Sabtu, 14 Februari 2009

KEBOBROKAN AFIRMATIF



Beberapa masa yang telah silam, penulis berkesempatan untuk mengunjungi beberapa kota di Indonesia. Dalam kunjungan selama seminggu tersebut, muncullah beberapa gejala latah berdemokrasi yang tampaknya sudah dimafhumi oleh khalayak mengenai iklan politik. Iklan politik, dalam beberapa macam bentuknya, pertama, adalah tayangan iklan politik di media massa yang berisi; perkenalan diri, visi-misi yang diusung, keberhasilan yang telah dicapai, dan program yang ditawarkan.

Selain bentuk model dalam media wacana, iklan politik juga mengambil wujud lain, yakni; penampakan alat peraga visual yang berisikan gagasan-gagasan politik dan pengenalan diri kandidat politik kepada masyarakat. Bentuk kedua adalah yang paling sering dijumpai oleh rakyat Indonesia beberapa bulan terakhir. Wajah-wajah manusia dengan beragam ekspresi, menyebar di penjuru wilayah-wilayah publik, mulai dari tiang listrik, rumah makan, terminal bis, kendaraan-kendaraan umum dan seterusnya. Singkat cerita, seluruh ruang publik yang tadinya senyap, tiba-tiba semarak dengan beragam atribut tersebut.

Dari dua model iklan politik ini, kemudian muncullah beberapa kekhawatiran yang menyeruak dari publik mengenai bentuk kampanye politik dengan model iklan. Alat peraga visual yang bertebaran serampangan di jalan-jalan dikeluhkan akibat berbagai sebab, lantaran hanya berisi wajah kandidat, lalu disertai nama yang diembel-embeli gelar religius atau intelektual sedapatnya, lalu slogan-slogan retoris yang tidak dalam maknanya. Selain itu, penempatan alat peraga visual juga sangat riskan membahayakan keselamatan masyarakat, karena tidak memiliki standar ukuran baku, ataupun spesifikasi standar yang memadai agar tidak mencederai sekaligus mempunyai potensi mencelakai orang yang berada di sekitarnya.

Dari segi pemaknaan, bentuk alat peraga visual juga dinilai tidak efektif lantaran hanya bersifat satu arah, dogmatis, dan akhirnya, dangkal. Jika dibandingkan dengan model iklan politik di media massa, efektivitas keberhasilan iklan, yakni tersampaikannya pesan dari pembuat iklan kepada penerima, jauh lebih baik lewat media massa, lantaran pesan lebih dinamis, komunikatif, dan mampu memuat lebih banyak substansi ketimbang bentuk alat peraga yang terperangkap pada simbol-simbol penanda visual.

Lebih jauh, pemaparan gagasan politik dalam ruang media, tampaknya dianggap lebih lumrah dan rasional oleh publik. Tentu saja, hal ini didukung fakta bahwasanya tugas utama media massa, adalah menyampaikan informasi kepada publik, terlepas informasinya bermutu atau tidak. Sedangkan ruang-ruang nyata publik, yakni jalan raya, gardu listrik, rumah makan, kendaraan umum, cenderung dilihat sebagai tempat-tempat yang tidak cukup pantas untuk dijejali dengan gagasan-gagasan politik yang sempit dan terbatas.


Kebobrokan serta kecarut-marutan penataan kota-kota di Indonesia yang seolah-olah tidak pernah mengenal estetika, terlihat sudah cukup diterima oleh masyarakat dengan berbesar hati. Kemacetan tiap hari, orang-orang yang berjubel di kendaraan umum, fasilitas publik yang menyedihkan keadaanya karena tidak dirawat, bangunan-bangunan yang ditata sembarangan, jalan-jalan rusak dan berlubang, proyek-proyek pembongkaran jalan dengan beragam alasan yang tidak jelas kapan dirampungkan, telah membuat tensi publik begitu tinggi akibat kesemrawutan. Sekarang, dengan alasan sosialisasi politik, pemandangan kota-kota yang bobrok akan semakin diramaikan oleh tetangga baru, yakni alat peraga kampanye politik.

Sebagai tetangga baru yang baik, maka ia juga harus ikut serta menjunjung tinggi kaedah dasar dalam menempatkan diri, yakni dipasang sembarangan, tanpa bentuk baku, standar keselamatan, apalagi jaminan gantirugi bagi mereka yang celaka akibat penempatan alat peraga yang serampangan tersebut. Demokrasi sejatinya mensyaratkan partisipasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, sehingga adanya pelibatan langsung rakyat, terutama terkait spesifikasi alat peraga visual yang aman dan mampu menyampaikan pesan politik secara optimal, perlu segera diinisiasi, agar mutu demokrasi kita semakin maju dan mampu menyumbangkan kemajuan bagi peradaban Indonesia.

Tidak ada komentar:

Bagikan