Kamis, 04 Desember 2008

MENANTI KEMBALINYA KUASA RAKYAT

Pemilu yang akan diselenggarakan tahun 2009 sudah di ambang pintu. Peristiwa yang disebut-sebut sebagai “pesta demokrasi rakyat” bertujuan untuk memilih para pemimpin yang memegang kekuasaan eksekutif (Presiden dan Wakilnya), serta representasi rakyat di legislatif (anggota DPR). Meskipun masa kampanye telah dimulai sejak bulan Juli 2008 dan akan berlangsung sembilan bulan lamanya, respon dari masyarakat bisa dikatakan minus, bahkan bisa disimpulkan apatis.
Bukti pertama, saat disahkannya dua Rancangan Undang-Undang yang kontroversial, yaitu RUU Pemilihan Presiden dan RUU Pornografi. Tanggapan rakyat, terutama di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas beragama non-muslim sangat keras. Mereka menolak penerapan Undang-Undang tersebut, seperti NTT yang akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, serta Bali yang emoh mengimplementasikannya dengan alasan Undang-Undang itu tidak cocok jika dijalankan di Bali. Tanggapan mengenai Undang-Undang Pilpres yang menjadi bagian integral dari Pemilihan Umum justru mengenaskan, karena tidak daerah yang menyatakan menolak memberlakukan Undang-undang ini. Bukti kedua, Pilkada Jawa Timur, lumbung suara nomor satu di Republik ini, mencatatkan partisipasi rakyat hanya 50% lebih, tidak sampai 60%. Gejala similar juga terjadi di beberapa daerah lain yang baru pertama kali menyelenggarakan Pilkada. Sementara dalam bentuk ekstrim, sengketa Pilkada mengakibatkan kedua pasang calon bertikai selama berbulan-bulan lantaran tidak mau mengakui kemenangan pihak lainnya, seperti di Maluku Utara.
Pengabaian rakyat terhadap kondisi demokrasi di Indonesia yang dihegemon oleh oligarki parpol, merupakan bunyi lonceng kematian kuasa rakyat di era Reformasi. Pemberitaan yang eksplosif di berbagai media massa terkait masalah RUU Pilpres, ternyata tidak mampu meningkatkan resistansi, jika diukur dengan indikator tidak ada satupun aksi unjuk rasa menolak RUU ini. Padahal, dengan disahkannya UU Pilpres, maka calon yang bisa dipilih rakyat maksimal hanya empat pasang, yaitu mereka stok lama yang sudah pernah merasakan manisnya berkuasa.
Rakyat yang tidak memilih dalam istilah analis politik adalah massa mengambang (floating mass), maka penulis menyebutnya silent mass (massa yang diam), karena mereka tidak bersuara, dan tidak akan mau memberikan suaranya lagi bagi mereka yang telah terbukti gagal memenuhi ekspektasi untuk menyejahterakan rakyat. Dengan legitimasi yang demikian rendah, para politisi merasa khawatir pemerintahan yang tidak memiliki dukungan kuat dari rakyat, tidak sanggup menjadi institusi berkuasa yang menjalankan kebijakanya secara konsisten. Maka bersiaplah kita untuk menghadapi keadaan pemerintah lemah, atau tanpa pemerintah.
Keadaan anarkis tidak selalu mendatangkan kekacauan ataupun huru-hara besar, lantaran Amerika Serikat pada masa Nixon yang tersandung Watergate, tidak mengalami kemungkinan bubarnya negara adikuasa tersebut, ataupun kala PM Jepang Yasuo Fukuda mengundurkan diri, dan digantikan oleh Taro Aso yang diprediksi legitimasinya lemah, pada masa transisi tanpa pemerintahan sampai sekarang, juga tidak muncul ancaman bubarnya negara Jepang. Indonesia mungkin tidak seekstrem itu, tetapi jika kekuasaan selalu diselewengkan oleh pemerintah dan legislatif, maka hukuman dengan rendahnya para pemilih saat pemilu adalah sanksi dari pemilik kedaulatan yang sebenarnya. Sehingga, mereka yang selama ini diamanahi oleh rakyat, terpaksa menunduk untuk memohon agar diberi kesempatan lagi untuk berjanji sepenuh hati untuk menjalankan keinginan pemilih, yaitu menyejahterakan rakyat. Karena itu, bersiaplah untuk menyambut Pemilu 2009, dengan tempat-tempat pemungutan suara yang sepi dari pemilih, sementara rakyat yang diam, menunggu waktu yang tepat untuk bersuara lantang.

Tidak ada komentar:

Bagikan