Minggu, 10 Mei 2009

PEMILU DAN GAGAPNYA DEMOKRASI KITA





Pagelaran demokrasi lima tahunan bertitel pemilihan umum legislatif telah rampung dihelat pada tanggal 9 April 2009 yang lalu. Kekhawatiran akan terjadinya berbagai problematika teknis terkait keterlambatan pengiriman logistik ke berbagai daerah pemilihan, teryata berhasil diatasi oleh Komisi Pemilihan Umum yang menyatakan terhitung H-2 seluruh perlengkapan teknis termasuk logistik telah terpasok dengan ekstensif ke TPS-TPS di seluruh Indonesia.

Tidak heran, Ketua KPU, Abdul Hafiz Anshary bahkan berani mengembangkan senyumnya atas kerja keras kolektif lembaga penyelenggara kenduri demokrasi lima tahunan tersebut. Pemerintah pun ikut-ikutan optimis lantaran kepercayaan diri lembaga independen yang dihuni para akademisi dan profesional non-partisan struktural, sampai Presiden Yudhoyono satu hari mendekati hari H juga mengangguk takzim, Pemilu legislatif siap dilaksanakan.




Pada hari pemungutan suara media massa menurunkan reportase yang menggambarkan Pemilu 2009 berjalan damai, aman, tertib serta yang paling penting, pemilih antusias menggunakan hak suaranya. Segera setelah waktu pemungutan suara berakhir pukul 12 siang, lembaga-lembaga survei mulai melakukan tabulasi hitung cepat yang menggunakan metode ilmiah hingga diklaim akurasi hasil quick count tidak akan meleset terlampau jauh dari penghitungan suara manual atau real count resmi dari KPU. Dari hasil hitung cepat berbagai lembaga survei politik, hasil yang diperoleh nyaris seragam, Partai Demokrat duduk di singgasana puncak dengan persentase suara sebesar 20%. Di tempat lain, dua partai “gajah”, yakni PDI-P dan Golkar ternyata berbagi suara imbang, yakni masing-masing mendapatkan 14% suara pemilih. Untuk sesaat, ketegangan yang sempat menyelimuti berbagai pihak atas kinerja KPU yang meragukan, mampu dipadamkan dengan prosesi pemungutan suara yang nyaris mulus tanpa kendala.


Namun, selang satu hari pasca pemilihan, suara-suara miring mulai bermunculan dari berbagai pihak. Ternyata pada saat hari H, berbagai elemen masyarakat yang tadinya memiliki hak pilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya akibat problema administratif, yakni tidak tercatat sebagai pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap. Tidak tanggung, dari kelompok pekerja kerah biru, pegawai kantoran, akademisi, bahkan seorang pejabat pemerintahan eselon satu sekelas Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda tidak mendapatkan hak pilih lantaran namanya tidak tercantum dalam DPT. Kontan saja, berbagai pihak yang dirugikan meluapkan kegusarannya karena dipaksa golput secara administratif.
Pihak yang paling merasa dirugikan, yakni partai politik langsung berkumpul ramai-ramai menyatakan geram karena kinerja KPU yang diistilahkan “Pemilu terburuk yang pernah diselenggarakan pada masa demokratis di Indonesia”. Nyaris semua partai kelas menengah dan besar bersepakat mengutuki pemilu yang diselenggarakan dengan nominal nyaris 200 trilyun rupiah uang rakyat, meski pemilu diadakan untuk memilih dan menempatkan wakil-wakil partai politik tersebut dalam parlemen. Sementara Partai Demokrat dan Golkar yang masih berpijak sebagai incumbent menahan diri untuk tidak latah mengikuti langkah politis mereka dikenal sebagai “blok Teuku Umar”. Adapun partai-partai gurem sudah sedari dini menyadari kekalahannya dengan membentuk koalisi menolak hasil pemilu.


Mencermati fenomena yang terjadi di tataran suprastruktur (partai politik) melalui indikator gencarmya manuver politik mereka, tentu kita bertanya-tanya mengapa rakyat yang dirugikan hak pilihnya secara langsung tanpa perantara partai politik cenderung memilih diam ketimbang mendukung manuver partai-partai politik? Dapat disimpulkan masih menggejalanya krisis representasi antara parpol dengan rakyat belum jua membaik. Hal ini dikarenakan partai politik masih mengusung kepentingan pragmatisnya, sementara pemilihan umum yang harusnya menempatkan rakyat sebagai pemegang kuasa malahan meminggirkannya dalam posisi marginal lantaran sistem yang berlaku menetapkan demikian. Jurang aspirasi antara parpol dan rakyat masih terlampau lebar. Pemilu di negara demokrasi modern sebagai instrumen representasi yang legitimate dan berpihak tampaknya memang masih ada dalam tahap idealita.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Menurut saya pemilu ini memang yg terburuk dan lamban.Dan kurang berkualitas.

Bagikan