Sabtu, 14 Februari 2009

MENGUJI BATAS NURANI

Perang itu telah dimulai. Ratusan wajah dengan beragam ekspresi berusaha meyakinkan publik bahwa mereka layak dipercaya. Ada yang berusaha sekuat tenaga, namun ada jua yang sekadar pasang nama. Pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia akan diselenggarakan beberapa saat lagi. Riuh-rendah baliho, poster, dan spanduk membentang serampangan di sudut-sudut jalan. Mungkin wajah-wajah yang terpajang di pinggir jalan lupa, rakyat Indonesia tidaklah tidur dan melupakan segala masalah yang sedang mereka hadapi. Kelangkaan minyak tanah, BBM, harga-harga komoditas yang melonjak, adalah beberapa deret permasalahan elementer yang terus saja menyertai keseharian rakyat Indonesia. Masalah tersebut masih membayang tatkala hajatan istimewa lima tahunan, Pemilihan Umum semakin dekat. Partai politik tampil istimewa lantaran tiba-tiba merias jalan-jalan dengan publikasi yang belepotan, sedangkan pemerintah seolah tidak mau ketinggalan. Instruksi untuk memperketat persyaratan unjuk rasa semakin memanaskan Indonesia yang masih berbenah.
Unjuk rasa, yang dahulu adalah peristiwa sakral lantaran hanya berani dilakukan oleh sekelompok elite dalam masyarakat (baca: mahasiswa), saat ini mulai luntur daya magisnya. Orasi-orasi membakar semangat, mengkritisi pemerintah, adalah penyegar bagi kehidupan politik yang dahulu serba sempit lantaran dihegemoni oleh sekelompok orang. Namun, saat ini, mereka yang merasa tidak puas terhadap segala sesuatu bisa menyatakan perasaannya secara langsung, tanpa harus melalui perantaraan mahasiswa. Di tengah iklim kehidupan politik Indonesia yang menjunjung tinggi semangat demokrasi, aturan pemerintah untuk memperketat pelaksanaan unjuk rasa adalah sebuah anomali, laksana tetes air yang runtuh kala langit benderang. Keberhasilan pemerintah mengakomodasi beberapa tuntutan demonstran seperti menurunkan harga BBM, meneruskan perjuangan memberantas korupsi, dan menjamin ketersediaan bahan pangan seolah lenyap tatkala pemerintah menetapkan aturan tersebut.
Keputusan pengetatan persyaratan unjuk rasa menampakkan bahwa pemerintah berkuasa (incumbent) merasa masih belum memiliki cukup legitimasi serta persentase elektabilitas yang memadai dalam pemilihan umum mendatang. Kebijakan ini dapat segera dibaca sebagai upaya pemerintah untuk mengamankan suara sekaligus kepercayaan pemilih, lantaran keberhasilan utama yang selama ini paling menonjol, yakni menjaga keamanan dan ketertiban dapat terus disodorkan kepada rakyat. Ironis, sekali lagi pemerintah berkuasa terlanjur terpikat dengan strategi politik pencitraan yang berlebihan. Meski rongga wajahnya berlubang-lubang, namun masih saja berkeras untuk menutupi kekurangan tersebut dengan perias wajah. Masalahnya, sampai kapan strategi mempermak wajah ini akan terus berhasil? Penulis yakin, rakyat Indonesia mengetahui sendiri jawabannya. Saat unjuk rasa menghebat pada bulan Mei dan Juni akibat kebijakan menaikkan harga BBM, rakyat yang dirugikan dengan besar hati menerima kebijakan tersebut dengan “terpaksa”. Kini, saat harusnya pemerintah menjadi pelopor utama integrasi seluruh masyarakat agar bersama-sama menyongsong pemilihan umum dengan cara damai, yang terjadi justru berusaha mengail di air keruh. Kekhawatiran berlebihan pemerintah terkait demonstrasi sungguh tidak beralasan, lantaran demokrasi substansial mensyaratkan agar kedaulatan berada di tangan rakyat. Kontrol berlebihan terhadap aktivitas masyarakat, termasuk mengatur persyaratan demonstrasi, menandakan bahwa demokrasi di Indonesia masih berada dalam koridor prosedural, atau singkatnya, masih jalan di tempat.

Tidak ada komentar:

Bagikan