Minggu, 17 April 2011

LAMPU KUNING UNTUK LIBYA dan DUNIA ARAB

Krisis Libya adalah refleksi dari pantulan cermin besar timur tengah di abad dua puluh satu. Revolusi dalam bidang IT berperan besar dalam interaksi sosial yang kian dinamis. Karakter sosial seperti facebook dan twitter bersifat transnasional, dimana orang-orang dari negara yang berbeda mampu berbagi pengalaman dan keresahannya, termasuk peristiwa politik besar seperti revolusi politik di Mesir dan Tunisia.

Kemampuan jejaring sosial terbukti efektif dalam menabur benih aksi kolektif, gerakan oposisi politik dan demonstrasi yang melintas batas negara, meski ada faktor lain yang perlu dicermati. Yakni, sistem sosial masyarakat di timur tengah yang berubah amat cepat satu dekade terakhir. Dimulai dengan lahirnya Al-Jazeera, media yang memberi suplai informasi dari sudut pandang orang dalam, serta tumbuhnya masyarakat sipil yang kritis dengan tingkat literasi tinggi.



Dalam konteks dunia Arab yang tengah mengalami bergeser inilah, kita memandang krisis di Libya. Setelah Tunisia dan Mesir sanggup melengserkan presidennya yang telah berkuasa puluhan tahun, kini giliran Libya. Tuntutan demokratisasi yang berasal dari dalam negeri tentu ibarat durian runtuh bagi negara-negara barat, yang sejak lama menghendaki kawasan timur tengah menjadi wilayah yang demokratis dan stabil. Diharapkan, dengan sistem demokrasi, stabilitas regional bisa terwujud.

Selain itu, dengan adanya demokrasi di kawasan timur tengah, konflik bilateral antar negara-negara Arab bisa disudahi, agar barat tidak perlu terus-menerus melakukan intervensi. Intervensi terakhir Amerika Serikat (barat) untuk memaksakan demokrasi terjadi di Irak tahun 2003. Namun, kebijakan agresif ini dikritik karena motifnya yang ambigu. AS dituding juga punya motif lain selain demokrasi, menguasai minyak Irak.

Sayangnya, tidak seperti Tunisia dan Mesir yang relatif terbuka dalam sistem politiknya, Libya benar-benar negara yang dimiliki sang penguasa. Pemimpin Libya menerapkan sistem politik otoriter-diktatorial, tidak ada partai politik, tidak ada pemilu, bahkan tidak ada konstitusi. Kehidupan bernegara sepenuhnya didasarkan pada ideologi si pemimpin yang dituangkan dalam kitab suci Libya, buku hijau Muammar Qadaffi.

Demonstrasi damai oleh para demonstran Libya dibalas dengan hujan peluru. Bahkan seorang wartawan Al-Jazeera juga tewas di tangan pasukan Qadaffi. Tindakan represif Qadaffi sungguh tidak manusiawi. Ditambah lagi, ia bahkan menyewa milisi bayaran untuk turut membantai rakyatnya. Dengan Qadaffi sebagai penjaga tunggal tertib politik Libya yang mulai limbung, kondisi rakyat jelata jelas di ambang bahaya besar. Peperangan antara pasukan pemberontak dan pendukung pemerintahan telah menjatuhkan korban yang tidak sedikit. Sedang stok bahan makanan dan kebutuhan primer lainnya menipis.

Inilah pertimbangan utama bagi Dewan Keamanan PBB mencetuskan resolusi 1970 dan 1973 yang menerapkan sanksi embargo ekonomi dan zona dilarang terbang guna menekan Qadaffi agar menghentikan aksinya. Resolusi ini bersifat pasif dan belum tentu dipatuhi oleh Libya, hingga negara-negara NATO, dimotori Perancis dan Inggris berinisiatif melakukan intervensi terhadap Libya. Kedua negara ini menggandeng Amerika Serikat sebagai hegemon tunggal di dunia untuk mengintervensi Libya secara terbatas, yakni lewat serangan udara.

Lewat intervensi barat inilah, masa depan timur tengah dipertaruhkan. Sebagaimana komentar Mark Lynch (2011), bahwa keberhasilan intervensi di Libya akan menjadi pertaruhan bagi arus maju ataupun arus balik bagi proses demokratisasi di timur tengah. Jika Libya dibiarkan membantai warganya, maka negara-negara yang tengah bergolak seperti Suriah dan Yaman tidak akan ragu-ragu menghabisi oposisi. Sebaliknya, jika gerakan oposisi yang disokong sekutu ini berhasil, lampu kuning akan menyala di seluruh Arab. Sinyal yang sangat jelas bahwa sebagai kawasan penuh konflik tengah bersiap menghadapi keseimbangan baru. Untuk sementara, kita hanya bisa menunggu bara yang menyala segera padam.

Tidak ada komentar:

Bagikan