Kamis, 06 November 2008

Refleksi Awal

Gema itu, terasa segar, dan selalu ringan menghampiri. Sekedar bertegur sapa atau bertamu, mengucap salam hangat dengan terbuka. Gema itu tercatat berulangkali dalam pusaran angka, 1908,1928,1945,1966,1974,1998,… yang berkelindan menjaring lintasan formasi diskursif yang melampaui zamannya. Mereka tidak punya pengalaman, belum juga menghasilkan kapital yang kerapkali dianggap sebagai conditio sine qua non mutlak, apalagi reputasi sekaligus wibawa yang perlu dipertahankan kredibilitasnya. Terkesan sembrono, memang, datang menghampiri, lalu berlalu tak nampak lagi. Bangsa Indonesia, kerapkali nyaris menjumpai ajalnya, namun sekejap pula sang juru selamat (messiah atau ratu adil dalam mitologi Jawa) datang, terlihat, lalu menghilang tak berjejak. Tak pelak, keberadaannya menimbulkan frustasi berkepanjangan, ia dirindu, namun tak kunjung mengetuk pintu, kala semuanya telah berubah gelap, ia baru tergopoh-gopoh menghampiri, mengucap salam, menyelesaikan tugasnya, lalu berlalu bahkan sebelum tuan rumah menanyakan kabar. Tapi kita semua mafhum, gelap itu merambat lamat-lamat, dalam intonasi yang lembut, bergulir dengan konstan menuju kulminasinya. Saat prosesi bergelap, sirene peringatan berbunyi nyaring dan lantang tanpa rasa malu, membuat semua tetangga datang melongok dengan tatapan bingung. Tapi, selantang apapun, ada simpul sederhana yang memaklumkan kita akan kedatangan dia yang sama. Kita segera tahu, kalau dia telah lama mengenal kita, lalu curiga, mungkin dia selalu berada diantara kita, -tanpa kita sadari. Deretan angka-angka yang terpampang sebelumnya, adalah tanggung jawab yang seharusnya dipikul olehnya, tapi segera saja dilepaskan karena rasa tahu diri, kultur khas orang timur yang memuliakan mereka yang lebih tua. Meski kita semua juga menyadari, yang diembani amanah tidak selamanya mampu berdiri tegak, masih sering doyong dan limbung kesana-kemari. Lantas, dikotomi yang menarik begitu keras garis antara “tua” dan “muda”, dalam konteks kekinian yang dipenuhi skeptisisme antara dua fora diatas. Segera kita dapati, kehendak dari keduanya sungguh terbalik, yang tua ingin terus mendorong dan menghela, kala nafasnya tersengal-sengal, sementara yang muda dipelototi bagaikan maling jemuran yang ketahuan memadu kasih dengan anak yang punya rumah. Tapi, sekarang 2008, masa tatkala akal berada di ujung kaki, sementara nafsu meringkik-ringkik menjulang tajam. Kenyataan yang dilihat sungguh pahit, ekonomi yang melambat lalu mencekik rakyat, harga kebutuhan yang terbang menuju langit ke tujuh, listrik yang tak tentu, mereka yang tetap ingin berkuasa kembali. Kita sedang menatap gelap itu merambat, menyelimuti kita dengan kekalutan yang merisaukan, sama seperti yang sudah lewat. Pertanyaannya, akankah dia datang kembali? Tatkala pemilik rumah telah menggembok pagar, serta mengunci pintu masuk dengan kebencian. Tapi, kita yakin dia pasti akan datang kembali, entah melalui jalan yang mana. Lagipula kalau tak ada jalan, maka dia bisa meretas jalan baru yang mengejutkan. Tetapi, kali ini dia bertekad lain, kali ini aku akan singgah, tinggal dan menetap jika perlu! Tidak lagi sekedar bertamu dan berlalu, namun dengan memanggil semua rekan yang telah berdiaspora di pelosok dunia, kita akan bersama-sama membangkitkan Indonesia. Dari lelapnya yang panjang, dari kesemrawutan tak terperi, dari nafsu untuk meringkik-ringkik lagi. Kami akan hadir dan berkumpul sekali lagi, demi pengabdian yang belum sempat dituntaskan oleh para pendahulunya. Kami akan menanam, merawat dan memelihara, serta menuai bibit baru yang harum dan getas, yang selama ini tertutupi harumnya. Gema itu akan bergetar kembali, menyapa kita (lagi), dengan salam hangat, jabat tangan simpatik, serta ketulusan untuk berkarya, dan tidak akan berhenti hanya untuk mematri angka dalam memori! Sehingga, kita tidak perlu lagi menyanyikan lagu parodi Garuda Pancasila, yang dirombak liriknya oleh (alm.) Harry Roesli,

Garuda Pancasila/Aku lelah mendukungmu
Semenjak Proklamasi/Selalu berkorban untukmu
Pancasila dasarnya apa/Rakyat adil makmurnya kapan
Parodi bangsaku
Tidak maju-maju... tidak maju… maju
Tidak maju… maju


- Konferensi Mahasiswa Indonesia, 23-28 Oktober 2008 -.

Tidak ada komentar:

Bagikan