Kamis, 06 November 2008

Mengembalikan Alam Sebagai "Tempat"

Seruan untuk menyelamatkan alam dari kehancuran nyaring terdengar. Salah satunya dari mantan wakil presiden Amerika Serikat, Al Gore, lewat film dokumenternya tentang pemanasan global , yaitu “An Inconvenient Truth”.

Masalah pemanasan global, mengandung substansi urgen, lantaran secara frontal ia telah merubah alam, dalam bahasa George Ritzer dalam Globalization of Nothing (2004), dari “tempat” menjadi “bukan-tempat”. “Tempat”, yang dimaksud di sini bukanlah lantas alam tempat kita bernaung otomatis tidak dapat lagi ditinggali oleh makhluk hidup.

Alam masih dapat ditinggali oleh manusia, namun alam telah berubah menjadi “bukan-tempat”. Ciri-ciri “bukan-tempat”, yang merupakan kontinum paradoks dari “tempat”, ada 5 macam yaitu umum, kurang ikatan lokal, tidak dibatasi waktu, tidak manusiawi, dan mengecewakan. Dalam konteks kerusakan alam yang diakibatkan ulah umat manusia hingga menyebabkab pemanasan global, ciri-ciri dan contoh “bukan-tempat”, dengan mudah kita jumpai.




Gedung-gedung pencakar langit, supermarket dan hypermarket, bank-bank, ATM, tempat makan cepat saji, komplek perumahan KPR, serta pabrik-pabrik, semuanya serba homogen, mirip satu sama lain, tidak memiliki keunikan spesifik, dibangun secara massal, tidak bercirikan kultur setempat, dan akhirnya mengecewakan para penghuninya.

Pembangunan yang berlangsung di berbagai penjuru dunia, khususnya di negara dunia ketiga, yang mengedepankan efisiensi biaya maupun sumber-daya, menyebabkan tumbuhnya infrastruktur yang bentuk dan rupanya nyaris seragam. Perubahan fungsi lahan, dari sebelumnya memliki keunikan spesifik lantaran dibangun dengan sentuhan lokal serta keterikatan terhadap periode tertentu ditinggalkan, untuk memberi tempat bagi bangunan-bangunan massal yang didirikan dengan semangat efisiensi.

Namun, kondisi alam sebagai “tempat”, justru dilupakan, sehingga alam yang sebelumnya ramah dan mendukung kehidupan manusia, sekarang berubah menjadi “bukan-tempat”, yang berbalik menyerang manusia dengan cuaca dan musim yang sering berubah, temperatur yang tidak menentu, dan bencana alam yang rajin menerpa daerah-daerah di seluruh dunia.

Mengembalikan alam yang telah berubah menjadi “bukan-tempat”, kembali sebagai “tempat”, dengan pendekatan pembangunan bangunan-bangunan yang punya ciri spesifik serta mengutamakan ikatan lokal, akan mereduksi dampat negatif dari pembangunan massal yang telah mencemari lingkungan.

Bangunan-bangunan yang didirikan dengan pendekatan ke-lokal-an, berpegang pada prinsip seimbang, yaitu jika mengambil kekayaan alam, maka harus dikompensasi dengan jalan penanaman kembali pohon-pohon baru. Sehingga, pembangunan yang rakus, serta merubah hakekat alam menjadi “bukan-tempat”, karena memakan begitu banyak porsi dari alam, dapat dicegah dan dikembalikan menjadi “tempat”, yang mempunyai makna, ciri, mampu memuaskan penghuninya, serta ramah lingkungan tentunya.

Tidak ada komentar:

Bagikan