Minggu, 10 Mei 2009

BERSATU AGAR DIHORMATI DAN BERMARTABAT



BERSATU AGAR DIHORMATI DAN BERMARTABAT


Wajah muram ibu pertiwi jatuh semakin kelam. Untuk kesekiankalinya, tumpah darah Indonesia yang mengais nafkah guna menyambung hidup nun di seberang lautan, lagi-lagi terancam kehilangan hak hidupnya. Kasus deportasi para buruh migran telah terjadi berulangkali semenjak masa Orde Baru. Namun, jasa para pahlawan devisa yang jarang disebut namanya dalam berita media massa, seolah tidak mampu berdaya menghadapi penolakan ataupun pengusiran sewenang-wenang dari negara yang sebelumnnya telah bersepakat memberikan kesempatan kerja bagi mereka.


Kasus deportasi massal para buruh migran dari Malaysia yang terkenal sebagai peristiwa Nunukan, dimana 700 ribu manusia diusir oleh otoritas negeri jiran, mungkin sudah dilupa. Tapi, kasus pemukulan wasit karate Donald Kolopita, Nirmala Bonat, bunuh diri mahasiswa di Singapura serta segunung kasus kriminal lain yang melanda warga negara Indonesia tatkla mereka berada jauh dari negeri tercinta selalu menimbulkan pertanyaan besar bagi khalayak ramai. Terlebih lagi masalah buruh migran, meski pemerintah sudah berusaha menetapkan regulasi permanen melalui UU.No 39 Tahun 2004, beserta dibentuknya badan resmi perwakilan pemerintah, BNP2TKI, kasus pengusiran buruh migran tidak jua berhenti terjadi. Pemerintah meski telah mengklaim berhasil melakukan perbaikan layanan bagi TKI, juga menekan angka kejahatan dan pengusiran yang diderita oleh para pahlawan devisa, tetapi kasus-kasus elementer ini masih saja terus berulang seolah telah menjadi rutinitas harian bersama.


Mengurai akar permasalahan tentang TKI jelas bukan perkara sekali pukul, melainkan perlu upaya berkesinambungan serta rekonstruksi sistem holistik yang mampu berfungsi permanen, tidak hanya sekedar menjadi macan kertas semata. Tercerai-berainya para buruh migran yang bekerja sebagai pekerja kasar dan rumah tangga, menjadi salah satu faktor utama rentannya kelompok ini menerima perlakuan kasar dari pihak yang mempekerjakan.

Tidak seperti rekan-rekannya yang berada di pabrik ataupun perusahaan, para pekerja kasar dan rumah tangga kesulitan mengorganisisasi diri maupun berkomunikasi dengan badan perwakilan pemerintah, lantaran aksesibilitas komunikasi yang sangat terbatas. Dengan jumlah jam kerja diatas 12 jam sehari, 7 hari seminggu tanpa ada jeda, bagaimana caranya para pekerja ini mendapatkan jaminan perlindungan tatkala mereka tidak sehat, sakit, atau ingin mengetahui kabar kampung halaman?
Persoalan jarak yang memisahkan para buruh migran hingga mereka terserak-serak di berbagai sektor pekerjaan dan tempat kerja, tidak dapat diatasi jika hanya mengandalkan belas kasih para majikan semata, pun wewenang lembaga pemerintah yang biasanya hanya mengurusi masalah administrasi.

Karena itu, para pekerja Indonesia di luar negeri, khususnya mereka yang berada pada posisi marginal, sejatinya perlu menumbuhkan inisiatif untuk membentuk wadah mandiri yang mampu menjadi sarana untuk menampung sekaligus menyalurkan aspirasi yang selama ini terhambat. Keberadaan organisasi penyambung aspirasi dapat menjadi solusi efektif bagi para pekerja yang mungkin kesulitan berinteraksi dengan para majikannya karena faktor bahasa, penghasilan, keberanian, atau faktor etis lainnya, hingga para majikan juga mampu memahami kebutuhan para pekerjanya yang belum terpenuhi.


Perlu disadari bahwa para pekerja dan majikan telah terikat kontrak kerja yang menyebabkan kedua belah pihak harus tunduk pada klausul-klausul yang termaktub di dalamnya, sehingga jika salah satu pihak melanggar kesepakatan yang telah dibuat, maka secara legal dia telah melawan hukum yang berlaku berdasar perjanjian yang disepakati. Keberanian untuk menautkan berbagai kepentingan di dalam satu wadah memang bukan pekerjaan ringan, tetapi jika hambatan tersebut dapat diatasi maka kasus-kasus pengabaian hak-hak para pekerja Indonesia di luar negeri oleh para majikan dapat direduksi hingga tingkat minimum, sehingga tatkala para pahlawan devisa kembali menapakkan langkah di tanah kelahiran, mereka berani mengangkat kepala karena telah berhasil meningkatkan martabat rakyat Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan terhormat.

Tidak ada komentar:

Bagikan