Sabtu, 14 Februari 2009

UJIAN SEBAGAI AWAL

“Tingkatan tertinggi dari pengetahuan adalah sintesis, atau penemuan baru”. Pernyataan ini saya dengarkan dari seorang pendidik dikenal disiplin oleh anak didiknya. Terlepas dari ketidaksukaan anak didiknya terhadap metode si guru yang serba ketat dalam membukakan jalan menuju padang pengetahuan yang tidak berhingga luasnya, tujuan utama si guru sebenarnya sangat sederhana, yakni membekali anak didiknya agar memiliki kerangka pijak yang kukuh sebelum mulai menjelajah rimba dimensi intelektual tak berhingga. Sebelum diijinkan untuk masuk hutan terlarang tersebut, maka diperlukan mekanisme untuk menguji kesiapan sang anak didik. Maka dirancanglah metode pengujian yang dianggap paling representatif untuk mengukur kemampuan anak didik.
Namun, pemaknaan yang keliru mulai menghinggapi setelah tiba di tahap pengujian, lantaran ujian malah dianggap sebagai “akhir dari perjalanan”, atau penghabisan dari rutinitas kegiatan perkuliahan. Paradigma ujian sebagai ajang penghabisan akhirnya malah menuntun para anak didik untuk tiba-tiba berlomba menjadi robot yang paling sempurna komponennya, yakni yang paling utuh hafalannya, paling lengkap catatannya, dan akhirnya menjadi makhluk yang paling patuh terhadap kehendak pengajar. Mekanisme ini dilanggengkan melalui beberapa model, yang paling jamak adalah model ujian tertulis. Di sebuah ruangan kelas yang hening, dengan beberapa pengawas, dan selembar kertas folio bergaris, anak didik berlomba-lomba menjadi yang terbaik dalam jangka waktu 120 menit.
Model tersebut sebenarnya tidaklah buruk, namun menjadi anomali ketika dikonfrontir dengan paradigma ujian sebagai “awal dari perjalanan baru”. Ujian tulis yang mendasarkan kekuasaannya kepada beberapa butir soal, yang kemudian jawaban dari peserta didik ditelaah oleh para pendidik, bukannya mengantarkan peserta didik menyongsong fajar gemilang, malahan menuntun ke arah kegelapan baru, lantaran, bisa dipastikan peserta didik tidak dapat mengingat secara rinci jawaban apa yang diberikan kala ujian tulis berlangsung.
Kemudian, setelah beberapa masa berselang, hasil pemikiran yang sejatinya menjadi pembuka gerbang baru, dikonversi menjadi deretan huruf nominal yang kaku di layar komputer. Apalah artinya mendapatkan nilai “A” jika tidak dapat menganalisis genealogi agresi Israel, tidak mampu mencari tahu mengapa partai politik mampu membentuk oligarki, atau tidak jua memahami mengapa Carrefour dapat terus melakukan ekspansi bisnis global. Karena itu, metode pengujian yang mengalienasi gagasan anak didik dengan cara ujian tulis (mahasiswa tidak dapat membaca kembali jawaban ujiannya), perlu direnungkan kembali, lantaran sintesis pengetahuan baru adalah sebuah tujuan yang maknanya universal dan bermaksud untuk menjaga agar khazanah intelektual tidak berhenti di ruang hampa kepongahan.
Sebagaimana telah disampaikan di awal tulisan ini, bahwa ujian adalah penghantar menuju alam intelektual yang tidak berhingga, sehingga penulis berpendapat, sebaiknya ujian adalah ajang penemuan ataupun pemaparan gagasan-gagasan baru yang kemudian tidak hanya menjadi sekedar ajang hegemoni wacana oleh pengajar, melainkan juga menjadi arena penemuan bersama antara pendidik dan peserta didik untuk melahirkan pemahaman baru mengenai subjek yang selama ini dipelajari di ruang kelas perkuliahan. Hingga di akhir kelas perkuliahan, dikotomi relasi antara pengajar dan anak didiknya, harusnya lenyap, lantaran kedua pihak telah memiliki gagasan yang setara tentang pemahaman masalah, dan yang menjadi subordinan justru permasalahan aktual yang sedang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Tidak ada komentar:

Bagikan