis unik
Sub poena perintah naik saksi
Vis-à-vis berhadap-hadapan
Minus malum kerugian minimal
Per se istimewa
Per aspera ad astra kerja keras beroleh senang
Apparatus criticus teks acuan
Ben travoto dipahami dengan baik
Ceteris paribus hal-hal lain tetap sama
Exempli gratia contoh
Festina lente berjalan pelan-pelan
Idee fixe ide dominan
Intra mural dalam ruangan
Extra mural luar ruangan
Lapsus calami salah tulis
Mens sana in corpore sano
Nolens volens mau tak mau
Poco a poco sedikit demi sedikit
Fiat justicia, ruat caelum keadilan ditegakkan meski langit runtuh
Veni, vidi, vici liat, datang, menang.

IRONI INJAK-INJAK

Perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-63, baru silam sebulan yang lalu. Pemandangan jamak di seantero penjuru negeri, memaparkan gambaran yang klise dan serupa. Pemasangan umbul-umbul, penghiasan gerbang masuk kampung, lomba-lomba yang menggembirakan warga, baliho-baliho, poster-poster, malam-malam tirakat, semuanya menyatu jadi wajah Indonesia kala Agustus. Semangat rakyat Indonesia, mencapai kulminasinya kala bulan keramat itu menjelang. Gegap-gempita menyambut Proklamasi Kemerdekaan adalah hal yang wajar, lantaran peristiwa ini mampu mengembangkan sesungging senyum di wajah, kala tekanan hidup terus menghantui. Kenaikan BBM 23 Mei, yang diikuti berdesak-desakannya warga untuk mendapat jatah BLT, kenaikan harga bahan-bahan pokok sejak awal tahun, kedelai yang melangit harganya membuat tempe, “makanan orang desa” raib dari jangkauan penginderaan kita. Elpiji yang diplot sebagai sumber energi baru yang terjangkau, 1 Juli justru dinaikkan harganya, lalu anak sekolah yang memasuki tahun ajaran baru, menuntut alokasi dana yang pastinya tidak sedikit, karena biaya sekolah semakin menjadi-jadi saja mahalnya. Maka, 17 Agustus, bermakna bahwa kita dibolehkan sedikit berbangga diri, bahwa meskipun menderita begini, kita sudah merdeka dari penjajahan. Jadi, segala perayaan yang hingar-bingar, di sudut-sudut Indonesia tercinta, adalah ekspresi penumbuhan harapan, bahwa masih ada harapan, serta kecintaan yang begitu besar dari rakyat kepada Republik yang bentuknya abstrak iitu. Pemerintah, sebagai penyelenggara negara, seolah mampu mendengar aspirasi rakyat yang tidak pupus jua cintanya, menjawab dengan lantang dan nyaring: Pidato Kenegaraan Presiden tanggal 15 Agustus 2008, dengan slogan khas 2008, yaitu “Indonesia Bisa!”, Presiden SBY memaparkan gagasan-gagasan serta proyeksi-proyeksi harapan tentang Indonesia pada 2009. Diantaranya, dia mengklaim bahwa angka kemiskinan berhasil diturunkan, anggaran pendidikan yang 20% berhasil dipenuhi sesuai amanat Konstitusi, produksi beras 2009 akan meningkat sampai angka 63-64 juta ton, kesuksesan program BLT dalam meminimalisir efek kenaikan harga BBM, dan lain-lain. Optimisme besar bangsa Indonesia, adalah sebuah pernyataan tekad kuat untuk mencapai kesejahteraan bangsa, yang diwujudkan melalui perencanana pembangunan yang sistematis dengan fokus yang jelas. Kemerdekaan adalah langkah besar pertama untuk mampu melangkah lebih jaun untuk mencapai tujuan yang diabadikan dalam pembukaan Konstitusi Negara kita. Tapi, mendadak segala kebanggaan, optimisme, harapan tersebut luluh-lantak dalam sekejap, saat kita tertegun memandang bahwa, di Pasuruan 15 September 2008, 21 orang yang semuanya wanita, meninggal akibat terinjak-injak kala mengantri pembagian zakat oleh salah seorang dermawan. Inilah paradoks pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang belum jua tuntas mengentaskan kemiskinan dari bumi pertiwi. Menyedihkan, karena seolah kita tidak pernah belajar, bahwa kematian seorang rakyat akibat berebutan mendapatkan uang, ataupun karena benar-benar miskin hingga tidak dapat makan, seolah menjadi klise dalam fragmen hidup kita. Peristiwa Daeng Basse di Makassar, kepala desa yang tewas saat pembagian BLT, kejadian di Pasar Minggu tahun 2003, bapak yang gantung diri karena dililit utang berkepanjangan, semuanya bergulir untuk dilupakan kembali. Pada bulan Ramadhan yang sakral, kita diingatkan bahwa kemiskinan mengintimidasi kita setiap saat, seperti kata pemenang Nobel, Amartya Sen asal India, kemiskinan adalah kekerasan yang paling keji bentuknya. Karena kemiskinan mampu merubah manusia menjadi makhluk yang buas terhadap sesamanya. Keyakinan Thomas Hobbes tentang “homo homini lupus”, mungkin tidak selalu tepat, namun manusia dapat menjelma jadi serigala yang tidak sungkan memangsa rekannya sendiri, jika ia mengidap penyakit paling kronis dalam kompleks dalam sejarah umatnya, yaitu kemiskinan. Tewasnya 21 orang saat pembagian zakat yang tidak dikoordinasi dengan aparat keamanan tersebut, menegaskan posisi buasnya manusia jikala harus berebut untuk bertahan hidup. Keinginan yang mulia dari pengusaha yang menyedekahkan hartanya, ternyata memang tidak cukup untuk menenangkan manusia yang sudah melupakan wujudnya sebagai manunggaling rasa. Saat itulah, manusia telah melepaskan jubah moral, norma, atapun etika yang selama ini mengungkung serta membimbingnya untuk mencirikan diri sebagai makhluk yang berbeda dengan ciptaan Tuhan yang lainnya. Tragedi kemanusiaan yang kembali berulang, menegaskan posisi bangsa Indonesia, pada pertanyaan klasik yang sudah menjadi retoris: Benarkah kita sudah merdeka? Saya rasa pertanyaan itu kita simpan saja untuk masing-masing dari kita merefleksikan diri. Percuma saja rasanya segala perayaan yang kita gelar secara seremonial tiap tahun, dan segala pidato optimis para penyelenggra negara yang berapi-api tentang keberhasilan yang serba semu di berbagai bidang kehidupan. Kita seperti memandang utopia bulan Agustus, sementara realita bangsa akan selalu saya kenang pada bulan September, karena inilah wajah sesungguhnya Indonesia, tanpa topeng dan kosmetik yang hanya menjadikannya tampak menor dan belepotan dengan kebohongan.

JIKA MENJADI MANAJER BISNIS INTERNASIONAL

Menjadi kaya tidak otomatis mampu menjamin kemampuan untuk mendapatkan yang dikehendaki manusia dalam hidupnya, yaitu kebahagiaan. Dalam berbagai cara dan upaya, anak manusia mencari, menggali, mengiba, menelusur, menyibak, bahkan terkadang menghancurkan, demi mendapatkan harta paling berharga yang dikenal dalam sejarah hidupnya. Salah satu kutipan menarik, masalah hakekat, esensi, bertendensi untuk membincangkan masalah filosofis yang berburai ruwet, adalah “jalan menuju kesejatian (hidup), ada empat pilihan, yaitu agama, sains, filsafat, dan sastra” (“Gunung Jiwa”, Gao Xingjian, Yogya: Jalasutra, 2007). Kalau menurut kaum bijak bestari, memperoleh “sakjatine urip”, melalui metode eksplorasi coba-salah, (trial and error) mengapa kita masih perlu membicarakan perihal kekayaan, serta kemakmuran manusia. Kemakmuran ekonomi, yang ditandai keadaan self-sufficient, bebas dari ketergantungan kerja kantoran, kejaran kredit perabot tiap bulan, ketakutan tagihan telepon, listrik, kartu kredit, asuransi dll. Kebutuhan kontekstual manusia modern, tanpa disadari telah bertransformasi, mengidentifikasi diri dengan rambu-rambu yang memasung kebebasan manusia, untuk berjumpa dengan, meminjam istilah Freire, kesadaran kritisnya (critical consciousness). Menarik untuk ditelaah, dalam sejarah umat manusia, mereka kerapkali berada dalam posisi marginal, dan istilah Marxis, dimanipulasi kesadaran kolektifnya. Bentuk penindasan tersebut, secara eksplisit, dapat diindera, meski sering dibalut tipis kabut kekuasaan. Pada masa feudalisme, rakyat disegregasi dari kekuasaan, karena Raja adalah perpanjangan otoritas dari Tuhan, sedangkan pada masa Kegelapan, kabut tebal itu bersalin rupa menjadi wajah Gereja Vatikan, simbol kemistisan kuasa. Selanjutnya, pada era Revolusi Industri, kekalutan dalam balut samar berubah lagi dengan nama Agung, kapitalisme. Kehidupan menjadi misteri, sekaligus tak berarti bagi banyak orang, karena segregasi yang dipaksa akibat keberjarakan yang terjadi secara sporadis, serta simultan ini. Kekuatan manusia, kekuatan modal untuk menguasai sumberdaya, modal dan pendapatan, menjadikannya perlahan-lahan meruyak badai lamat-lamat yang tak jua reda salin-rupanya. Kekuatan ekonomi mampu memberi akses kepada manusia untuk menjadi kuasa, lalu secara transenden menjadi contingent untuk memutuskan apa yang hendak dilakukan kala bertemu dengan pemisah yang menjauhkannya dari kebebasannya sebagai manusia. Tiitik silang yang berkorelasi dengan janggal, kesejatian manusia di sudut lain, mendapatkan kolaboratornya di sisi lain, yaitu penguasaan mutlak terhadap modal. Para pencari yang “sejati”, hanya dapat mencari jikalau mampu membebaskan diri dari komponen tetek-bengek yang remeh-temeh, namun ternyata telah menjadi bagian koheren dalam kehidupan manusia melintas batas waktu dan zaman. Sehingga, cita-cita awal “ jika menjadi manajer bisnis Internasional”, layak dibincangkan, karena masalah kekuatan ekonomis, tidak serta merta akan membebaskan manusia dari obligasinya yang lain, yaitu kuasa politik, menelusuk dalam pada rongga-rongga terdalam neuron sadar manusia, untuk membongkar struktur lama yang telah lama terendap dan jadi layu. Komodifikasi kabut tersebut, terjadi secara konsisten oleh mereka “yang bebas”, memiliki akses serta kemampuan untuk mendekatinya, dan manajer bisnis korporasi internasional, adalah sedikit manusia dengan anugerah tersebut. Karena “Menjadi Kaya itu Mulia” (Deng Xiaoping), sementara “Only in their dreams, human can be free” (Dead Poet Society), kontradiksi anakronis.

Jika Presiden AS Debat Dengan Bahasa Indonesia

Debat Pertama, dari University of Missisipi in Oxford, 26 September 2008. Moderator Jim Lehrer dari PBS (public broadcasting service).
Fokus debat pada isu kebijakan luar negeri dan keamanan nasional, termasuk krisis finansial global (Lehrer)
Lehrer: Bagaimana rencana anda untuk mengatasi krisis finansial global?
Obama: (empat strategi menghadapi krisis finansial global), pertama, Amerika dibawah Bush telah keliru dalam mengeksekusi paket kebijakan ekonomi melalui bailout, yang jumlah nominalnya mencapai 700 milyar dolar. Uang yang terlalu banyak.
Kedua, pemerintah harus menjamin uang para pembayar pajak, ketika menempatkan uangnya dalam pasar yang beresiko seperti di saham, maka harus ada jaminan bahwa uang mereka akan kembali kepada pemiliknya, jika pasar telah pulih dari krisisnya.
Ketiga, pemerintah juga wajib memastikan bahwa tidak ada sesenpun uang dari nasabah ataupun investor yang masuk ke kantong para CEO bank atau perusahaan tertentu.
Keempat, pemerintah juga menjamin akan menolong para pemilik rumah, karena akar permasalahan dari krisis finansial adalah penyitaan yang terjadi di seluruh Amerika.
Obama juga mengkritik kebijakan ekonomi Bush, yang akan dilanjutkan oleh McCain, yaitu teori menisbikan peraturan dan proteksi untuk pembeli, lalu memberikan lebih dan lebih lagi, hingga berlebihan, dan akhirnya, entah bagaimana, kesejahteraan bisa menetes ke bawah. Menurutnya, fundamen ekonomi yang mantap ataupun rapuh, bisa diukur melalui kelas menengah yang cukup atau tidak sama sekali menderita kesulitan.
McCain: Memulai dengan kebijakan ekonomi pemerintahan Bush, yang menjamin adanya akses pinjaman terhadap pengusaha yang kesulitan dalam bisnisnya, bukannya mengambil alih usahanya atas nama negara. Saat ini, bukanlah awal dari berakhirnya krisis, melainkan akhir dari permulaan krisis yang baru jika amerika mengeluarkan paket kebijakan yang akan tetap menjaga semua institusi stabil. Amerika juga memiliki banyak sekali tugas, seperti menciptakan lapangan kerja, serta menghilangkan ketergantungan Amerika terhadap minyak dari negara asing.
Lehrer: Kasus kedua, bagaimana sikap anda terhadap rencana pemulihan yang saat ini tengah dijalankan?
Obama: Amerika belum melihat ada upaya menuju ke arah perbaikan. Tetapi, saya berpandangan bahwa upaya konstruktif yang sekarang sedang dikerjakan, sehingga saya optimis dengan kapasitas negara amerika untuk bersama-sama merumuskan strategi yang tepat. Dua tahun lalu, saya telah memperingatkan akibat dari pemberian pinjaman perumahan massal, karena lemahnya peraturan, memungkinkan amerika terjebak dalam masalah dan kemudian mencoba untuk menghentikan penyalahgunaan hipotek yang sekarang tengah terjadi. Tahun lalu saya menuliskan peringatan bagi menteri keuangan potensi besarnya masalah ini, lalu mengumpulkan semua pemangku kepentingan untuk duduk bersama menyelesaikan problema. Akhirnya, amerika harus bertanya pada diri amerika sendiri, bahwa amerika harus merampungkan masalah ini dalam jangka pendek. Amerika harus melakukan intervensi, tidak ada keraguan lagi. Namun, mengapa amerika sekarang begitu mudahnya mengabaikan peraturan ? Amerika tidak harus mematuhi kerangka kerja peraturan abad ke-dua puluh satu jika ingin menghadapi masalah ini. Sehingga, filosofi ekonomi (kapitalis, laissez-faire) selalu mengatakan bahwa peraturan itu selalu buruk.
McCain: Terkadang amerika kehilangan akuntabilitas, saya sendiri dikritik karena saya telah mengusulkan pengunduran diri ketua komisi keamanan dan perdagangan. Amerika sedang berusaha memegang kepercayaan masyarakat dan amerika harus menghargai mereka yang berhasi melakukannya. Tetapi sekarang di Washington, keserakahan dihargai, pemborosan diapresiasi, dan korupsi atau lebih tepatnya kegagalan untuk mengemban tanggungjawab sangat dihargai. Sebagai presiden Amerika Serikat, rakyat akan mendapatkan kejujuran dalam pemerintahan saya, dan saya berjanji hal itu akan terwujud.
Lehrer: Pertanyaan selanjutnya, apakah yang membedakan secara "mendasar" kebijakan anda dan program Obama sebagai Presiden untuk menghadapi krisis ini?
McCain: Amerika harus menjaga pengeluaran tetap terkendali, karena sekarang memang sudah tidak terkendali lagi. Anda tahu bahwa ada studi di Montana mengenai beruang yang menghabiskan dana 3 juta dollar. Saya tidak tahu apakan ini adalah masalah kriminal atau bukan, tetapi faktanya dana 3 juta dollar itu adalah uang para pembayar pajak amerika, dan dana tersebut harus dikendalikan. Sebagai presiden Amerika Serikat, saya ingin meyakinkan anda, bahwa saya memiliki kuasa, dan saya akan memveto semua undang-undang terkait pengeluaran anggaran yang masuk ke meja kerja saya. Saya akan membuat undang-undang itu terkenal, dan anda akan mengenal nama mereka.
Obama: senator mccain mengajukan proposal yang akan memotong pajak sebesar 300 milyar dollar bagi perusahaan-perusahaan besar, dan orang kaya tentunya. akibatnya para ceo perusahaan yang masuk dalam fortune 500 akan mendapat pemotongan pajak rata-rata 700 ribu dollar, sementara 100 juta warga amerika diabaikan begitu saja. Sehingga, menurut saya, amerika harus menumbuhkan ekonomi dari bawah ke atas. itulah mengapa saya mengajukan pemotongan pajak bagi 95% warga amerika.
mccain : amerika tidak boleh menaikkan pajak. dalam situasi seperti ini, hal terburuk yang dapat dilakukan adalah menaikkan pajak (bagi mayoritas rakyat). Pajak bisnis di amerika adalah yang kedua tertinggi di dunia, yaitu sebesar 35%, sementara di Irlandia hanya 11%. dengan pajak sebesar itu, maka akan sangat sulit untuk menciptakan pekerjaan dan menumbuhkan ekonomi.
Obama: Bukan begitu maksudnya, jika anda berpendapatan 250 ribu dollar kurang dari setahun, maka anda tidak akan dikenakan kenaikan pajak, justru pajak anda akan diturunkan. mengenai masalah pajak bisnis, terlalu banyak kelonggaran yang diijinkan dalam peraturan mengenai hal itu. anda (mccain) bukannya ingin menambal celah tersebut, justru inigin memperparahnya dengan memotong pajak para pelaku bisnis yang selama ini menikmati keuntungan dalam jumlah signifikan.
selain itu mengenai asuransi kesehatan, jika anda mengikuti apa kata senator mccain, maka masalahnya adalah, jika anda berhasil mendapatkan asuransi sebesar 5 ribu dollar, para pegawai anda yang harus membayar pajak, sekaligus asuransi kesehatan. jika anda kemudian kehilangan jaminan asuransi tersebut, maka anda harus mencari asuransi baru di pasar, dan membelinya dengan harga mahal. inilah masalahnya, pasar selalu menganggap dirinya bisa mengatasi segala masalah, sehingga semakin sedikit peraturan yang dimiliki, maka ada keyakinan bahwa segala hal akan menjadi lebih baik.
Lehrer: apa program anda yang harus dikorbankan untuk mendukung rencana pemulihan ekonomi yang sebelumnya anda tawarkan?
obama: ada beberapa program yang bisa ditunda, namun ada lima prioritas dalam agenda saya yang harus dikerjakan, pertama, membebaskan ketergantungan amerika terhadap minyak dari luar negeri. dalam jangka waktu 10 tahun, amerika harus mencapai kemandirian energi, dengan cara berinvestasi di bidang energi alternatif, seperti tenaga solar, angin, biodiesel, dan produksi mobil hemat bahan bakar bisa sampai pada titik optimal.
Kedua, perbaikan sistem kesehatan, karena implikasi langsung dari layanan kesehatan yang mahal, mengakibatkan 30% warga amerika menderita hingga nyaris bangkrut karena mereka tidak sanggup melunasi masalah biaya kesehatan.
ketiga, pendidikan di amerika harus tetap menjadi yang terdepan di dunia, amerika harus terus berinvenstasi di bidang sains dan teknologi. selain itu, amerika juga harus memastikan bahwa biaya kuliah mampu dijangkau oleh semua pemuda amerika yang hendak meneruskan pendidikannya.
keempat, perlu perbaikan berkelanjutan terhadap infrastruktur seperti jalan, jembatan, serta jalan penghubung ke desa-desa.
kelima, pentingnya sumber listrik yang dapat menjadi energi alternatif bagi masyarakat luas.
mccain: saya akan fokus pada pemotongan anggaran bagi pengeluaran yang tidak perlu, seperti subsidi etanol, sistem pertahanan yang boros hingga perlu ada klausul kontrak dengan nilai tambah, juga kontrak berjaminan biaya tetap agar tidak membebani anggaran. bagaimana jika amerika juga membekukan anggaran kecuali untuk pertahanan, veteran, dan program-program sejenisnya?
Lehrer: pelajaran apa yang didapat dari perang irak?
mccain: jangan menggunakan strategi yang terbukti gagal karena anda akan berakhir dengan kekalahan. saat saya ke irak tahun 2003, saya merasa bahwa perang ini telah salah ditangani. amerika perlu merubah strategi perang amerika dengan menambahkan lebih banyak pasukan. akhirnya dengan strategi yang baru dipimpin oleh jenderal yang hebat, maka amerika berhasil menang perang di irak. keputusan untuk menarik pasukan adalah lawan dari segala keberhasilan tersebut. amerika tidak akan pulang sebelum irak menjadi negara yang stabil dan konflik sektarian dapat dihindari. jika amerika pergi sekarang, ada kemungkinan perang sipil terjadi di irak, menyebabkan amerika harus kembali lagi ke sana.
obama: saya sejak awal di senat telah menentang perang ini, karena amerika tidak tahu berapa besar biaya dari perang ini, bagaimana exit strategy akan dijalankan, apa pengarunhya terhadap hubungan dengan negara lain, ditambah amerika belum menyelesaikan masalah di afghanistan. amerika juga belum menangkap bin laden, dan perang di irak menghabiskan dana seamerikar 600 milyar dollar, sebentar lagi akan mencapai 1 trilyun dollar, amerika juga kehilangan 4000 pasukannya, 30 ribu terluka, dan paling penting, al-qaeda menurut intelijen, malah semakin kuat. Amerika juga masih terus mengeluarkan dana sebesar 10 milyar dollar setiap bulan, sementara untuk membiayai fungsi-fungsi dasar dari pemerintahan amerika harus meminjam dari luar negeri. akhirnya, amerika tidak menggunakan pasukan amerika dengan bijak di irak, gunakanlah militer dengan tepat dan efisien.
Lehrer : sekarang amerika pindah ke afghanistan, apakah perlu menambah pasukan, berapa banyak dan kapan, ke afghanistan ?
obama :saya akan mengirimkan seamerikar dua atau tiga brigade ke afghanistan, karena ancaman sebenarnya bagi amerika adalah al-qaeda, amerika juga perlu menekan pemerintah afganistan agar benar-benar bekerja untuk rakyatnya. kedua, amerika harus mengatasi masalah perdagangan ranjau yang sedang heboh di afghanistan. ketiga, amerika juga harus mengatasi ancaman dari pakistan, karena al-qaeda dan taliban sangat aman di sana, dan presiden bush serta senator mccain memberikan dana sebesar 10 milyar dollar selama tujuh tahun ini (kepada Pakistan), dan mereka belum berhasil mengatasi ancaman tersebut.
Mccain: saya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama, dan setelah amerika berhasil membebaskan orang-orang afgan dan mengusir rusia keluar dari afganistan, secara umum amerika keluar dari wilayah tersebut. akibatnya, muncullah taliban, al-qaeda, dan semacamnya yang menyulitkan amerika sekarang. saya tidak akan mengancam rakyat pakistan dengan menambah pasukan, karena amerika wajib mendukung rakyat pakistan, yang sekarang memiliki presiden baru. amerika perlu strategi baru, dan amerika akan menolong rakyat pakistan untuk mendapatkan kesetiaan mereka, lantaran disana telah ada taliban serta al-qaeda. pengeboman-pengeboman yang terjadi di pakistan adalah tanda-tanda eksistensi teroris, namun rakyat pakistan tidak akan mau pemerintahnya bekerjasama dengan kelompok-kelompok seperti itu. jadi, yang penting bukan penambahan pasukan, tetapi strategi baru yang telah terbukti keberhasilannya, dan saya bisa menjamin bahwa, saya tidak akan menyerang pakistan.
selanjutnya mccain dan obama saling menekankan pendekatan masing-masing, dengan mccain menggunakan konsep patriotisme amerika, dimana dia tidak ingin pasukan amerika ditarik dari irak karena itu akan memalukan dan ada semacam kebanggan untuk bertahan di sana. dia memberikan ilustrasi beberapa kasus ketika amerika mengintervensi secara militer, dan mengklaim bahwa keputusan untuk melakukan intervensi militer telah dipikirkan dengan seksama agar tidak terjadi pengiriman pasukan yang sia-sia belaka. obama membalas dengan penekanan bahwa dia juga bangga terhadap militer amerika, namun juga mengingatkan bahwa keputusan terburu-buru untuk mengirimkan pasukan ke suatu tempat dapat mengakibatkan kerugian yang jauh lebih besar. pelajaran dari irak, menurutnya, kalau anda benar-benar ingin melawan terorisme, maka fokus dan konsisten sangat diperlukan dalam melacak keberadaan al-qaeda yang menjadi sumber ancaman utama. keputusan untuk menyerang irak dengan mengorbankan afghanistan adalah contoh bahwa determinasi untuk menjaga fokus sangatlah kurang, serta menandakan adanya tendensi untuk pergi berperang tanpa alasan yang jelas.
lehrer: apa pembacaan anda terhadap ancaman dari iran?
mccain: jika iran memiliki senjata nuklir, maka itulah ancaman serius bagi israel dan negara-negara lain diseamerikarnya, sehingga semua negara akan merasakan kebutuhan untuk mempunyai senjata nuklir. saya sedang berusaha membentuk liga demokrasi dengan negara-negara di dunia, namun rusia (pendukung iran) sangat mengganggu dalam dewan keamanan pbb. melalui liga demokrasi ini, amerika dapat menjatuhkan sanksi yang keras hingga membawa keuntungan bagi amerika. tapi, yang paling utama adalah ancaman memiliki senjata nuklir, karena sangat berpotensi mengancam dunia, dan amerika harus segera mengatasi ancaman tersebut (kalau AS yang punya nuklir tidak masalah karena mereka "polisi dunia" yang selalu benar, namun jika iran yang punya, masalah besar lantaran mereka "penjahat dunia" menurut as. krisis sandera di iran saat revolusi islam iran menjadi batu sandungan besar, karena sampai sekarang belum ada pemulihan hubungan diplomatik iran-as)
obama: iran adalah musuh besar irak, karena itu iran sekarang mendukung hamas di palestina, hizbollah di lebanon agar dapat menyeimbangkan kekuatan dengan irak. keberadaan senjata nuklir di iran akan mengubah situasi, lantaran akan memicu perlombaan senjata di seluruh timur tengah. amerika butuh sanksi lebih keras, namun dengan dukungan rusia dan cina juga. pendekatan diplomasi langsung dengan para pemimpin negara seperti iran, adalah perbedaan besar antara saya dengan mccain. ide untuk menghukum iran terbukti tidak efektif, karena tidak berhasil di iran, juga di korea utara. upaya mengisolasi negara hanya mempercepat mereka mendapatkan senjata nuklir.
mccain-obama saling berbeda pendapat mengenai pendekatan terhadap iran. mccain berulangkali mengatakan bahwa amerika tidak bisa duduk dengan ahmadinejad tanpa prekondisi yang disepakati oleh amerika terlebih dahulu, seperti masalah perang dingin dengan rusia, sampai presiden gorbachev menerapkan glasnost dan perestroika terlebih dahulu, amerika baru mau berunding dengan mereka. obama menegaskan sekali lagi posisinya bahwa amerika harus memulai perundingan, karena jika amerika hanya mengisolasi musuh lalu mendiamkan mereka begitu saja, maka musuh akan lebih cepat mendapatkan persenjataan, melipatgandakan pasukan, serta memperkuat militernya, seperti yang terjadi korea utara.
lehrer: bagaimana potensi hubungan dengan rusia?
obama: karena kejadian di georgia, maka rusia harus diwaspadai agar tidak menjadi ancaman militer bagi amerika serikat. mereka harus menarik diri dari ossetia selatan dan abkhazia. penggunaan dukungan dari negara-negara nato yang ada diseamerikar rusia, sangat penting digerakkan agar masalah dapat lebih mudah diselesaikan. selain itu, ada beberapa kesamaan antara rusia dan amerika yang semestinya bisa dikelola dengan bijak antar keduanya, seperti masalah proliferasi nuklir, dimana amerika bisa bersama-sama mengelola masalah nuklir agar tidak jatuh kepada kelompok seperti al-qaida.
mccain : tidak akan terjadi perang dingin lagi, tetapi jelas sekali bahwa rusia menjadi ancaman serius bagi keamanan amerika jika bertingkah dengan menyerang georgia. karena itu, untuk menghadapi masalah ini, penggunaan negara sekutu menjadi sangat krusial, seperti ukraina.
kemudian obama menekankan kembali perlunya kemandirian energi, agar amerika tidak lagi mempunyai masalah dengan negara seperti iran, venezuela, dan rusia. amerika harus membangun investasi baru dalam pembangunan sumber energi alternatif, seperti nuklir, batubara, solar, angin, dan biodiesel.
lehrer: apakah ada kemungkinan terjadi lagi serangan seperti 9/11 kepada amerika serikat?
mccain: ancaman seperti 9/11 jelas sangat berkurang kemungkinan terjadinya. tetapi amerika serikat jelas masih jauh dari kondisi aman. saya telah bekerja di senat bersama-sama dengan demokrat untuk menuntaskan masalah ini. meski jalan menuju ke arah keamanan masih panjang terbentang, tetapi saya optimis hal seperti 9/11 tidak akan terjadi lagi.
obama: amerika sudah jauh lebih aman sekarang, tetapi untuk memastikan keamanan dapat dipertahankan, maka perlu langkah-langkah strategis mencapainya. seperti memperkuat perjanjian proliferasi nuklir, dan yang paling penting membasmi akar dari terorisme itu sendiri, yaitu al-qaeda yang ada di lebih dari 60 negara. amerika memerlukan kerjasama dengan negara-negara sekutu untuk mengatasi masalah terorisme. selain itu, martabat amerika sebagai negara yang paling dihormati sekarang sedang jatuh ke titik terendah akibat kesalahan-kesalahan yang telah amerika perbuat. amerika harus mengembalikan martabat sebagai negara yang paling dihormati dunia.
setelah itu, mccain kembali menegaskan patriotismenya dengan memuji jendral petraeus yang memimpin perang di irak telah sukses menjalankan tugasnya, dan sekali lagi, menarik pasukan dari irak adalah ide yang mencederai harga diri sebagai seorang amerika. obama juga menegaskan bahwa dia bangga dengan kinerja militer di irak, tetapi keberhasilan di irak tidak berarti masalah sesungguhnya sudah benar-benar diatasi, lantaran al-qaeda malah semakin kuat. juga, isu-isu lain seperti cina yang meminjamkan milyaran dollar bagi amerika, serta kerjasama dengan negara-negara lain malah ditinggalkan karena amerika terlalu sibuk dengan irak. masalah dalam negeri juga terabaikan seperti penanganan veteran, biaya kesehatan, dan investasi di bidang teknologi serta pendidikan, lantaran amerika terlalu menganakemaskan irak. tidak ada negara yang di dunia yang ekonominya mundur dan masih bisa mempertahankan superioritas militernya. amerika harus memulihkan itu semua, kata obama.

HUTANG LUAR NEGERI DAN STRUKTUR FINANSIAL INTERANSIONAL

Dalam sebuah diskusi yang baru saja dihadiri oleh penulis beberapa waktu yang lalu, muncullah sebuah pernyataan yang memuat nilai informasi sangat tinggi, karena menyangkut respon Indonesia untuk menghadapi krisis finansial global beserta segala efek turunannya terhadap perekonomian Indonesia. Pembicara diskusi itu, seorang dosen Fakultas Ekonomi, Ph.D lulusan Amerika, yang juga menjadi salah satu staf ahli Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani, menceritakan pengalaman serta preskripisi-preskripsi yang mungkin akan diambil oleh Indonesia setelah menghadiri forum KTT G-20 di New York. Salah satu opsi yang akan diajukan oleh pemerintah adalah mengajukan proposal peminjaman hutang kepada International Monetary Fund (IMF). Saat dia melontarkan pernyataan tersebut, sontak para peserta diskusi terdiam, lantaran semua orang mafhum, resep ekonomi konservatif yang direkomendasikan oleh IMF untuk menangani krisis ekonomi 1998 terbukti tidak manjur, malah meninggalkan beban berat pembayaran hutang dalam negeri Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang sampai sekarang terus dibayarkan. Selain itu, Indonesia secara resmi telah keluar dari keanggotaan IMF pada 2006, dengan jalan melunasi semua beban hutangnya kepada lembaga moneter internasional tersebut. Hutang luar negeri dan struktur finansial internasional adalah isu yang kontroversial, tetapi sangat menantang untuk dibicarakan, karena itu kita akan menganalisis beberapa determinan kunci, kerangka berpikir konseptual, serta beberapa asumsi yang diyakini oleh para stakeholder dalam tulisan Mohtar Mas’oed ini. Secara sederhana, struktur keuangan terdiri dari sekumpulan hubungan, institusi, praktek yang mengikat kreditur dan debitur, penghutang dan pemberi hutang. Namun, perlu dipahami bahwa kerangka kerja struktur finansial ini mendapat pengaruh besar dari globalisasi, konsep yang meyakini bahwa semua hal yang ada di dunia saling terkait satu sama lain, dan melintas batas negara. Menyebabkan struktur finansial internasional menjadi semakin global, dimana peran negara-bangsa semakin berkurang dan pasar global semakin berpengaruh. Dalam gagasan awal mengenai hutang luar negeri, Mas’oed meyakini bahwa terjadi saling tumpang-tindih antara substansi dengan bayangan. Substansi yang mewakili sumberdaya riil cenderung mengalami perpindahan secara lambat dan perlahan, ketimbang bayangannya (surat utang dan sejenisnya) yang mampu berganti tempat dalam kecepatan luar biasa. Namun, Mas’oed memaklumi kelemahan sumberdaya substantif tersebut dengan mengakui bahwa terjadi relasi kompelementer diantara perpindahan sumberdaya dengan bayangannya, dimana bayangan mampu bergerak jauh lebih lincah ketimbang substansinya. Untuk mendefinisikan dua variabel ini secara presisi, Mas’oed menggunakan instrumen Neraca Pembayaran yang mempunyai beberapa komponen turunan seperti Neraca Kapital, Neraca Transaksi Berjalan, dan Neraca Perdagangan. Neraca Pembayaran adalah catatan statistik mengenai semua transaksi internasional yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun) dan dinyatakan dalam uang (biasanya dollar AS). Neraca Transaksi Berjalan merupakan indikator mengenai dampak internasional terhadap pendapatan suatu negara, sehingga kalau suatu negara mengalami surplus Neraca Transaksi Berjalan, artinya pemasukan atau pendapatan lebih besar daripada penarikan, secara netto transaksi nasional telah meningkatkan pendapatan nasional, dalam dollar AS. Neraca Kapital merupakan indikator tentang dampak transaksi internasional terhadap kekayaan suatu negara. Artinya ketika suatu bangsa mengalami Neraca Kapital surplus, berarti jumlah uang yang dimiliki oleh bangsa tersebut, namun kekayaan negaranya atau kepemilikian terhadap aset-aset negara menurun. Atau, bangsa debitur atau peminjam sebenarnya sedang mengalami berkurangnya kekayaan negara, lantaran pemilikan substansinya berpindah ke luar negeri. Neraca Perdagangan mengukur nilai pembayaran impor dan penerimaan ekspor barang dan jasa dalam bentuk uang (biasanya dalam dollar AS). Neraca perdangangan sendiri bukanlah alat yang sempurna untuk mengukur tingkat competitiveness suatu negara, lantaran tidak memperhitungkan pembayaran dan penerimaan pendapatan akibat investasi dan transfer dana sepihak. Ada asumsi-asumsi kontradiktif yang menarik untuk dipaparkan, bahwa neraca pembayaran seharusnya akan selalu berimbang, lantaran agar pasar devisa berimbang maka aliran masuk-keluar suatu mata uang harus selalu berimbang. Namun realitanya, neraca pembayaran Amerika dan Jepang selalu berkebalikan, akibat dua alasan yang berbeda. Amerika mengalami defisit neraca transaksi berjalan sehingga neraca kapitalnya selalu surplus, sebagai akibat dari privatisasi aset-aset negara yang dijual kepada pihak asing. Jepang, malah mendapati diri menikmati defisit neraca kapital, yang penyebabnya, menurut beberapa ahli ekonomi lantaran tingginya tingkat tabungan warga Jepang. Sampai di sini, meneruskan analisis dengan menggunakan bantuan tiga perspektif dalam Ekonomi Politik Internasional, yaitu liberal, merkantilis, dan strukturalis, akan menghasilkan beberapa kerancuan jika diaplikasikan ketiga perspektif tersebut dalam kasus negara tertentu. Jepang, sebagai contoh kasus yang menarik, lantaran beberapa ahli meyakini Jepang menerapkan strategi ekonomi merkantilis yang memproteksi berlebihan struktur finansial negaranya, seperti Inggris saat menguasai negara koloni dalam jumlah besar, menggunakan daya paksa sebagai penjajah untuk menginstruksikan semua negeri jajahan membeli produk-produk Inggris (besi, baja, dan lain-lain). Sehingga, Inggris menikmati keuntungan praktek monopoli dengan menetapkan harga sekehendak hati mereka, yang bertujuan melindungi industri tersebut di Inggris sendiri dari persaingan dengan produsen barang sejenis dari negara lain. Jepang, menurut Krugman, mampu mencatatkan defisit dalam neraca kapital, dan surplus neraca transaksi berjalan, lantaran tingginya tingkat tabungan dalam negeri, sehingga Jepang tidak bisa mempraktekkan kebijakan ekonomi merkantilis, lantaran “tidak dipaksakan” oleh otoriras apapun, atau tindakan tersebut hanya gejala normal perilaku masyarakat Jepang. Namun, jika melihat pesatnya ekspansi perusahaan-perusahaan multinasional Jepang dalam menguasai perdagangan barang-barang di dunia, sementara tidak terjadi aliran kapital ke Jepang untuk melakukan investasi yang berakibat defisit dalam neraca kapital, maka diperlukan campurtangan kekuatan khusus yang memungkinkan Jepang bisa menjalankan sistem ekonomi ekspansif-protektif. Mas’oed mengiliustrasikan bahwa intervensi pemerintah sangat krusial saat terjadi kebuntuan antara Meksiko dengan Amerika Serikat terkait restrukturisasi hutang Meksiko, yang sudah tidak dapat membayar lagi hutangnya karena terkena Tequila Crisis. Saat tidak ada bank yang mau menjadi korban dengan menanggung kerugian sendirian, sementara semua bank akan menikmati keuntungan karena ada satu bank penjamin, pemerintah Amerika Serikat dengan “Rencana Brady” mendobrak kebuntuan tersebut, dengan menjadi penjamin bank-bank tersebut, yaitu bank-bank swasta menukarkan hutang Meksiko dengan obligasi pemerintah AS ( yang disebut Brady Bonds) dengan nilai lebih rendah, yang didukung kewajiban membayar oleh Meksiko. Meksiko membayar kepada pemerintah AS, yang kemudian membayarkan kepada para kreditur. Hasil seperti itu hanya bisa dicapai oleh negara yang bertindak atas nama kepentingan kolektif bank-bank kreditur dan negara-negara debitur (Krugman 1990). Terlihat bahwa dalam pandangan Mas’oed, dia menolak hanya sekedar menelaah masalah EPI dari sekadar perspektif liberalis, merkantilis, dan strukturalis, terutama penggunaan penelitian masalah melalui pendekatan behavioral, yang hanya mengamati tingkah laku tanpa bisa berbuat apapun untuk memberikan kontribusi yang solutif terhadap permasalahan hutang, terutama di negara berkembang. Mas’oed menginginkan adanya peran aktif para ilmuwan-akademisi, yang memiliki kemampuan intelektual mumpuni untuk ikut serta dalam pemecahan problematika khas negara berkembang, seperti kemiskinan, pengangguran, jumlah penduduk yang berlipat, serta jeratan hutang yang tak kunjung berakhir. Sayangnya, penggunaan ilustrasi “Rencana Brady” justru semakin mengukuhkan bahwa pemain kunci yang diharapkan adalah intervensi dari pemerintah negara kuat, yang memiliki sumber daya dan keunggulan komparatif, seperti Amerika Serikat yang sekarang tengah menyedot kembali seluruh dollarnya untuk pulang kandang agar mampu mengatasi kesulitan likuiditas di AS sendiri. Saat pemerintah AS menarik kembali semua dollar yang tadinya tersebar nyaris di seluruh dunia dalam waktu bersamaan, terjadilah devaluasi nilai mata uang di seluruh dunia yang terkoreksi cukup mendalam, tidak terkecuali rupiah yang sekarang menyentuh 12.000 rupiah per dollar AS. Sehingga, penulis juga berharap ada alternatif solusi dari para ilmuwan yang kompeten untuk menawarkan gagasan penyelesaian krisis finansial di negara kita, selain dengan opsi kembali mengajukan proposal pinjaman kepada IMF seperti yang telah penulis kemukaan diawal tulisan ini. Penguatan hubungan dengan pasar di negara-negara “emerging markets” mungkin bisa ditawarkan untuk menyebut salah satu contoh opsi solusi.

PELANGGARAN DEMOKRASI OLEH (WAKIL) RAKYAT



(Karena tulisan ini paling banyak dibaca, saya memutuskan untuk melanjutkan pembahasan soal ini di postingan terbaru di sini) 

Suara-suara miring dari Senayan, terdengar semakin santer. Keresahan anggota dewan yang terhormat, terhadap kewenangan KPK yang begitu besar, menjadi penyebabnya. Sebagai lembaga super-body, yang berdiri secara independen dari pemerintahan, KPK sebenarnya berdiri di atas paradoksal wewenang antara eksekutif dan legislatif.

Secara institusi KPK, mendapatkan jatah dari APBN untuk menjalankan kegiatan operasionalnya, termasuk menggaji para pimpinan KPK dengan nominal yang cukup mencolok. Padahal,ijin penggunaan dana APBN, terutama untuk aktivitas yang extraordinary (karena mencakup seluruh lingkup penyelenggara negara, eksekutif dan legislatif) seperti KPK, jelas memerlukan persetujuan dari DPR.


KALAH MENANG TETAP LUAR BIASA

Dihadapan para pendukungnya di Phoenix, Arizona, John McCain, kandidat Presiden dari Partai Republik telah menyiapkan diri untuk menanggung malu. Hasil pemilihan Presiden telah menempatkan calon Presiden berkulit hitam dari Partai Demokrat, Barack Obama sebagai pemenang mutlak Presiden Amerika Serikat, setelah mendapat suara elektoral (electoral votes) lebih dari 300 suara, padahal untuk memastikan kemenangan hanya diperlukan 270 suara elektoral.
Penulis ketika diberitahu mengenai kemenangan Obama, membayangkan Grant Park di Chicago akan dipenuhi massa yang bersorak-sorai kegirangan. Namun, bagaimana respon kubu Republik di kandang McCain, yang juga pasti sesak dengan para simpatisan pasangan McCain-Palin? Apa yang kemudian mereka lakukan? Mengamuk, membakar koran-koran yang memuat berita kemenangan Obama, mematikan televisi yang menyiarkan gegap-gempita di Chicago, menghancurkan perlengkapan kampanye, atau turun ke jalan meneriakkan tuntutan penghitungan ulang? Tidak, mereka rupanya dengan sabar menunggu jagoan mereka, veteran Perang Vietnam, untuk menyampaikan pidato terakhir yang menyatakan mengakui keunggulan kubu Demokrat.
McCain dalam pidato yang disambut dengan banjir “huu!” oleh para pendukungnya, terutama ketika mendengar kata “Demokrat” atau “Obama”, menekankan bahwa supremasi rakyat Amerika Serikat harus mendapatkan prioritas tertinggi dari segala-galanya. Pro bono publico!, mungkin demikian pesan Mc Cain. Kala prosesi kampanye, debat, dan pemilihan Presiden, nyaris 24 jam tim kampanyenya tidak henti menghujani kubu Obama dengan berbagai tuduhan yang tidak masuk akal, seperti selebritis yang tidak siap memimpin, tidak nasionalis, dan memiliki relasi dengan tokoh radikal. Namun, segera setelah dinyatakan kalah, maka McCain menunjukkan bahwa dia adalah seorang pemimpin sejati, dengan memuji kemenangan Obama yang diraih secara demokratis, dan menitipkan pesan agar Amerika Serikat tetap bersatu siapapun Presidennya.
Mahatma Gandhi menuliskan bahwa salah satu ciri pemimpin sejati adalah paham bilamana saatnya tiba, bersedia untuk mengundurkan diri dari gelanggang (politik). McCain tampaknya menangkap isyarat Gandhi, dengan bersedia menanggung malu yang tidak terhingga ketika dinyatakan kalah. Dia mafhum, kesediaan mengakui kekalahan adalah salah satu ciri pemimpin sejati.
Di Indonesia, memang belum ada peraturan resmi yang mewajibkan kandidat pemimpin (Presiden, gubernur, bupati, walikota, dan seterusnya) menyampaikan pidato mengakui kekalahannya. Kalaupun ada peraturan semacam itu, bisa dipastikan pendukung kubu yang menang akan mengejek kelompok yang kalah, sehingga kemudian konflik fisik tidak dapat dielakkan.
Namun, demi mendahulukan kepentingan bangsa dan negara, pidato pengakuan kalah, adalah tanda bahwa suatu bangsa telah sampai kepada tahapan menjalankan demokrasi substansial, bukan lagi prosedural semata. Untuk tetap menjaga wibawa, penulis mengusulkan, kala menyampaikan pengakuan kemenangan pihak lawan, perlu diundang tokoh agama berpengaruh, yang mendapatkan porsi di akhir acara agar bisa mendoakan hal-hal yang baik bagi kedua kandidat, yang kalah ataupun yang menang, dan diakhiri dengan permohonan agar bangsa kita tetap selalu dirahmati oleh Tuhan YME. Jika hal ini, terwujud dalam realita, penulis akan berujar, bukan “kalah-menang itu biasa”, tetapi “kalah-menang tetap luar biasa!”.

MENANTI KEMBALINYA KUASA RAKYAT

Pemilu yang akan diselenggarakan tahun 2009 sudah di ambang pintu. Peristiwa yang disebut-sebut sebagai “pesta demokrasi rakyat” bertujuan untuk memilih para pemimpin yang memegang kekuasaan eksekutif (Presiden dan Wakilnya), serta representasi rakyat di legislatif (anggota DPR). Meskipun masa kampanye telah dimulai sejak bulan Juli 2008 dan akan berlangsung sembilan bulan lamanya, respon dari masyarakat bisa dikatakan minus, bahkan bisa disimpulkan apatis.
Bukti pertama, saat disahkannya dua Rancangan Undang-Undang yang kontroversial, yaitu RUU Pemilihan Presiden dan RUU Pornografi. Tanggapan rakyat, terutama di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas beragama non-muslim sangat keras. Mereka menolak penerapan Undang-Undang tersebut, seperti NTT yang akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, serta Bali yang emoh mengimplementasikannya dengan alasan Undang-Undang itu tidak cocok jika dijalankan di Bali. Tanggapan mengenai Undang-Undang Pilpres yang menjadi bagian integral dari Pemilihan Umum justru mengenaskan, karena tidak daerah yang menyatakan menolak memberlakukan Undang-undang ini. Bukti kedua, Pilkada Jawa Timur, lumbung suara nomor satu di Republik ini, mencatatkan partisipasi rakyat hanya 50% lebih, tidak sampai 60%. Gejala similar juga terjadi di beberapa daerah lain yang baru pertama kali menyelenggarakan Pilkada. Sementara dalam bentuk ekstrim, sengketa Pilkada mengakibatkan kedua pasang calon bertikai selama berbulan-bulan lantaran tidak mau mengakui kemenangan pihak lainnya, seperti di Maluku Utara.
Pengabaian rakyat terhadap kondisi demokrasi di Indonesia yang dihegemon oleh oligarki parpol, merupakan bunyi lonceng kematian kuasa rakyat di era Reformasi. Pemberitaan yang eksplosif di berbagai media massa terkait masalah RUU Pilpres, ternyata tidak mampu meningkatkan resistansi, jika diukur dengan indikator tidak ada satupun aksi unjuk rasa menolak RUU ini. Padahal, dengan disahkannya UU Pilpres, maka calon yang bisa dipilih rakyat maksimal hanya empat pasang, yaitu mereka stok lama yang sudah pernah merasakan manisnya berkuasa.
Rakyat yang tidak memilih dalam istilah analis politik adalah massa mengambang (floating mass), maka penulis menyebutnya silent mass (massa yang diam), karena mereka tidak bersuara, dan tidak akan mau memberikan suaranya lagi bagi mereka yang telah terbukti gagal memenuhi ekspektasi untuk menyejahterakan rakyat. Dengan legitimasi yang demikian rendah, para politisi merasa khawatir pemerintahan yang tidak memiliki dukungan kuat dari rakyat, tidak sanggup menjadi institusi berkuasa yang menjalankan kebijakanya secara konsisten. Maka bersiaplah kita untuk menghadapi keadaan pemerintah lemah, atau tanpa pemerintah.
Keadaan anarkis tidak selalu mendatangkan kekacauan ataupun huru-hara besar, lantaran Amerika Serikat pada masa Nixon yang tersandung Watergate, tidak mengalami kemungkinan bubarnya negara adikuasa tersebut, ataupun kala PM Jepang Yasuo Fukuda mengundurkan diri, dan digantikan oleh Taro Aso yang diprediksi legitimasinya lemah, pada masa transisi tanpa pemerintahan sampai sekarang, juga tidak muncul ancaman bubarnya negara Jepang. Indonesia mungkin tidak seekstrem itu, tetapi jika kekuasaan selalu diselewengkan oleh pemerintah dan legislatif, maka hukuman dengan rendahnya para pemilih saat pemilu adalah sanksi dari pemilik kedaulatan yang sebenarnya. Sehingga, mereka yang selama ini diamanahi oleh rakyat, terpaksa menunduk untuk memohon agar diberi kesempatan lagi untuk berjanji sepenuh hati untuk menjalankan keinginan pemilih, yaitu menyejahterakan rakyat. Karena itu, bersiaplah untuk menyambut Pemilu 2009, dengan tempat-tempat pemungutan suara yang sepi dari pemilih, sementara rakyat yang diam, menunggu waktu yang tepat untuk bersuara lantang.

PAHLAWAN DALAM TIADA

Setelah mencakarbongkar tumpukan karton di kamar, akhirnya saya temukan juga frase bijak yang hendak dikutip dalam tulisan ini. Frase ini ditulis oleh Ignas Kleden dalam kolom menanggapi rencana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, pasca meninggalnya Jendral Besar tersebut beberapa waktu silam.

Banyak orang bercakap mengenai hari ini, tepatnya tanggal dalam kalender yang akan berulang tiap tahun, yaitu tanggal 10 November. Semua orang mafhum, bahwa pada tanggal 10 nopember, arek-arek Suroboyo dibawah pekik orasi merdeka, telah menandatangani kontrak setia mereka dengan Republik Indonesia yang baru berumur kurang dari empat bulan. Disepakatinya kontrak ini, sekaligus menegaskan bahwa Bung Tomo, dan mereka yang menjawab panggilannya di radio gerilya sudah bersiap memisahkan jasad dengan arwah mereka. Kepahlawanan adalah pengorbanan, dan terkadang pengorbanan itu sunyi, dan tidak bernama. Karena itu, saya ingin mengutip Ignas Kleden, “bahwa Pahlawan bukanlah mereka memiliki jasa berlimpah, tetapi insan berani yang berkorban khusus”. Bung Tomo berani berkorban, rela kehilangan, dan tidak hendak menyesali pengorbanannya. Lebih mulia lagi, Bung Tomo mengajak masyarakat Suroboyo untuk mengikutinya, bukan dengan diimbuhi harapan mendapatkan rumah dinas, tunjangan bulanan, mobil kantor dan kesempatan dicatat dalam buku sejarah, tetapi kerelaan untuk digerus oleh masa. Kita tahu bung Tomo akhirnya tumpas beserta 12 ribu rakyat yang tidak muat disebut namanya dalam buku sejarah anak sekolah maupun mahasiswa. Jika kita meneropong dengan kacamata "anak muda", maka mereka akan menjawab dengan enteng panggilan Bung Tomo, yaitu "kita, loe aja kali, gua kagak!"
Masalah kedua mengenai hari pahlawan, adalah lekatnya stereotipe militer, pemimpin perang, sebagai para jagoan yang layak dikenang. Membaca suara-suara rakyat Indonesia yang lahir pasca masa kemelaratan tahun 70-an, maka pahlawan yang muncul selalu komandan perang, seperti Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Ngurah Rai, Cut Nyak Dien, Hasanuddin, Jenderal Sudirman dan lain-lain. Lantas, dimana tempat bagi mereka yang tidak menumpahkan darah, namun telah memasrahkan diri untuk diremukkan oleh kelompok atau golongannya sendiri. Sutan Sjahrir yang menjadi musuh Orde Lama, padahal telah menyediakan diri menjadi juru runding Indonesia menghadapi Belanda pada masa awal kemerdekaan, akhirnya dikenai mosi tidak percaya, jabatannya sebagai Perdana Menteri dicopot, Partai Sosialis Indonesia dihapuskan karena tidak termaktub dalam Manifesto Nasakom, meninggal dalam kesepian, jauh dari pikuk kehormatan megah di Kalibata. Bagaimana pula Muhammad Natsir, tokoh muslim terkemuka yang mendirikan partai Masyumi, memaksakan diri untuk berusaha berunding dengan Partai Komunis Indonesia untuk menyusun dasar negara baru yang mampu mengakomodir semua golongan, akhirnya juga berakhir dalam sepi, Partainya dibubarkan, gara-gara Petisi 50 ia tidak boleh bepergian ke luar negeri dan kehidupannya tetap dikekang sampai ajal menjemput. Dua tokoh ini mungkin tidak memuncratkan darah merah ke tanah, tetapi mereka sudah sepakat untuk menjadikan dirinya lepas dari kepentingan pribadi dan golongannya saja. Membiarkan diri dihina, dicerca, dikucilkan, dan akhirnya sendirian dalam sunyi. Toh, dalam sunyi, para pahlawan bertakwil khusyuk, "kami tidak mencari pengharapan, imbalan, apalagi pengakuan. Bahkan kala semua meniadakan, sunyi akan mengabadikan kami dalam semayam hati mereka yang sudah selesai dengan dirinya sendiri".

HUTANG LUAR NEGERI DAN STRUKTUR FINANSIAL INTERANSIONAL

Dalam sebuah diskusi yang baru saja dihadiri oleh penulis beberapa waktu yang lalu, muncullah sebuah pernyataan yang memuat nilai informasi sangat tinggi, karena menyangkut respon Indonesia untuk menghadapi krisis finansial global beserta segala efek turunannya terhadap perekonomian Indonesia. Pembicara diskusi itu, seorang dosen Fakultas Ekonomi, Ph.D lulusan Amerika, yang juga menjadi salah satu staf ahli Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani, menceritakan pengalaman serta preskripisi-preskripsi yang mungkin akan diambil oleh Indonesia setelah menghadiri forum KTT G-20 di New York. Salah satu opsi yang akan diajukan oleh pemerintah adalah mengajukan proposal peminjaman hutang kepada International Monetary Fund (IMF). Saat dia melontarkan pernyataan tersebut, sontak para peserta diskusi terdiam, lantaran semua orang mafhum, resep ekonomi konservatif yang direkomendasikan oleh IMF untuk menangani krisis ekonomi 1998 terbukti tidak manjur, malah meninggalkan beban berat pembayaran hutang dalam negeri Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang sampai sekarang terus dibayarkan. Selain itu, Indonesia secara resmi telah keluar dari keanggotaan IMF pada 2006, dengan jalan melunasi semua beban hutangnya kepada lembaga moneter internasional tersebut. Hutang luar negeri dan struktur finansial internasional adalah isu yang kontroversial, tetapi sangat menantang untuk dibicarakan, karena itu kita akan menganalisis beberapa determinan kunci, kerangka berpikir konseptual, serta beberapa asumsi yang diyakini oleh para stakeholder dalam tulisan Mohtar Mas’oed ini. Secara sederhana, struktur keuangan terdiri dari sekumpulan hubungan, institusi, praktek yang mengikat kreditur dan debitur, penghutang dan pemberi hutang. Namun, perlu dipahami bahwa kerangka kerja struktur finansial ini mendapat pengaruh besar dari globalisasi, konsep yang meyakini bahwa semua hal yang ada di dunia saling terkait satu sama lain, dan melintas batas negara. Menyebabkan struktur finansial internasional menjadi semakin global, dimana peran negara-bangsa semakin berkurang dan pasar global semakin berpengaruh. Dalam gagasan awal mengenai hutang luar negeri, Mas’oed meyakini bahwa terjadi saling tumpang-tindih antara substansi dengan bayangan. Substansi yang mewakili sumberdaya riil cenderung mengalami perpindahan secara lambat dan perlahan, ketimbang bayangannya (surat utang dan sejenisnya) yang mampu berganti tempat dalam kecepatan luar biasa. Namun, Mas’oed memaklumi kelemahan sumberdaya substantif tersebut dengan mengakui bahwa terjadi relasi kompelementer diantara perpindahan sumberdaya dengan bayangannya, dimana bayangan mampu bergerak jauh lebih lincah ketimbang substansinya. Untuk mendefinisikan dua variabel ini secara presisi, Mas’oed menggunakan instrumen Neraca Pembayaran yang mempunyai beberapa komponen turunan seperti Neraca Kapital, Neraca Transaksi Berjalan, dan Neraca Perdagangan. Neraca Pembayaran adalah catatan statistik mengenai semua transaksi internasional yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun) dan dinyatakan dalam uang (biasanya dollar AS). Neraca Transaksi Berjalan merupakan indikator mengenai dampak internasional terhadap pendapatan suatu negara, sehingga kalau suatu negara mengalami surplus Neraca Transaksi Berjalan, artinya pemasukan atau pendapatan lebih besar daripada penarikan, secara netto transaksi nasional telah meningkatkan pendapatan nasional, dalam dollar AS. Neraca Kapital merupakan indikator tentang dampak transaksi internasional terhadap kekayaan suatu negara. Artinya ketika suatu bangsa mengalami Neraca Kapital surplus, berarti jumlah uang yang dimiliki oleh bangsa tersebut, namun kekayaan negaranya atau kepemilikian terhadap aset-aset negara menurun. Atau, bangsa debitur atau peminjam sebenarnya sedang mengalami berkurangnya kekayaan negara, lantaran pemilikan substansinya berpindah ke luar negeri. Neraca Perdagangan mengukur nilai pembayaran impor dan penerimaan ekspor barang dan jasa dalam bentuk uang (biasanya dalam dollar AS). Neraca perdangangan sendiri bukanlah alat yang sempurna untuk mengukur tingkat competitiveness suatu negara, lantaran tidak memperhitungkan pembayaran dan penerimaan pendapatan akibat investasi dan transfer dana sepihak. Ada asumsi-asumsi kontradiktif yang menarik untuk dipaparkan, bahwa neraca pembayaran seharusnya akan selalu berimbang, lantaran agar pasar devisa berimbang maka aliran masuk-keluar suatu mata uang harus selalu berimbang. Namun realitanya, neraca pembayaran Amerika dan Jepang selalu berkebalikan, akibat dua alasan yang berbeda. Amerika mengalami defisit neraca transaksi berjalan sehingga neraca kapitalnya selalu surplus, sebagai akibat dari privatisasi aset-aset negara yang dijual kepada pihak asing. Jepang, malah mendapati diri menikmati defisit neraca kapital, yang penyebabnya, menurut beberapa ahli ekonomi lantaran tingginya tingkat tabungan warga Jepang. Sampai di sini, meneruskan analisis dengan menggunakan bantuan tiga perspektif dalam Ekonomi Politik Internasional, yaitu liberal, merkantilis, dan strukturalis, akan menghasilkan beberapa kerancuan jika diaplikasikan ketiga perspektif tersebut dalam kasus negara tertentu. Jepang, sebagai contoh kasus yang menarik, lantaran beberapa ahli meyakini Jepang menerapkan strategi ekonomi merkantilis yang memproteksi berlebihan struktur finansial negaranya, seperti Inggris saat menguasai negara koloni dalam jumlah besar, menggunakan daya paksa sebagai penjajah untuk menginstruksikan semua negeri jajahan membeli produk-produk Inggris (besi, baja, dan lain-lain). Sehingga, Inggris menikmati keuntungan praktek monopoli dengan menetapkan harga sekehendak hati mereka, yang bertujuan melindungi industri tersebut di Inggris sendiri dari persaingan dengan produsen barang sejenis dari negara lain. Jepang, menurut Krugman, mampu mencatatkan defisit dalam neraca kapital, dan surplus neraca transaksi berjalan, lantaran tingginya tingkat tabungan dalam negeri, sehingga Jepang tidak bisa mempraktekkan kebijakan ekonomi merkantilis, lantaran “tidak dipaksakan” oleh otoriras apapun, atau tindakan tersebut hanya gejala normal perilaku masyarakat Jepang. Namun, jika melihat pesatnya ekspansi perusahaan-perusahaan multinasional Jepang dalam menguasai perdagangan barang-barang di dunia, sementara tidak terjadi aliran kapital ke Jepang untuk melakukan investasi yang berakibat defisit dalam neraca kapital, maka diperlukan campurtangan kekuatan khusus yang memungkinkan Jepang bisa menjalankan sistem ekonomi ekspansif-protektif. Mas’oed mengiliustrasikan bahwa intervensi pemerintah sangat krusial saat terjadi kebuntuan antara Meksiko dengan Amerika Serikat terkait restrukturisasi hutang Meksiko, yang sudah tidak dapat membayar lagi hutangnya karena terkena Tequila Crisis. Saat tidak ada bank yang mau menjadi korban dengan menanggung kerugian sendirian, sementara semua bank akan menikmati keuntungan karena ada satu bank penjamin, pemerintah Amerika Serikat dengan “Rencana Brady” mendobrak kebuntuan tersebut, dengan menjadi penjamin bank-bank tersebut, yaitu bank-bank swasta menukarkan hutang Meksiko dengan obligasi pemerintah AS ( yang disebut Brady Bonds) dengan nilai lebih rendah, yang didukung kewajiban membayar oleh Meksiko. Meksiko membayar kepada pemerintah AS, yang kemudian membayarkan kepada para kreditur. Hasil seperti itu hanya bisa dicapai oleh negara yang bertindak atas nama kepentingan kolektif bank-bank kreditur dan negara-negara debitur (Krugman 1990). Terlihat bahwa dalam pandangan Mas’oed, dia menolak hanya sekedar menelaah masalah EPI dari sekadar perspektif liberalis, merkantilis, dan strukturalis, terutama penggunaan penelitian masalah melalui pendekatan behavioral, yang hanya mengamati tingkah laku tanpa bisa berbuat apapun untuk memberikan kontribusi yang solutif terhadap permasalahan hutang, terutama di negara berkembang. Mas’oed menginginkan adanya peran aktif para ilmuwan-akademisi, yang memiliki kemampuan intelektual mumpuni untuk ikut serta dalam pemecahan problematika khas negara berkembang, seperti kemiskinan, pengangguran, jumlah penduduk yang berlipat, serta jeratan hutang yang tak kunjung berakhir. Sayangnya, penggunaan ilustrasi “Rencana Brady” justru semakin mengukuhkan bahwa pemain kunci yang diharapkan adalah intervensi dari pemerintah negara kuat, yang memiliki sumber daya dan keunggulan komparatif, seperti Amerika Serikat yang sekarang tengah menyedot kembali seluruh dollarnya untuk pulang kandang agar mampu mengatasi kesulitan likuiditas di AS sendiri. Saat pemerintah AS menarik kembali semua dollar yang tadinya tersebar nyaris di seluruh dunia dalam waktu bersamaan, terjadilah devaluasi nilai mata uang di seluruh dunia yang terkoreksi cukup mendalam, tidak terkecuali rupiah yang sekarang menyentuh 12.000 rupiah per dollar AS. Sehingga, penulis juga berharap ada alternatif solusi dari para ilmuwan yang kompeten untuk menawarkan gagasan penyelesaian krisis finansial di negara kita, selain dengan opsi kembali mengajukan proposal pinjaman kepada IMF seperti yang telah penulis kemukaan diawal tulisan ini. Penguatan hubungan dengan pasar di negara-negara “emerging markets” mungkin bisa ditawarkan untuk menyebut salah satu contoh opsi solusi.

Bagikan