Minggu, 10 Mei 2009

MENGEMBALIKAN MANDAT RAKYAT




Hingar-bingar pagelaran demokrasi di Indonesia yang mengambil lakon bernama Pemilu Legislatif 2009 mulai mereda. Tahapan penghitungan suara meski terus berlangsung hingga tulisan ini diturunkan, tampaknya tidak akan banyak merubah komposisi partai-partai yang telah menduduki deretan tangga sebagai partai yang memperoleh suara terbanyak dari pemilih. Dalam 10 besar partai politik yang berhasil meraup suara, kita menyaksikan bersama betapa partai tengah mendominasi pemilihan legislatif tahun 2009.


Partai Demokrat, Golkar dan PDI-P, jika total jumlah suaranya digabungkan, akan mencapai persentase sekitar 50% suara, atau nyaris separuh dari jumlah pemilih yang angkanya sekitar 170 juta jiwa. Partai lainnya yang berasas dan bernafaskan Islam seperti PKS, PPP, PKB, dan PAN memperoleh tidak lebih dari 10% untuk masing-masing partai.

Sementara dua partai baru, Hanura dan Gerindra yang dianggap mampu menjadi kuda hitam, berhasil melewati batas parliamentary threshold sebesar 2,5 %, lantaran suaranya melampaui ambang minimum tersebut. PBB yang notabene partai kawakan dan punya basis massa fanatik, ternyata bernasib tragis lantaran jumlah suaranya tidak mencapai 2,5%. Demikian pula 24 partai politik nasional lain yang rentang perolehan suaranya antara 1,5-0,1% dari jumlah pemilih.




Sebagaimana diketahui, berdasar UU No 10 Tahun 2008, untuk menempatkan wakilnya di parlemen, maka partai politik wajib hukumnya melewati parliamentary threshold sebesar 2,5%. Sementara berdasar hasil tabulasi KPU, hanya ada 9 partai politik yang tampaknya berhasil lolos dari jeratan PT. Lantas bagaimana nasib 25 partai politik lainnya yang jumlah suara kumulatifnya jika digabung mencapai 20%? Tentunya kita semua berharap bahwa partai politik yang tersisih dari kompetisi menyadari bahwa fungsi utama partai politik sebagai wadah intermediasi kepentingan antara para elite dengan rakyat kebanyakan yang kehidupannya berjarak jauh dari hiruk-pikuk perpolitikan. Fungsi sebagai penghubung kepentingan yang terlanur terabaikan akibat usaha sistematis depolitisisasi Orde Baru memang memerlukan ketabahan hati beserta keuletan tekad dalam mempraktekkan demokrasi secara substansial.


Keistimewaan yang dinikmati oleh partai politik dan para anggotanya yang memperoleh subsidi dari negara sebesar 21 rupiah juta untuk satu kursi yang diperoleh tiap tahunnya janganlah dijadikan landasan bagi partai untuk terus menumbuhkan diri dalam kompetisi demokrasi pada periode mendatang. Pada tahun 2004-2009 saja, tercatat ada 16 partai politik yang berhasil mendapatkan kursi di parlemen, hingga negara harus mengeluarkan dana sebesar 11, 5 milyar rupiah saja bagi partai-partai tersebut. Padahal ada partai yang bahkan hanya menempatkan satu anggotanya saja dalam parlemen. Ilusi kesejahteraan semu lantaran berhasil memasuki gedung wakil rakyat yang terhormat di Senayan, sejatinya dipupus jauh-jauh. Motif ekonomi yang bertendensi pragmatis ini akan mengakibatkan semakin banyak orang di pemilu mendatang yang berlomba-lomba mendirikan partai guna mengejar kursi parlemen yang bernilai milyaran rupiah tersebut.


Karena itu, guna menguatkan sistem demokrasi dan juga sistem pemerintahan yang bersifat presidensial, maka pengerucutan jumlah partai politik perlu diterapkan dengan mekanisme yang tepat dan berkeadilan. Kebebasan berkumpul, berserikat, dan mendirikan partai politik sebagai sarana menyampaikan aspirasi politik secara formal tentu tidak perlu diberangus. Hanya saja, iming-iming gaji berlimpah, tunjangan berlipat-lipat, fasilitas serba komplet lantaran dijamin oleh negara harus segera dibersihkan dari angan-angan para sekelompok elite yang haus kekuasaan saja.

Politik dalam ranah demokrasi melalui instrumen partai politik perlu segera dikembalikan agar kembali kepada fungsi pokoknya sebagai penghubung aspirasi antara para elite dan pemilihnya. Akhirnya, jumlah partai politik yang makin mengerucut pada pemilu 2009 dapat dibaca sebagai adanya opini massa bahwa konsolidasi demokrasi Indonesia dapat terwujud melalui instrumen yang konstitusional dan mendapatkan dukungan luas dari berbagai kalangan sebagai wujud kembalinya mandat rakyat yang berdaulat atas negerinya.

Tidak ada komentar:

Bagikan