Minggu, 10 Mei 2009

DIALOG DENGAN RUPA-RUPA SOSIALISME: SUATU IKHTIAR AWAL


Sungguh berbahaya penguasaan terhadap bahasa, lantaran mereka yang memiliki kemampuan lebih dalam linguistik mampu melakukan berbagai upaya sistematis guna mengaburkan makna yang dimaksud oleh bahasa tersebut. Dalam kajian kontemporer para pemikir “kiri”, kesadaran bahwa berbahayanya pembengkokan atas nama bahasa terbukti manjur menumpulkan telaah kritis, komprehensif, bahkan yang paling parah terjadi mistifikasi dan simplifikasi terhadap pemaknaan hendak dituju oleh pengguna bahasa yang menemukan istilah spesifik guna mencandra yang ia tetapkan dalam alam pikirnya.

Pembongkaran terhadap kuasa sewenang-wenang otoritas terhadap bahasa dielaborasi lebih jauh oleh para filsuf kontemporer yang khawatir banyaknya kenyataan yang sejatinya tersingkap, namun terlanjur diselubungi berbagai mitos, ritus, dan ancaman-ancaman abstrak yang melekat tatkala kita mencoba mendekati beberapa termin yang “berbahaya” dan kontroversial. Saya tidak akan mengelaborasinya lebih jauh, mungkin kesempatan lain, karena saya akan berusaha mendekati “sosialisme”, sebuah lema, entri kata dalam kamus yang belum-belum disampaikan sudah membuat sebagian besar pendengar kata ini beranjak meninggalkan tempat diamannya lantaran berjibunnya hawa mistis yang berselubung dalam kata ini.



Bertolak dari kekhawatiran akibat kemungkinan lebarnya rentang pembahasan yang dapat disajikan kepada para pembaca, maka saya berusaha agar tulisan ini menjadi pengantar yang berfokus kepada penjabaran komprehensif mengenai istilah-istilah, pemikiran-pemikiran yang terkandung daripada istilah dimaksud, praksis kelanjutannya, serta kontrovers yang secara natural mengikuti perdebatan yang tiada akhir diantara para penggagas bahasa, bahkan lebih-lebih para penafsir serta para pengikut, atau malah awam yang biasanya tunggang begitu mendengar sosialisme diucap oleh seorang pembicara. Karena saya sadar, akhirnya penguasaan terhadap bahasa yang egaliter diantara pengguna bahasa akan menabur benih-benih dialog komunikatif yang menjangkau pemahaman dalam usaha memperkuat basis bagi masyarakat demokratis, bukannya saling menuding, menyalahkan, apalagi menyesatkan seperti yang jamak disimak belakangan ini.
Termin, Sosialisme, Komunisme, Marxisme, Leninisme, Trotskyisme, Sosial-Demokratik, Anarkisme, satu sama lain
Melacak perkembangan istilah sosialisme memaksa kita mundur beberapa langkah menuju abad 18, dimana pergolakan dan kegilaan menggejala di Eropa daratan. Teriakan-teriakan parau, gusar, amarah terkepal dalam jilatan bayonet, sangitnya mesiu, berdentum seru di Perancis. Penyebabnya, apa lagi kalau bukan Revolusi Perancis, 1789, dimana semboyan Egalite, Liberte, dan Fraternite, (persamaan, kebebasan, dan persaudaraan) menjadi derap langkah gagah rakyat yang frustasi dengan perilaku raja matahari, Louis XIV, yang bergila-gila dengan hartanya, sementara rakyat dipaksa mengunyah tanah, lantaran seluruh hak kepemilikan, utamanya tanah berpulang kepada kuasa raja matahari tersebut. Kegaduhan tidak dapat dielakkan, rakyat berduyun-duyun yang kemudian menyebut dirinya “third estate” oleh negarawan Perancis, Abbe Sieyes, menyerbu benteng kepongahan kuasa raja, Penjara Bastille, 14 Juli 1789, setelah sebelumnya terjadi pertemuan ketiga estate, yakni para pemuka agama, pemilik tanah, dan rakyat jelata dalam Convene General 5 Mei, lalu serentak memukul balik pasukan kerajaan dengan senjata yang berhasil dirampas dari benteng Bastille. Kelanjutan dari kegilaan Revolusi Perancis, mengubah seluruh akal-pikir, konstelasi kekuasaan, hak pemilikan, termasuk cara berpikir manusia setelah kejadian berdarah tersebut tumpah pada bulan Juli, dimana salah seorang komentator berujar, revolusi Perancis cenderung memutar-mutar segalanya diatas kepala . Istilah “sosialisme” sendiri sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan karena ia tidak mutlak merujuk kepada sesuatu, juga menghadap tujuan tertentu, meski begitu, istilah sosialisme kerapkali ditujukan kepada Pierre Leroux yang pada tahun 1834 masih terbawa euforia besar Revolusi Perancis yang arah serangnya semakin tidak terkendali dan dikhawatirkan Perancis akan mengekspor Revolusinya ke negara-negara lain, terutama negara tetangga sekaligus musuh abadi, Jerman, dan Inggris. Menurut bahasa, secara etimologi sosialisme berasal dari bahasa Latin, yakni socious, yang berarti pertemanan atau persahabatan dalam bahasa Indonesia, sedang dalam bahasa Arab, sosialisme dipadankan dengan isytirakiyah, asal kata isytaraka berarti bekerjasama. Dalam telaah terminologi, sosialisme bermakna berbagai macam teori atau sistem organisasi sosial, yang disitu alat-alat produksi dan pembagian kekayaan dikelola secara kolektif atau melalui campurtangan pemerintah. Selanjutnya, dalam bahasa Arab, sosialisme ditafsir sebagai madzhab yang bertujuan mengubah tata sosial dengan cara penguasaan bersama atas alat-alat produksi, dan membagi kekayaan kepada komunitas, membagi pekerjaan bersama, dan mengonsumsinya bersama-sama pula.
Meski begitu, seorang kolaborator utama Marx, Friedrich Engels yang dikenal sebagai sejarahwan terkemuka mengemukakan kebingungannya bagaimana mendefinisikan sosialisme, lantaran ia bersama Marx mengejek para pemikir awal sosialisme dari Perancis hanya memetakan sebuah utopia, karena mereka tidak mampu menemukan pintu dan membuka jalan partisipasi bagi upaya terjadinya perubahan sosialis, Engels menulis , “they do not claim to emancipate a particular class to begin with, but all humanity at once. Like them, they wish to bring in the kingdom of reason and eternal justice, but this kingdom, as they see it, is as far as Heaven from Earth, from that of the French philosophers” (mereka tidak berupaya agar mampu berpartisipasi dalam perjuangan kelas yang tertindas, tetapi hanya menganjurkan belas kasih saja. Orang-orang seperti mereka, bermimpi mendirikan kerajaan bagi adanya alasan dan keadilan abadi bagi semua, namun sebagaimana kita saksikan, mimpi itu sejauh jarak surga dari bumi, apalagi bagi para filsuf utopi Perancis itu). Siapakah para filsuf Perancis yang hanya mampu menganjur dan berbelas kasih tersebut? Sejatinya, ada seorang Inggris yang terselip diantara mereka yakni Robert Owen, pengusaha yang memiliki kepedulian besar dengan kesejahteraan para pekerjanya. Kembali kepada para penggagas awal sosialisme, selain Leroux, ada beberapa nama yang terus disebut dalam berbagai literatur sebagai perintis, yakni Henri de Saint-Simon, Charles Fourier, Pierre-Joseph Proudhon.
Penelusuran mendetail ternyata membawa saya pada bercabangnya gagasan utama para pemikir awal sosialisme, dimana tiga filsuf diatas dikategorikan sebagai “sosialisme klasik demokratis”, dimana di seberang sana ada para tokoh yang dicap sebagai penganut “sosialisme totaliter revolusioner”, dimana tokoh utamanya antara lain Francois-Noel Babeuf, Louis Blanqui, Moses Hess memaparkan pandangan mereka secara eksplisit, “kami akan membuktikan bahwa tanah dan bumi bukan milik pribadi, tetapi milik kami semua. Kami akan membuktikan bahwa apa yang diambil dari padanya melebihi kebutuhan makannya merupakan pencurian terhadap masyarakat”. Dari tuntutan Babeuf yang dikutip di atas, kemudian hari berevolusi menjadi gema tuntutan inti dari komunisme yang mendahulukan pada beberapa aspek mendasar dalam kehidupan, yakni penguasaan alat-alat produksi oleh negara dan terwujudnya diktatorial proletariat. Dari pihak sosialisme klasik demokratis sendiri, kita melihat beberapa perbedaan mencolok lantaran berbedanya landasan pemikiran, latar belakang para penggagasnya, serta tujuan yang mereka maksud, tetapi secara umum, dapat dijalinkan sebagai “this particular strain of utopianism advocates changing society by adopting egalitarian lifestyles, and building cooperatives and communes which embody the good society and set an example for the rest of the world” (perhatian utama dari para utopian adalah mempelopori gagasan perlunya perubahan masyarakat dimana nilai-nilai egalitarian dan membangun kerjasama kooperatif diantara komune, akan menghasilkan masyarakat yang solid hingga mampu dicontoh oleh dunia). Sedangkan kaum sosialis klasik demokratis juga turut menghaturkan kegelisahan mereka, seperti Fourier meyakini “liberty, unless enjoyed by all, is unreal and illusory. . .to secure liberty a Social Order is necessary which shall (1) Discover and organize a system of industry; (2) Guarantee to every individual the equivalent of their natural rights; and (3) Associate the interests of rich and poor” (kebebasan, kecuali ia mampu dinikmati oleh semua orang, adalah tidak nyata dan ilusi semata, untuk mengamankan kebebasan, maka tertib sosial sangat diperlukan guna, mencari dan menyusun sistem industri, menjamin setiap orang hak-hak dasar yang setara, dan menghubungkan kepentingan antara yang kaya dan miskin). Tidak heran, Fourier lalu mengusulkan model ekonomi idealnya, yang dinamakan phalanxses, sistem ekonomi yang ditemukan dalam masyarakat Israel saat ini. Di sisi lain, Proudhon yang terkenal dengan berbagai slogan perlawanannya mengajukan pernyataan ekstrim “What is slavery? and I should answer in one word, It is murder, my meaning would be understood at once. No extended argument would be required to show that the power to take from a man his thought, his will, his personality, is a power of life and death; and that to enslave a man is to kill him. Property is robbery! . . . What a revolution in human ideas! Proprietor and robber have been at all times expressions as contradictory as the beings whom they designate are hostile; all languages have perpetuated this opposition. (Apakah itu perbudakan? Dan saya akan menjawabnya dengan satu kata, ia adalah pembunuhan, tentu maksud saya langsung dapat dipahami. Tidak diperlukan lagi pendapat tambahan untuk menegaskan kekuatan yang menghisap manusia dari gagasannya, keinginannya, kepribadiannya, adalah kekuatan dari kehidupan dan kematian, dan perbudakan seseorang adalah bermakna membunuhnya! Kepemilikan barang adalah perampokan! Betapa ide revolusioner yang lahir dari gagasan manusia, para pemilik barang dan perampok berulangkali menyatakan yang hal yang berlawanan dengan yang mereka lakukan, semua bahasa yang diujarkan mereka terlanjur menegaskan posisi ini)
Setelah jenuh dengan kemandegan para penganjur sosialisme utopian, Karl Heinrich Marx, si mbah jenggot yang wajahnya begitu menyeramkan seperti orang Maroko tatkala zaman Orde baru berkuasa di Indonesia, tengah dalam masa pelariannya dari kejaran otoritas negeri Jerman (kala itu Prussia, Jerman Timur), lantaran ia menerbitkan dan mengedit Rheinissche Zeitung, sebuah majalah oposisi yang berbasis di Koln, tahun 1842, dimana setahun setelahnya, ia terpaksa melarikan diri dan tinggal di Perancis, lagi-lagi untuk menerbitkan majalah yang membuat panas telinga otoritas negara, bertajuk Deutsche-Franzosische Jahrbucher, sebelum ia akhirnya berkenalan dengan Friedrick Engels tahun 1844, dimana mereka berdua bersama-sama merumuskan pamflet yang paling ditakuti oleh pemerintah manapun, yakni Komunis Manifesto tahun 1845. Marx berpindah-pindah dari Perancis, Belgia, kembali ke Jerman, sebelum akhirnya menghabiskan sisa hidupnya di London kala menghasilkan magnum opus-nya, Das Kapital. Kontribusi utama Karl Marx dalam mengembangkan sosialisme hingga mencapai tahap ekstase yang begitu kompleks dan multi-disipliner, terutama sekali tatkala Marx mengklaim berhasil mencetak “sosialisme ilmiah”, yang secara sederhana dapat ditafsir menjadi “ dialectical materialist theory of history postulating that the nature of the technological and economic system of each society determines the power relations within that society, dividing society between those who own and control the means of production and those who are exploited. These classes struggle over resources, and when the technological and economic base of society changes, a new class develops to overthrow the previous ruling class.
The final stage of this dialectical process is the world-wide polarization between the industrial working class and the owners of industry; after the proletariat overthrows the bourgeoisie there will be no more class divisions and humanity will consciously control its own evolution. Social democratic reforms in the short-term, towards the replacement of capitalism (the private ownership of means of production) with "social ownership" (socialism). The democratic advancement of the masses' interests replaces the "dictatorship" of bourgeois democracy with the "dictatorship" of the working class under socialism. Finally, the idea of ownership itself will disappear, as will all vestiges of class divisions, and therefore the need for a State will disappear, which is the stage of communism (teori sejarah materialisme dialektik berargumen bahwasanya dasar dari sistem ekonomi dan teknologi dari masyarakat menentukan relasi kekuasaan didalam masyarakat, serta membaginya menjadi mereka yang menguasai sumber-sumber produksi, dan mereka yang dieksploitasi lantaran tidak memiliki sumber produksi. Akibatnya, perjuangan kelas untuk memperebutkan sumber daya, dan tatkala basis teknologi dan ekonomi berubah, maka kelas yang baru akan muncul guna mengusir kelas berkuasa sebelumnya, tahapan terakhir dari proses dialektika adalah terjadinya polarisasi di dunia antara kelas pekerja dan pemilik modal, dimana setelah para pekerja berhasil menggulingkan pemilik modal, maka tidak akan ada lagi pemisahan kelas dan kemanusiaan secara sadar akan mengendalikan proses perubahannya. Perubahan secara sosial demokratis ini akan berlangsung dalam jangka pendek, menuju tahapan penghapusan kapitalisme, dengan kepemilikan sosial, dimana perubahan akibat dari kepentingan massa akan meniadakan demokrasi kaum borjuasi dengan diktatorial proletariat dibawah sosialisme. Akhirnya, gagasan kepemilikan dengan sendirinya gugur, sebagaimana pula pemisahan kelas, diikuti musnahnya kebutuhan akan negara, berganti dengan perlunya komunisme). Dari upaya melintas jalan pemikiran Marx tersebut memang terdapat beberapa poin penting yang menarik untuk disimak, seperti gagasan komunisme sebagai paham menolak sistem negara bangsa, atau kebutuhan menjadi kosmpolit (warga dunia) yang sekarang tengah mewabah akibat globalisasi. Jangan dilupakan pula, Sebelas Thesis Marx terhadap Feuerbach yang termasyur, karena disinilah Marx merumuskan gagasannya secara filsafati dengan penuh, kontemplasi, terutama sekali kedua tesis terakhirnya “The standpoint of the old materialism is civil society; the standpoint of the new is human society, or social humanity, The philosophers have only interpreted the world, in various ways; the point is to change it “ (titik mula dari materialisme lawas adalah masyarakat sipil yang kapitalis, sedang awal mula masyarakat humanis yang baru, adalah masyarakat kemanusiaan sosial. Para filsuf hanya mampu mencoba memahami dunia daam berbagai cara, seharusnya mereka mampu mengubah dunia” Elaborasi Marx yang begitu luas dan brilian diantaran sosialisme Perancis, idealisme Jerman, serta gagasan ekonomi Inggris, menghasillkan julukan Marx sang Elaborator Ulung (The Great Synthesizer), yang sekaligus mengganjarnya dengan ilmuwan multidisipliner, yakni filsuf, sosiolog, ekonom, ilmuwan politik, dan sejarahwan terkemuka. Terlepas dari gagasan-gagasannya yang mungkin sudah ketinggalan zaman, Marx telah mendapatkan tempatnya sebagai seorang raksasa intelektual dalam sejarah manusia, sementara gagasannya yang diklaim sebagai Marxisme sendiri sampai sekarang masih menjadi perdebatan, lantaran apakah Marx, sang pendiri gagasan tersebut pernah menjadi Marxist? Bahkan Marx sendiri tidak pernah menyatakan dirinya sebagai seorang Marxist. Varian berikutnya yang memiliki cukup banyak pengaruh setelah Marxisme adalah Leninisme, atau Marxist-Leninis, juga Bolshevisme, dimana pengaruh besar Revolusi Rusia 1917, dimana kaum Bolshevik berhasil meruntuhkan tahta kekuasaan Tsar, dimana nama besar Vladimir Ulyanaoch Lenin, mencorong karena keradikalannya dalam melawan represi ganas dari Tsar. Selain itu, yang menonjol dari keberhasilan Lenin adalah perlunya organisasi partai yang ketat sebagai jembatan emas menuju cita-cita terwujudnya masyarakat sosialisme yang didambakan oleh para pemikir sosialis sebelumnya. Lenin, sang orator ulung, kelahiran dari keluarga elite Rusia terkenal karena kebandelannya antara lain sebagai anggota organisasi bawah tanah yang menentang kesewenang-wenangan Tsar yang kejam dan tidak berkeperimanusiaan. Lenin yang sempat mengenyam pendidikan formal di bangku kuliah, tercatat sempat dipenjara akibat aktivitas politiknya yang radikal, Lenin juga diingat tidak pernah menghadiri kuliah formal dalam bidang hukum yang diambilnya, meski demikian, anehnya, Lenin mampu lulus dengan mudah, bahkan menjadi lulusan terbaik di almamaternya meski ia nyaris tidak pernah menghadiri kelas perkuliahan. Pemikiran Leninisme kira-kira dapat dihampir seperti ini “since workers can only achieve trade-union consciousness , they must be led by a vanguard party of Marxist-Leninist revolutionaries. This party must be governed by military discipline, and "democratic centralism" : party-membership is tightly controlled and all members must keep party discipline, not contradicting the party-line in public, but only through internal "democratic" debate. The party newspaper plays a central role. The party relies heavily on front-organizations, ostensibly independent but actually controlled by the Party” (lantaran buruh hanya mampu mencapai kesadaran kelas melalui perjuangan serikat pekerja, maka mereka perlu dipimpin oleh sebuah sistem kepartaian ketat yang mengusung gagasan revolusioner Marxist-Leninis. Partai ini harus diperintah dengan disiplin ala militer, dan tidak berlawanan dengan garis kebijakannya terhadap masyarakat, tidak hanya dalam debat internal yang demokratik. Harian partai menjadi instrumen utama, dimana partai bergantung kepada organisasi garda depan yang mandiri tetapi dapat dikendalikan oleh partai). Dari pemaparan diatas, dapat dihampir, bahwa Lenin, atau Leninisme, mencita-citakan perlunya organisasi partai yang solid, ketat, dimana kaderisasi harus dijalankan secara berjenjang dan sangat selektif saringan yang dilakukan, atau mudahnya Leninisme mengidamkan terbentuknya partai kader yang elitis agar cita-cita masyarakat sosialis dapat diwujudkan. Kontribusi utama Leninisme sebagaimana kita saksikan menekankan kepada perluasan sosialisme ilmiah, atau Marxisme yang tadinya baru sebatas buah pemikiran filosofis yang berusaha membumi, telah mendapat praksis nyatanya dalam kehidupan politik yang penuh tipu daya dan jerat. Disini perlu ditegaskan bahwasanya Leninisme mendukung gagasan demokrasi sejauh praktek demokrasi itu mampu diakses oleh kalangan proletar, termasuk buruh dan petani, bukannya melanggengkan demokrasi yang hanya dapat dinikmati oleh kaum borjuasi, karena itu, Lenin tetap kukuh pada perlunya pemimpin besar sebagaimana Marx, yakni diktator proletariat, “The dictatorship of the proletariat alone can emancipate humanity from the oppression of capital, from the lies, falsehood and hypocrisy of bourgeois democracy — democracy for the rich — and establish democracy for the poor, that is, make the blessings of democracy really accessible to the workers and poor peasants, whereas now (even in the most democratic — bourgeois — republic) the blessings of democracy are, in fact, inaccessible to the vast majority of working people” (diktator proletariat sendiri dapat melakukan upaya emansipasi kemanusiaan dari represi modal, kebohongan, kesalahan dan kemunafikan demokrasi borjuasi, demokrasi yang dimiliki oleh orang kaya, hinga mampu membangun demokrasi bagi orang miskin, terutama kaum pekerja dan petani miskin, tidak seperti sekarang, karena demokrasi hanya tidak dapat diakses oleh mayoritas rakyat pekerja). Dalam hal ini, lenin memperluas gagasan pertentangan antara kaum borjuasi dengan kelompok marginal menjadi perlunya suatu bentuk resistansi yang terorganisir rapi dan dipimpin oleh seorang pemimpin besar (vanguard) yang memiliki kewenangan besar dalam menyusun agenda perjuangan. gagasan lenin diretas lantaran marx tidak mengajukan sebuah rencana bagaimana cara mewujudkan keadaan masyarakat "tanpa kelas" yang dicita-citakan melalui gagasan komunisme. Selanjutnya kita akan membahas Trostkyisme, yakni sebuah gagasan yang dicetuskan oleh Leon Trotsky, salah seorang pemimpin utama gerakan Bolshevik bersama-sama dengan Lenin dan Stalin. Trotskyisme sendiri membahas perlunya revolusi proletarian berkelanjutan guna menggusur para birokrat yang mendominasi kehidupan di Rusia tatkala Stalin berkuasa menggantikan Lenin. Trotskyism meyakini perlunya konsolidasi kekuatan diantara organisasi kelas pekerja guna menghadang kekuatan mesin partai Stalin. Konteks kehadiran Trotsky, lagi-lagi tidak dapat dilepaskan dari praktik kekuasaan Stalin yang melakukan industrialisasi besar-besaran di Rusia, dan membuat Rusia menjadi negara kutub kekuatan dunia menandingi Amerika Serikat, tetapi sayangnya para buruh dan kaum pekerja tidak menikmati perbaikan pendapatan meski industrialisasi melanda Rusia, hingga sempat terjadi debat panas di Amerika antara Max Schactman pemimpin partai sosialis melawan Earl Browder, pemimpin partai komunis Amerika. Schactman dengan sinis berpendapat, “It’s plain: If you’re moving toward socialism, which is a complicated business, I know, which is difficult, which is beset by a million obstacles, most of them inherited from capitalism, with its rottenness, its corruption, its depravity, you can always tell, however – not every single day, but over periods – you can tell, are we moving toward socialism or away from socialism, by two simple criteria: One, is the standard of living of the workers going up? Two, is state coercion going down?” (hal ini terang, jika anda bergerak menuju sosialisme, yang merupakan urusan yang rumit, saya mafhum karena banyaknya rintangan yang merintanginya, ada berjuta halangan, karena mayoritas merupakan masalah warisan dari kapitalisme, dari kebusukannya, korupsinya, kebejadan moralnya, anda akan selalu dapat mengetataui apakah kita tengah bergerak menuju sosialisme dengan dua kriteria, yakni apakah kesejahteraan kaum pekerja membaik? Kedua, apakah koersi negara menurun?). Selanjutnya, kita akan beralih menuju anarkisme, varian lain dari sosialisme yang uniknya, kerapkali disebut sebagai sosialisme libertarian, dalam hal ini Kropotkin menjabarkannya dengan tenang, “anarchism (from the Gr. an and archos, contrary to authority), the name given to a principle or theory of life and conduct under which society is conceived without government - harmony in such a society being obtained, not by submission to law, or by obedience to any authority, but by free agreements concluded between the various groups, territorial and professional, freely constituted for the sake of production and consumption, as also for the satisfaction of the infinite variety of needs and aspirations of a civilized being” (anarkisme, dari bahasa yunani, an dan archos, yakni pembalikan dari kekuasaaan, adalah nama yang mendasarkan diri pada prinsip atau teori kehidupan dimana perilaku masyarakat dibebaskan dari adanya pemerintahan, harmoni antara masyarakat akan dicapai daripadanya, bukan dengan pembuatan undang-undang, kepatuhan terhadap otoritas tertentu, tetapi melalui kesepakatan bebas yang disimpulkan antara berbagai kelompok, daerah yang secara bebas mengatur masalah konsumsi dan produksi, sebagaimana pula kepuasan terhadap berbagai kebutuhan dan aspirasi mereka sebagai makhluk beradab). Kaum anarkis memandang bahwa semua bentuk dominasi, termasuk negara, keluarga, dan agama adalah kejahatan yang tidak dapat diterima, dimana berlawanan dengan keyakinan dasar kaum Marxist, kekuatan negara pada akhirnya akan berubah menjadi tirani. Adapula kaum anarko-sindikalis, yang mengkhususkan diri melalui adanya tujuan dan akhir dari perubahan sosial dapat dicapai melalui kekuatan rakyat lewat serikat pekerja, sebagai pengganti pemerintah yang mendominasi dengan federasi pekerja berbasis industri. Salah seorang penganjur awal anarkisme adalah Mikhail Bakunin, yang kemudian ide-idenya bergema luas di dunia melalui pemikiran para penganjur anarkisme lainnya. Varian terakhir yang saya paparkan adalah sosial-demokrat, dengan pertimbangan bahwa gagasan inilah yang sampai sekarang masih bertahan di tengah rontoknya gagasan-gagasan sosialisme seiring dengan kejatuhan Soviet tahun 1989. Gagasan sosial-demokrat menurut banyak kalangan adalah jalan tengah, serta kompromi rasional antara idealisme sosialis berhadapan dengan praktek politik demokrasi yang menolak munculnya tirani yang selama ini diidamkan oleh kaum sosialis. Kemunculan sosialis-demokrat awalnya adalah reaksi terhadap kemungkinan perjuangan mencapai sosialisme dapat dicapai melalui jalan konstitusional, terutama demokrasi parlementer. Ironisnya, gagasan ini bermula dari Jerman sendiri, tanah kelahiran sosialisme ilmiah, dimana pemikiran revisionisme Edward Bernstein yang memilih mengikuti pemilihan umum dan berpartisipasi dalam Diet di Jerman melalui jalur konstitusional, bersama-sama tokoh lainnya seperti Karl Kautsky dan Ferdinand Laselle. Perjuangan konstitusional ini bermula dari Jerman semenjak tahun 1893, dan perlahan-lahan gagasan sosial-demokrat berkembang luas di seluruh daratan Eropa. Meski kemudian kita ketahui bersama keberhasilan Revolusi Bolshevik 1917, membuat Lenin dan para penganjur sosialisme lainnya mencibir kaum sosialis demokrat karena menjalankan taktik kolaborasi dengan para kapitalis, dan mereka telah mengkhianati sosialisme itu sendiri. Meski begitu, kaum sosial-demokrat yang memutuskan memiliki otonomi politik sendiri-sendiri, lain halnya dengan kebijakan partai sosialis dan komunis yang diatur oleh Internationale dari Soviet, terbukti mampu mendudukkan para pemimpin partainya sebagai penguasa di beberapa negara besar di Eropa, seperi Tony Blair yang berasal dari partai Buruh Inggris dan menjadi perdana menteri, Francois Mitterand Presiden Perancis yang berkuasa selama dua periode juga dari partai sosialis, serta Kanselir Gerhard Schroeder yang berasal dari partai Sosial-Demokrat Jerman. Dengan otonomi yang dimilikinya, kaum sosial-demokrat berhasil mengkukuhkan diri sebagai kekuatan politik utama di negara-negara Eropa, dimana mereka menjadi pendorong perlunya intervensi negara dalam bidang ekonomi, proteksi aset-aset penting negara, serta jaminan berlangsungnya sistem welfare-state di negara-negara Eropa, meski mereka juga tidak menolak adanya mekanisme pasar sebagai penggerak perekonomian, perlu dicatat kaum sosial-demokrat adalah penentang utama gagasan neo-liberal dalam bidang ekonomi
Sebagai penutup, maka saya hanya ingin menegaskan kembali, bahwa secara ideologis, sosialisme sebagai sebuah sistem nilai, gagasan, bentuk negara, juga idealisme ekonomi telah punah seiring tumbangnya Soviet tahun 1989. Perlahan-lahan, para pengguna sosialisme mulai memikirkan alternatif agar kemandegan yang ternyata dihasilkan oleh sosialisme dapat diterjang, seperti Cina, yang tanpa disangka-sangka menjadi salah satu penganjur utama sistem ekonomi neo-liberal dibawah pimpinan Deng Xiaoping. Keterbukaan Cina kepada sistem ekonomi pasar, dan keberhasilannya mengejar ketertinggalan hingga menjadi salah satu negara yang diramal akan menjadi salah satu pilar ekonomi dunia di masa depan, membuat para penganjur sosialisme ilmiah, marxis-leninis terpaksa merenungkan kembali gagasan mereka yang sebelumnya pernah berjaya di awal abad 20. Namun, akhirnya para penganjur sosialis tidaklah perlu berkecil hati, karena esensi sosialisme yang mensyaratkan adanya egaliteranisme, berkurangnya diskrepansi sosial atau jarak sosial antara penduduk kaya dan miskin, perimbangan porsi pendapatan yang lebih berkeadilan secara praktik telah dijalankan oleh negara-negara Eropa yang memang menggunakan sistem ekonomi welfare-state, ataupun sosialisme pasar. Keyakinan telah tersampaikannya maksud dari para penganjur sosialisme utopa yang sebelumnya menjadi olok-olok para pendukung sosialisme ilmiah, malah menemui justifikasinya, karena toh masyarakat yan humanis ternyata mampu diiniasiasi tanpa harus melalui perjuangan berdarah-darah ala kaum revolusioner di Eropa. Meski di Amerika Latin bergema tuntutan untuk mempraktekkan sosialisme, tetapi pada dasarnya yang dipromosikan oleh Amerika Latin adalah populisme politik para pemimpinnya, seperti Chavez dengan ALBA-nya. Karena itu, revolusi yang dahulu menjadi kata suci perjuangan sosialisme, ternyata tidak melulu harus berhasil melalui pertumpahan darah, karena revolusi ternyata bukan untuk revolusi, melainkan guna membebaskan umat manusia dari ketertindasan dan ketidakadilan, nyatanya dapat dicapai melalui usaha-usaha demokratik.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Fid fid... ahirnya (seenggaknya) ada juga intisari sosialisme dengan bahasa yang cukup mudah dipahamin hehe...
aku tertarik sama bahasanmu tentang anarkisme (yang sayangnya cuma dikit). Beberapa hari lalu, aku nonton serial walking dead (tontonlah),menurutku hanya saat keadaan jadi kacau, dan tidak jelas lagi,masyarakat anarkis bisa terwujud. Aku ingat dialog sherif (tookoh utamanya) sama tokoh lain, yang intinya bilang kalau keadaan udah jadi seperti itu (sebenarnya sama kaya film 28 weeks later atau 28 days later, atau 30 days of night)aturan ga bakal berlaku lagi. Tapi toh, ketika gada aturan lagi, mereka masih bisa hidup bareng-bareng, kerja sama juga, kalau ada yang nyimpang bakal dapet pelajaran sendiri dari komunitinya, kalo pake bahasa kropotkin mutual aid.. JAdi, tindakan insureksi bisa dibenarkan untuk membuat negara kacau demi terwujudnya anarkisme. tapi, anarkisme bukan hasil akhir, dia proses..
hohoho...ngomong apa aku ini...

Bagikan