Sabtu, 14 Februari 2009

KALA MAHASISWA MEMBERANGUS DEMOKRASI

Mungkin saya memang masih kanak-kanak saat tahun 1998, tetapi melalui layar kaca, seorang anak kecil yang tinggal di ujung timur Indonesia, mampu merasakan gelegak kemarahan anak-anak muda harapan bangsa yang memiliki nama spesial "mahasiswa".
Mei 1998, puncak dari konstelasi politik Indonesia, yang ditandai melalui kalimat ampuh "Turunkan Soeharto!". Anak-anak muda yang berlabel "mahasiswa" berulangkali disebut dalam liputan media, semuanya nyaris menuntut hal yang sama, terutama sekali diturunkannya Soeharto sebagai Presiden Indonesia. Penulis ingat betul foto Sang Jendral Besar yang sedang tersenyum hangat, dan menghiasi ruang-ruang publik di Indonesia selama puluhan tahun, dicoret-coret oleh mahasiswa, ditambahkan penutup mata, hingga Soeharto lebih mirip dengan Jack Sparrow si bajak laut sedeng.
Sepuluh tahun lalu, seluruh mahasiswa menuntut dipulihkannya demokrasi sipil serta menghapus dwifungsi ABRI. Mahasiswa akhirnya berhasil mencapai kedua tujuan ini, meski ada sekelompok kecil yang tidak puas, amanat besar Reformasi untuk memberlakukan pemerintahan yang demokratis, sekarang telah dijalankan.
Sekarang penulis telah menjadi bagian dari kelompok legendaris yang berulangkali merubah wajah Indonesia, sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada. Sebagai salah satu kampus yang terkenal menggulirkan Reformasi, yang terjadi saat ini sungguh sangat disesalkan.
Pada tanggal 15-17 Desember 2008, diadakan Pemilihan Raya Mahasiswa (Pemira) UGM, yang bertujuan memilih Presiden Mahasiswa, Dewan Perwakilan Mahasiswa, dan Dewan Perwakilan Fakultas. Pemira UGM dapat disebut sebagai salah satu pendiri awal tiang-tiang demokrasi di Indonesia, lantaran menggunakan jargon "Presiden" yang dulu pada masa Orba sangat disakralkan, serta menganut sistem multipartai bebas yang merupakan terobosan baru ketika Indonesia hanya boleh memiliki tiga partai politik.
Memang Pemira UGM selalu dicerca oleh sekelompok mahasiswa yang mengatasnamakan seluruh mahasiswa Gadjah Mada sebagai pemilihan bohong-bohongan, lantaran partisipasi pemilih yang rendah (5-10% dari jumlah seluruh mahasiswa) yang menang hanya Partai mahasiswa tertentu yang berafiliasi dengan salah gerakan mahasiswa muslim, yang dituduh sebagai antek partai politik tertentu.
Pada hari kedua Pemira, penulis mendapati beberapa lembar kertas yang berbunyi, "Pemira=Pemilihan Rasa Orba", "Memilih=Berpartisipasi=BUNUH DIRI!", "Mampuslah Pemira!", "Ritual pengangkatan pimpinan sebuah organisasi mafia dan broker politik", "tanda impotensi mahasiswa karena gagal mengatur diri sendiri", dan sebagainya.
Penulis tidak peduli dengan berbagai jargon yang menghina intelektualitas kaum terpelajar diatas, tetapi lebih tergelitik ketika membaca bagian akhirnya,"Kami tak mengklaim apapun, tak minta apapun.(tapi) kami akan merebut dan menduduki!"
Sungguh tragis, tampaknya bangsa kita memang ditakdirkan untuk menjadi bangsa pelupa, yang hobinya gonta-ganti sistem, tanpa pernah berusaha maksimal untuk memaksa sistem tersebut bekerja optimal. Kita lebih suka jalan pintas (merebut dan menduduki), ketimbang berkontestasi secara sehat dalam demokrasi ala mahasiswa, yang membebaskan mahasiswa, bahkan dari jalur independen sekalipun untuk bersaing dengan kandidat-kandidat Presiden Mahasiswa yang berasal dari partai mahasiswa.
Mungkin sekali, inilah wajah Indonesia beberapa tahun ke depan, yaitu saat para pelopor perubahan malah mencerca perubahan yang telah mereka perjuangkan. Dahulu menuntut demokrasi, sekarang malah ingin memberangus demokrasi yang (tragisnya) dibangun oleh darah para martir reformasi. Semoga mereka yang menuntut “perebutan dan pendudukan”, menyadari bahwa reformasi adalah buah perjuangan yang mereka lahirkan dari rahim para mahasiswa, dan sebagai orangtua (yang baik), adalah wajib hukumnya untuk merawat buah perjuangan yang baru berumur 10 tahun tersebut.

Tidak ada komentar:

Bagikan